Dalam sebulan kemarin, dua buku kritik sastra sampai di meja kami. Yang pertama, tentu saja, Dari Spekulasi Ignoramus hingga Ingin Jadi Budi Darma. Yang kedua adalah Ruang-Ruang Kemungkinan dalam Kritik Sastra Akademik karya Saeful Anwar–nama “resmi” penyair Asef Saeful Anwar. Dua buku kritik baru dalam bulan yang sama. Terasa seperti kebetulan yang bermakna.
Kami sudah lama mendengar rumor tentang buku Asef itu, bahkan sudah pula memesannya ke penerbitnya. Baru pada malam Tumplak Wajik buku itu diantarkan oleh penerbitnya kepada kami karena kami mengundang komunitas yang menaungi penerbit tersebut.
Buku itu adalah himpunan tulisan Asef yang pernah terbit di beberapa media, terutama media daring. Semuanya disatukan oleh satu titik berangkat yang sama: kebosanan. Asef bosan membaca kritik sastra di ranah akademik–skripsi–yang hampir seragam. Dalam kritik semacam itu, analisis dan pemahaman karya “terkekang” oleh teori.
Ya, hingga alaf ini pun kita masih bertanya-tanya apakah ada karya baru pada masa kini yang layak dikanonkan mengingat popularitas sebuah buku sastra makin sering menjadi ukuran bagus-jeleknya.
Cara kerja para kritikus sastra akademik itu deduktif: memulai dari hal umum yang telah dirumuskan dalam teori, lalu dilanjutkan dengan analisis karya sastra. Tentu saja, cara kerja demikian menjadi sekadar pembuktian, bukan upaya yang komprehensif untuk menilai bagus-jeleknya suatu karya sastra.
Selain itu, kritik akademik cenderung membahas karya-karya kanon. Karya-karya baru seolah terabaikan. Tentu, kanon memang punya kualitas yang telah teruji waktu. Namun, kanon adalah kreasi masa lalu. Glorifikasi berlebihan atas kanon hanya akan menyendat perkembangan kesusastraan.
Ya, hingga alaf ini pun kita masih bertanya-tanya apakah ada karya baru pada masa kini yang layak dikanonkan mengingat popularitas sebuah buku sastra makin sering menjadi ukuran bagus-jeleknya.
Justru di sinilah peran kritikus sastra menjadi makin penting: mereka, dengan perangkat dan keahlian yang dilatih bertahun-tahun di kampus, seyogyanya menjadi penelusur dan pemandu yang andal untuk karya-karya yang punya potensi untuk menjadi kanon-kanon baru.
Buku Asef itu luar biasa karena merupakan kerja individu yang tekun, sedangkan buku susunan kami adalah buku “keroyokan” karena ditulis oleh sepuluh orang penulis. Namun, keduanya memiliki kesamaan: Asef dan para penulis kritik di buku Suku Sastra itu mencoba menekuni penyajian kritik dengan format yang nonakademis: esai.
Kesamaan pilihan bentuk itu mengokohkan keyakinan kami bahwa kritik sastra masa kini harus didekatkan kepada publiknya, yaitu pembaca sastra Indonesia–pada semua spektrum jenis dan gaya bahan bacaan. Esai lebih lentur dan kurang intimidatif ketimbang, katakanlah, skripsi atau tesis yang angker.
Tentu saja, kami sama sekali tidak menafikan artikel jurnal, skripsi, tesis, atau disertasi. Bahkan, kami mendorong peminat sastra, sejauh dimungkinkan untuk mengaksesnya, untuk membaca kritik sastra dalam bentuk-bentuk itu. Jika akses itu sulit, mungkin lantaran hambatan administratif, SukuSastra.com dan media daring atau luring lain mengusahakan sajian kritik sastra–tentu saja tidak dengan format akademik tulen.
Demikianlah kami hingga saat ini dan ke depannya akan terus berusaha menyajikan konten yang dapat diakses secara mudah oleh pembaca kami, baik dari segi format penyajian, penulisan, maupun keandalan. Bukan hanya kritik sastra (yang dapat dijumpai dalam rubrik “Esai” di situs web ini), melainkan juga puisi, cerpen, resensi buku, dan lain-lain.***