Rubrik Puisi Kompas, 31 Agustus yang lalu memuat duabelas puisi Joko Pinurbo (Jokpin). Keduabelas puisi itu menarik, mengambil narasi Khong Guan di jagat media sosial dan menaruhnya menjadi subjek matter puisi. Dengan semangat melucu, kita tahu, ada beragam parodi atau narasi di media sosial tentang Khong Guan; sosok keberadaan Si Ayah yang dianggap misterius dan dialog ibu dengan kedua anaknya. Begitu pula sejumlah narasi jenaka perihal misteri fungsi kaleng Khong Guan yang dalam dunia nyata selalu dihubungkan dengan rengginang.
Di tangan Jokpin, penciptaan kembali (mode of creation) fiksi Kong Guan di media sosial itu lebih dari keperluan untuk melucu belaka. Keduabelas puisinya bekerja mengubah fiksi remeh-temeh tentang biskuit itu menjadi dunia ide. Maka, duabelas puisi Khong Guan Jokpin sebenarnya tidak lagi bicara soal Khong Guan. Melainkan, perihal kemurnian dunia kanak manusia, keluarga, kehilangan, bahasa Indonesia, agama, sampai nasib koran cetak. Dunia Khong Guan yang partikular dalam keseharian media sosial, diciptakan kembali untuk merangkum keluasan.
Duabelas puisi Khong Guan Jokpin mengingatkan saya pada modus penciptaan cetak tubuh perupa Tisna Sanjaya. Pose tubuh yang membayang putih di kanvas, seperti orang terbaring dan tampak tak berdaya, dalam ruang gelap yang terbuat dari taburan berbagai serbuk rempah-rempah, bertekstur kasar menyerupai bubuk marmer.
Seperti Jokpin, modus penciptaan cetak tubuh Tisna memakai material keseharian, yaitu rempah-rempah. Material yang kehadirannya di kanvas—sebagai ruang gelap yang mengurung sesosok tubuh yang terbaring malang—menciptakan sebuah dunia ide yang terhubung ke dalam narasi sejarah rempah-rempah dan kolonialisme. Begitu pula ketika Tisna memakai serbuk arang yang diambil dari puing-puing kebakaran toko buku di Pasar Palasari Bandung, atau dari sisa pembakaran karya yang dibakar oleh Satpol PP.
Teks sastra Jokpin dan teks visual Tisna hadir sebagai penciptaan kembali keseharian dunia nyata. Mengkonstruksi kembali lapisan-lapisan fakta keseharian untuk membangun dunia ide. Dunia fiksi yang menyodorkan perspektif kesadaran yang berbeda sebagai reaksi atas suatu keadaan dalam dunia nyata. Dunia yang oleh Van Gogh disebut sebagai “hasil lukisan Tuhan yang gagal”.
Dalam hubungannya dengan teks sastra, bahkan ketika fakta dalam dunia nyata dibekukan lewat teks sejarah atau reportase jurnalistik, kodratnya tetap tak bisa disamakan dengan teks sastra. Jika sejarah atau laporan jurnaslistik merupakan fakta atau catatan lahir dari suatu peristiwa di suatu masa; maka teks sastra merupakan lukisan batin dari keduanya melalui penciptaan kembali. Jika dalam teks sejarah dan reportase jurnalistik maknanya telah ditentukan, maka dalam teks sastra makna itu turut dibangun dan lebih ditentukan oleh pembaca.
Bahkan lagi, ketika ketika seorang sastrawan secara sadar atau sengaja mentautkan produksi teksnya pada sesuatu yang faktual atau momen tertentu dalam dunia nyata, teks itu tetap hadir sebagai dunia yang lain. Sebutlah, Surabaya dalam cerpen “Surabaja” Idrus. Blomington dalam kumcer “Orang-orang Blomingtom” Budi Darma. Sosok Marijan Kartosurwiryo dalam kumpulan puisi “Kematian Kecil Kartosuwiryo” Trianto Triwikromo. Oetimu dalam novel “Orang-Orang Oetimu” Felix K. Nesi. Korupsi Pertamina dalam novel Ramadhan K.H, “Ladang Peminus”. Penculikan aktivis 1998 dalam “Laut Bercerita” Leila S. Chudori. Ada banyak lagi, termasuk berbagai antologi puisi bersama yang diterbitkan untuk mengenang bencana Tsunami.
Meski merujuk pada konteks sosok atau latar tempat dan peristiwa faktual, namun karya-karya itu hadir sebagai dunia yang berbeda dari dunia nyata yang menjadi reference-nya. Tetapi, seraya menolak bekerja sebagai penyalin dunia nyata, teks sastra (karya seni) juga tak bisa melepaskan tautannya pada dunia yang ditolaknya itu.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]