Menu

Menolak Melupakan “Diri”; Pembacaan Selintas Kisah-Kisah Kampung di Panggungharjo

Saya yakin, tak banyak dari kita, generasi saat ini, yang benar-benar mengetahui sejarah kampung sendiri, tempat kita dilahirkan dan tumbuh, bahkan mungkin mati, kelak. Padahal, sejak sekolah dasar kita sudah dikenalkan pada pelajaran sejarah. Rupanya, pelajaran itu tak berimplikasi apa-apa pada kehidupan kita, jika pada sejarah sendiri saja kita abai.

Ya, kita mengenal Pangeran Diponegoro, Jenderal Ahmad Yani, Cut Nyak Dien, dan sederet tokoh-tokoh lain dalam narasi besar sejarah bangsa kita. Atau kita begitu hafal pada bagaimana asal muasal Danau Toba, asal muasal Gunung Tangkuban Perahu, asal muasal Kawah Sikidang Dieng, dan lain sebagainya dalam narasi dongeng-dongeng nusantara. Tapi kita tak sungguh mengenal siapa pahlawan di sekeliling kita, siapa yang berhasil mendirikan kampung kita, bagaimana asal usul, dan bagaimana perkembangannya hingga saat ini?

Inilah perkara pertama yang ditemui oleh nyaris seluruh peserta kelas menulis sejarah kampung, di mana pun. Tak ada yang mewajibkan kita untuk tahu tentang sejarah kita sendiri, tak akan muncul di soal-soal ujian sekolah maupun CPNS. Maka mengabaikan sejarah kampung sendiri dianggap hal lumrah. Sebab, kita telah terjebak pada pembangunan fisik, pembangunan ekonomi, pembangunan SDM, dan lainnya, tapi lupa membangunkan kesadaran identitas masyarakatnya.

Dengan identitas yang kuat, masyarakat akan tumbuh dalam tatanan sosial yang kokoh dan mandiri. Misalnya, di daerah agraris, jika sebuah masyarakat betul-betul mengenal identitasnya, tentu ia tidak akan menjual sawahnya dan beralih menjadi pekerja pabrik. Bukan berarti anak seorang petani harus menjadi petani dan tidak boleh menjalani profesi lain, bukan, melainkan kesadaran bahwa jika sawahnya dijual, ia akan kehilangan tradisinya. Tak ada lagi upacara wiwitan, panen raya, dan lain sebagainya. Padahal, sawah menjadi salah satu unsur desa bisa berdaulat.

Maka tak heran jika pada masyarakat yang semakin modern, krisis identitas makin banyak menghinggapi setiap diri. Masyarakat desa cenderung menganggap kota sebagai orientasi hidup, sementara kota hanya menyediakan keruwetan. Di sisi lain, orang-orang yang menyadari krisis identitas (baca: orang kota) kembali ke desa dan membangun kehidupannya sendiri. Lalu mereka mengkampanyekan local wisdom. Sementara pemiliknya sudah melupakan “diri” sendiri.

Apakah kita akan terus melupakan “diri”?

Selusin minus satu warga Panggungharjo ini menolak melupakan “diri”. Mereka memunguti ingatan di kepala orang-orang dan sedikit data, menggali-gali identitas kampungnya yang serupa mitos menjadi narasi sejarah. Semisal puzzle, mereka menyusun kepingan-kepingannya menjadi satu gambar yang utuh. Selama satu bulan lebih mereka mengerjakannya dengan tekun.

Kepingan yang disusun itu tersebar di wilayah Tegal Krapyak, Glugo, Dongkelan, Saraban (Ngireng-ireng), Janganan, Kweni, Cabeyan (2 esai), Sorowajan, Krapyak Kulon, dan Jarakan. Maka tersusunlah narasi-narasi kecil yang bisa membantu mengingat “diri” kita.

Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa narasi-narasi dalam buku ini merupakan satu versi, dan mungkin masih banyak versi lainnya yang bertebaran. Apalagi ditulis dalam waktu pelatihan yang singkat, yaitu empat kali pertemuan dalam satu bulan. Tentunya masih kurang komprehensif dan terdapat kekurangan di berbagai sisi. Selanjutnya, menjadi tugas kita untuk melengkapinya. Kita layak berharap kepada siapa saja untuk melanjutkan kerja kebudayaan ini.

Oleh sebab itu, pelatihan penulisan sejarah kampung ini perlu dilanjut di tahun-tahun ke depan, sehingga satu per satu kita bisa membuka lanskap cerita di Panggungharjo yang saat ini hanya menjadi cerita lisan.

Terakhir, mari kita ucapkan selamat kepada para penulis yang sudah berhasil mengawali membuka gerbang kisah di Panggungharjo yang penuh kabut.

 

 

Tuliskan komentar