Menu

Menemukan Akar Hening di Tengah Bising | Cerpen Nirmala Puspa

Bergegas Mardikun beranjak pergi tanpa pamit dari kontrakan Padmi. Ia pulang dengan membawa kekesalan di dalam dirinya. Perbincangannya sore tadi dengan Padmi perihal pekerjaan, kegiatan, dan yang lainnya membuat semua orang pusing memikirkan Mardikun. Sebagai teman Mardikun sejak kecil, Padmi sudah mengetahui solusinya. “tunggu saja Mardikun, sesuatu akan  datang.”  

 Berkeinginan untuk pergi terlalu jauh dari lingkungan rumah, sangat menakutkan di masa  sekarang, karena akan bertemu dengan banyak orang, dan tentu saja kerumunan. Akan tetapi, jika  dirumah saja, dan enggak melakukan pekerjaan seperti biasanya menjenuhkan juga. Masa Pandemi  menuntut kita untuk terus dirumah saja, tentu dengan tidak banyak melakukan pekerjaan atau  aktivitas apapun. Sehari-hari selain menjahit celana atau baju yang sobek, terkadang juga pergi ke  kontrakan teman yang tak jauh dari rumah. Ya, ketimbang menyendiri trus stress gak berfaedah. 

 Setelah mengalami kegiatan yang sama setiap hari, membuat kejenuhan di taraf yang lumayan tak bisa di ajak sabar. Jika orang tak waras pasti lekas bunuh diri , perasaan atau pemikiran  seperti ini tak bisa dibiarkan, harus dilawan, ibarat kata overthinking-nya sudah kebablasan. Sialan, sepertinya tak bisa memecahkan kegelisahan ini sendiri. Kembali ke kontrakan Padmi ialah pilihan yang menarik, dan tak ada gunanya terus memendam kegelisahan buang jauh-jauh saja. 

 Aku suka berlama-lama di depan kamar Padmi melihat bunga-bunga, tanaman hias, kolam  renang yang berwarna biru menenangkan, dan kucing kesayangannya bernama Boni. Setiap hari  Padmi menghabiskan waktunya dengan bercocok tanam, dan merawat Boni. Dadaku semakin sesak,  pikiran dengan hati tak selaras inginku mengumpat, ternyata belum bisa membuang jauh rumit yang  menggumpal di tubuhku. Di depan kamar, pikiran ini merapalkan rumit yang berasal dari kegelisahan.  Pada nyatanya lebih sulit menyalin resah daripada melupakan seseorang. “Hadeeeh, bisa sakit jika terlalu lama gelisah.” Ucapku kesal. 

 “Melamun terus, Kun, dapet pengalaman apa?” tanya Padmi heran.  

 Mardikun tak banyak berbicara raut mukanya penuh lekukan seperti badut. 

 “Sudah, situasinya lagi seperti ini. Musim pagebluk. Semua orang pada kesulitan. Sekelas Bos aja  kesulitan, apalagi tekyan kayak kita, Kun,” ujar Padmi sambil menepuk bahuku. 

 “Cerewet kamu ini. Memangnya kamu punya solusi apa?” Jawab Mardikun bernada ketus.  “Kamu aslinya juga pusing. Karena gak bisa pulang ke Tangerang, makanya cerewet terus.”  

Tatapan mereka kini saling membuang. Saat itu benak Padmi menyimpulkan tiga hal. Pertama,  Mardikun benar-benar kesal, kedua sedang PMS, ketiga, ia sedang lapar. Sebab, Emosi dan lapar beda  tipis, sama-sama diekspresikan dengan marah. Itu versi Mardikun saja. 

Padmi menanggapi ucapan Mardikun dengan melengos, hingga pada akhirnya membisu.  Seakan tembok tlah memisahkan keduanya. Saling terlarut dalam diam, dan angan masing-masing. Anak jaman sekarang, kalau diam pegang handphone scrolls Instagram. Selain lihat postingan teman-teman, tentu saja yang ditunggu barangkali ada berita bahwa besok pandemi berakhir. Dalam hidup kenyataan memang selalu tak berpihak. Huft! Sebel! PSBB diperpanjang, event, dan kegiatan semua  dibatasi, tapi setidaknya ada permata dibalik timbunan tanah. Lah… beneraaan sesuatu datang dari Padmi yang mendapatkan pesan Whatsapp dari Tim pameran Seni Rupa FKY (Festival Kebudayaan  Yogyakarta) 2020.

“Halo, selamat malam mbak Padmi, saya Lesti dari tim pameran FKY (Festival Kebudayaan  Yogyakarta). Saya mau konfirmasi kesediaan Mbak Padmi dan Mbak Mardikun untuk jadi Gallery Sitter FKY tanggal dua puluh satu sampai dua puluh enam September dua ribu dua puluh. Apakah bisa, Mbak?  Terima kasih. Lesti.” Padmi yang baru saja membaca pesan tersebut berjingkat dari tempat duduk,  dan langsung saja memeluk Mardikun dengan riang. 

“Kita bakalan punya kegiatan, Kun. Sudah to, tenang. Kamu jangan banyak melamun, temanmu ini udah tahu solusinya, sudah kupikirkan jauh-jauh hari. Kamu dan aku terpilih menjadi gallery sitter  di Festival Kebudayaan Yogyakarta dua ribu dua puluh. Kamu ingat atau enggak, pada waktu sore itu, kita bertemu dengan mbak-mbak, terus kamu ditanya-tanyain?” tanya Padmi kepada Mardikun yang  terus saja menekuk wajahnya.  

 “Ingat, yang seperti orang wawancara itu?” jawab Mardikun dengan wajah polosnya. 

“Nah, itu namanya wawancara, jadi tanpa sepengetahuanmu aku udah daftarin kamu ikut event  ini. Biarin kamu gak tahu, toh kamu ya tetep bersedia ikut, to?” 

 “Jelas dong, lha jur meh ngopo meneng ae ra ono kegiatan, mosok tetep ndondom klambi,  sampek opo-opo wis rampung utawa resik yo tetep tak resiki”. 

Keesokan harinya, Mardikun dan Padmi pergi ke Museum Sonobudoyo untuk pengarahan Gallery Sitter, dan sekaligus kuratorial tour

“Sebagian orang menilai gallery sitter ialah pekerjaan yang segala sesuatunya terlihat santai”.  Padmi berjalan sambil mendekati Mardikun. 

 “Seperti hanya berdiri, mengawasi karya, dan mengarahkan pengunjung. Bukan itu sajaaaa,  bukann itu sajaaa,” sahut Mardikun 

“Meski terlihat santai ada beberapa peraturan, SOP yang harus dipahami, dan dipegang oleh para  Gallery Sitter. Selain mengingatkan pengunjung untuk tidak menyentuh karya, Gallery Sitter juga wajib mengenali seluruh karya, nama-nama seniman yang kemudian untuk dijelaskan kepada pengunjung. Selain itu juga ada SOP seperti merawat beberapa karya yang  memerlukan perlakuan khusus, yaitu menggunakan tumbuhan, karya yang bisa disentuh oleh pengunjung, mematikan lampu galeri, dan audio/video di beberapa karya,” Oki tim pameran menjelaskan ke gallery sitter.  

“Walaupun diberi tahu wawasan seperti ini, dan meski ada tulisan dilarang menyentuh karya, yang namanya pengunjung nakal tetap aja besok pegang-pegang karya,” sahut Mardikun ketus. Sementara Padmi membalas ucapan Mardikun dengan lirikan. 

“Kali ini Festival Kebudayaan Yogyakarta berjalan sangat spesial. Bertepatan dengan adanya wabah Covid-19 semua akan mengikuti protokol kesehatan. Besok ketika pembukaan, pengunjung hanya berasal dari tamu undangan. Pembukaan FKY hanya bisa diakses lewat Youtube dan beberapa  platform digital lain yang berbasis online,” Ujar Paksi Raras Alit. 

Rara yang bertugas menjadi kurator pameran FKY menambahkan. “Untuk pameran juga sama,  nantinya yang bisa masuk ke pameran seni rupa FKY hanya yang sudah daftar online lewat website.  Dengan adanya kondisi seperti ini banyak hal baru yang harus diterapkan dalam sebuah festival.” 

“Tadinya menjalankan festival dengan onground sekarang menjadi online, dan sebelumnya  masyarakat disuguhkan dengan panggung megah, tata cahaya, serta tata suara yang mewah sekarang  hanya bisa menikmati pertunjukan, dan pameran melalui website resmi dari FKY. Tentu saja semua 

itu tidak mengurangi estetika pertunjukan, dan pameran dari segi unsur audio visualnya,” ujar Paksi  Raras Alit. 

“Dari sini kami mendapatkan pembelajaran baru, bahwa distribusi seniman atas karyanya bisa dialihmediakan melalui pertunjukan, dan pameran yang disuguhkan melalui website atau platform  digital yang sudah disediakan sedemikian rupa oleh panitia. Selain itu kita juga harus menerima kondisi yang seperti ini, dan kita tidak boleh memandang pameran, dan pertunjukan tidak hanya bisa disajikan  melalui offline tetapi juga online,” Ujar Mardikun teman-teman gallery sitter setelah selesai  mendengarkan penjelasan dari Kurator. 

“Betul… jadi kita semua disini harus lebih kreatif dalam menyajikan sebuah pameran dan  pertunjukan.” Sebagai pelaku industri kreatif di Indonesia, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta kita harus bisa beradaptasi dengan kondisi saat ini. Adaptasi dengan kondisi pandemi yang sedang  terjadi, adaptasi dengan seniman yang di mana kita harus menerangkan dan menjelaskan konsep  online tersebut, serta beradaptasi dengan tata cara atau prosedur protokol kesehatan yang  semestinya dilakukan, untuk pengunjung VIP,pengunjung reguler, kurator dan seluruh tim dari  kepanitiaan,” ujar Paksi Raras Alit. 

“Kamu merasakan hal yang sama Kun?” 

“Kehangatan kekeluargaan, semua santai, dan tetap serius. Suasana seperti ini yang seharusnya  dimiliki oleh seluruh festival.” 

“Benar. Antar tim penyelenggara dan volunteer, hanya nama dan tugas yang membedakan kita  semua di sini. Semua sama-sama saling mendukung keberlangsungan festival ini,” sahut Mardikun. 

Hari-hari Mardikun, Padmi kini tercerahkan, semua orang sepertinya merasakan hal yang sama. Tak  melulu berlarut dengan kesedihan, kegelisahan, toh Tuhan pasti akan memberikan kebahagiaan yang  tak terduga, dan begitupun sebaliknya kebahagiaan juga akan lenyap entah kapan. Kehidupan seperti  roda yang berputar, begitu menurut peribahasa lama. Jika penuh semangat pasti rasa syukur itu indah  menyelimuti sanubari. Meski disatu sisi hampir semua orang disini ada beberapa tekanan entah  karena tugas atau hal yang lain itu wajar karena hentakan diperlukan untuk membuat seseorang  menjadi kuat, dan lembut.  

Hari pertama pembukaan FKY di Museum Sonobudoyo akhirnya tiba juga, pada tanggal dua puluh  satu september dua ribu dua puluh. Tim seni rupa FKY membagi beberapa volunteer untuk  ditempatkan di dalam galeri, depan gedung Eks Koni, dan area parkir. Mardikun mendapatkan bagian  di area parkir menjadi cucuk lampah bersama Titi, Eka, dan Kiki untuk mengantarkan tamu undangan  ke Gedung Eks Koni Sonobudoyo.  

Waduh panase ra eram. Duh Gusthi paringono mendung, tapi ora udan. Ndang setitik ae, okeh  yo ra popo allhamdulillah, matur nuwun, mendung mendung.. mendung tapi ora udan. Allhamdulillah  mendung,” batin Mardikun berdoa minta mendung.  

Dari kejauhan terlihat Mas Awang yang sedang berjalan ke arah area parkir dengan gayanya yang  santai memberikan support kepada ku, dan teman-teman lain untuk tetap semangat. 

“Panas, Kun?” tanya Padmi dengan nada mengejek. 

“Asyem! Panas tenan di luar. Ya… kerja ki sawang sinawang, Pad.” 

“Paham, Kun. Bercanda,”

“Hahaha. Iyo, Pad. Santai”. Sekarang saatnya semua beradaptasi supaya tetap bahagia, dan  aktivitas selalu jalan di masa pagebluk ini.  

Our ancestors have taught us to adapt long ago. Humans must be intelligent,” ujar Padmi dengan  tersenyum lepas kepada sahabatnya. 

Ketika bergabung dalam kepanitiaan, di situ direktur utama FKY juga memikirkan perekonomian  pelaku industri kreatif yang sedang terdampak imbas dari pandemi Covid-19. Adapun penjelasannya  adalah di masa seperti sekarang ini dia meminta salah satu stafnya untuk berbagi jadwal atau kegiatan (job) untuk beberapa vendor yang men-support kegiatan tersebut.  

 Sungguh FKY berjalan khidmat dengan akar hening di tengah bising pandemi. Sesuai temanya  Mulanira “Akar Hening di Tengah Bising” tlah saling menguatkan satu sama lain, menghidupkan menghidupi kesenian dari akarnya bernama kebudayaan yang mampu membaca zaman. Pada hari ini, telah disepakati secara sepihak oleh wabah pandemi Vovid-19. 

Di sini aku dapat menarik kesimpulan, bahwa dalam kondisi seperti saat ini kita harus saling  mendukung, legawa atau berbagi untuk sesama pelaku industri kreatif atau penyedia jasa untuk  kebutuhan pertunjukan, dan pameran agar bisa bergerak lagi walaupun dengan segala keterbatasan,  dan pembatasan berdasarkan kondisi yang sedang terjadi.

Tuliskan komentar