Menu

Mendung Tanpo Udan: Antara Kasunyatan dan Pangarepan | Kurnia Effendi

Membincang novel Mendung Tanpo Udan, sesungguhnya memerlukan kopi dawet dan pandan latte—iki jan wolak-walike salero. Ditemani camilan gorengan atau klepon, jangan geplak … terlalu manisss (kata Slank). Kemudian, membahasnya jangan terlalu serius, nanti malah jadi filsafat.
Ini poin-poin yang hendak saya tuturkan. Seharusnya, Fairuzul Mumtaz sebagai penulisnya jangan terlalu menaruh kepercayaan atau keyakinan (itu sirik) kepada ulasan saya, lalu setuju. Hal itu akan menyebabkan diskusi berhenti separuh waktu.
1. Mendung Tanpo Udan semula saya pikir novel berbahasa Jawa. Lekas disahut Sigit Susanto bahwa itu judulnya saja yang nJawani, isi novelnya berbahasa Nasional. Setelah saya terima dan membaca prolognya, baru diketahui bahwa judul diambil dari nama kedua tokoh utama. Sementara prolog disuarakan narator bernama Awan, tokoh pendamping utama. Jadi Mendung itu perempuan, Udan itu laki-laki. Awan, cowok, teman Udan. Petri(kor), cewek, teman Mendung. Pemilihan nama ini menarik. Sudah pasti sangat sulit sebagai kebetulan dalam kasunyatan, tetapi indah dalam pangarepan. Lalu, mereka berempat ngapain? Dua orang mengelola cinta dua orang sahabat yang sebetulnya menggemaskan bagi pembaca (kadang-kadang diwakili Awan dan Petri). Entah kalau bagi Mendung dan Awan. “Pegel atiku!”
2. Tertulis di sampul: Sebuah kisah dari serial lagu Mendung Tanpo Udan (MTU) karya Kukuh Prasetya Kudamai. Apakah ini berarti alih wahana? Seperti puisi menjadi musikalisasi puisi, novel menjadi film, cerita rakyat menjadi sandiwara radio, dan seterusnya. Bisa jadi, ini alih wahana yang cukup unik karena ternyata lagunya berseri (bukan satu lagu berdiri sendiri). Pernah mengobrol dengan Wien Muldian (pustakawan yang kini mengelola perpustakaan Baca di Tebet), bahwa sudah mulai marak kolaborasi wahana, artinya 2 atau lebih jenis karya seni mengangkat satu gagasan secara bersama dan bahkan satu panggung. Kalau “Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) dari novel ke film kemudian muncul serial TV, bahkan sendratari … bisa jadi “MTU” ini dalam satu pergelaran musikal (konser) ada latar film (video) dan pembacaan petikan naskah novel dalam satu gerakan. Multimedia. Teringat awal ditulisnya novel ini dalam rekaman wawancara dengan Puthut EA (Mojok .co). “Piye nek digawe novel?” tanya Fairuzul. “Mangkat!” jawab Kukuh. Dengan demikian, sastra, musik, film, teater … sudah melebur dengan indah.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/resensi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Resensi Suku Sastra[/button]  
3. Ada dua karakter kuat dalam novel ini: Udan dan Mendung. Dua insan yang saling jatuh cinta ini bak langit dan bumi yang menurut sahabat mereka—Awan dan Petri—bikin kesal, tapi mereka tetap awet sejak mula hingga akhir. Andaikan Udan adalah representasi dari Kukuh (banyak ciri khas berangkat dari sosok nyatanya), saya belum tahu siapa yang jadi inspirator Mendung. Bila memang ada, semakin ingin tahu, apakah “pangarepan” yang digambarkan novel ini sesuai dengan “kasunyatan”? Atau sekadar utopia? Persoalan mendasar dari ancur-ancuran menjadi tertib demi kebahagiaan itu terjadi pada tokoh Udan. Kuliah malas, tidak mau di bawah kendali orang, penampilan seingin dia, emoh ibadah dan kadang-kadang mabuk, tetapi setia menjaga pusaka (vespa warisan Ayah, termasuk tidak menyentuh tubuh Mendung kecuali kecupan di pipi padahal cinta habis-habisan), lalu terjadi perubahan total—ketika Mendung dan Awan meninggalkannya—sehingga mau bekerja menjadi kurir (alias utusan). Apakah bertujuan agar plot Jakarta ketemu dengan plot Yogya menuju happy ending? Itu terserah pengarang, sih. Namun, esensi novel memang demikian: ada perubahan revolutif pada kehidupan sang tokoh yang menemukan titik balik (demikian “kata” salah satu ciri-ciri novel). Dalam “MTU” seperti ada gothak-gathik-gathuk menuju: happy ending untuk semua tokohnya.
4. Sing rada rak nguati, adalah narasi semacam khotbah. Untungnya sedikit. Kalau itu diucapkan tokoh, ndak apa-apa, sebagai semacam pendapat. Tetapi ini suara narator.
5. Novel ini menjadi semacam saksi zaman untuk dua hal penting: pandemi Covid-19 dan dibangunnya bandara internasional Yogya di Kulonprogo yang mengubah budaya dari sisi ekonomi dan sosial. Kebetulan pada Desember 2021, saya dari sana—nyicipi penerbangan Yogya-Jakarta. Demi tidak ketinggalan pesawat karena jalan macet bisa menghabiskan 2 jam dari pusat Kota Yogya, saya menginap di “hotel” baru Kulonprogo yang dikelola manajemen OYO. Milik siapa? Investor dari Jakarta!
6. Salut untuk Fairuzul yang mampu membuat novel ini gurih dengan guyonan khas. Latarnya jelas. Bertutur mengalir lancar—makanya saya cepat menandaskan. Sebagaimana kata Puthut, novel ini ringan meski tebal (karena jenis kertasnya yang tebal). Idiom-idiom seputar hujan sesuai dengan cerita (awan, mendung, udan, petrikor—ndak ada kluwung) apalagi memang berangkat dari 6 lagu: Mendung Tanpo Udan, Udan Tanpo Mendung, Mendung Ketemu Udan, Mendung Udan Terus Terang, Udane Ora Roto, Terang. Alur sesuai dengan urutan lagu meski dalam novel dibuat prolog untuk memberikan frame kisah kasihnya.
7. Ben pitu, ganjil, tambah apresiasi pada lay out isi buku. Ada variasi halaman menampilkan “quote”, petikan penting dari pernyataan tokoh atau narasi. Sip!
Jakarta, 30 April 2022

Tuliskan komentar