Membuka Jendela Sejarah:

Intertekstualitas dalam Puisi Komang Ira Puspitaningsih

 

Disampaikan Chris Woodrich

 

Pengantar

Suatu karya sastra, apa pun itu, tidak layak dibaca secara terlepas dari kehidupan nyata dan tulisan-tulisan yang ada sebelumnya. Pengarang tidak menulis dari kekosongan; ia telah membaca sebelum menulis, dan karena itu pasti ada apa yang disebut Wolfgang Iser sebagai gudang pengetahuan, atau repertoire, yang berasal dari pengalaman penulisdan mengilhami penulisannya (Iser, 1980: 55). Bacaan ini, semacam pengalaman tidak langsung atau second hand experience, memang tidak bisa memberikan pengertian yang sesungguhnya – siapa bisa benar-benar mengerti cinta tanpa merasakannya? – tetapi meninggalkan jejak yang bisa meletakkan fondasi untuk sebuah karya sastra.Namun, gudang pengetahuan ini bukan hanya dibentuk oleh bacaan seorang penulis, tetapi juga pengalaman empiris, pengalaman yang didapatkan secara langsung: apa yang dilakukan, siapa yang dikenal, dan seterusnya. Segala pengalaman ini dapat kita namakan sebagai teks, dan hubungan antara teks-teks ini, serta munculnya dalam karya sastra, dapat kita namakan dengan istilah Julia Kristeva, yaitu intertekstualitas (Still dan Worton, 1993: 1).

Sebaliknya, adanya intertekstualitas antara teks-teks ini juga mempengaruhi bagaimana pembaca menafsirkan teks yang sudah ada di gudang pengetahuannya. Karena membaca teks baru, yang menawarkan sudut pandang atau aspek lain yang baru pula, pembaca melihat apa yang pernah didapatkannya dengan sudut pandang yang berbeda. Ia dapat membongkar lebih banyak rahasia daripada sewaktu ia membaca teks itu untuk pertama kalinya, mengetahui sebab-akibat dan asal-muasal dengan lebih jelas daripada sebelumnya. Untuk penangkapan interteks yang terbaik, pembaca memerlukan gudang pengetahuan yang sepadan penulis.

Intertekstualitas sebagaimana dimaksud di atas dapat dilihat dalam tulisan Komang Ira Puspitaningsih, seorang penulis yang lahir di Bali. Beberapa hasil tangan penyair ini terpilih untuk disuguhkan:dua yang sudah lama dan satu yang lebih mutakhir. Ketigakaryaini, yang memiliki tema yang berbeda-beda,akan dibedah untuk mencari interteks yang terkandung di dalamnya dengan menarik kesamaan dengan teks-teks yang “dibaca” (dialami) oleh penulis, teks-teks yang mengakari puisi-puisi ini dengan interteksnya.

 

Analisis

Puisi pertama, berjudul “Barak Tua”, ditulis pada tahun 2002. Ia mengisahkan suatu perang yang terjadi di tempat “butir-butir pasir terbang”. Tokoh utamanya si “aku”, seorang anak kecil, yang memandang permainan boneka dan kelereng yang tidak dapat ia mainkan karena harus bersembunyi dari perang yang terjadi di dunia luar. Sementara, ada anak lain dengan mata yang sudah seperti mata orang tua karena selalu berperang; keluguan kekanak-kanakannya hilang sama sekali. Hal ini tak kunjung berubah, dan perang terjadi secara terus menerus; waktu “hanyalah pahatan nama di batu” yang tak bisa berjalan.

Kunci untuk memahami interteks yang ditawarkan puisi ini ada di nama kota, yaitu Kandahar, salah satu kota di Afghanistan dan tempat markas Taliban pada tahun 2001–2002. Interteks lain yang menunjukkan terjadinya peristiwa ini di Afghanistan termasuk cuaca yang panas terik dan pasir yang beterbangan tidak terkendalikan, memasuki setiap aspek kehidupan masyarakat. Keledai, binatang yang banyak ditemukan di negara Afghanistan, juga masuk ke dalam puisi ini.

Selain gambaran geografi Afghanistan, sebagaimana dijelaskan di atas, teks yang mendasari puisi“Barak Tua”termasuk pula sejarah Afghanistan, yang sudah seperti tidak mengenal perjalanan waktu atau perubahan sejak tahun 1978. Pada tahun tersebut, Partai Rakyat Demokratik (PRD) mengambil alih pimpinan negara dalam sebuah kudeta, yang memicu sejumlah pemberontakan dari kelompok-kelompok mujahidin. Ketika Uni Soviet masuk ke Afghanistan dalam sebuah usaha membasmi mujahidin tersebut (dan dengan demikian menjamin keberlangsungan pemerintah komunis PRD) terjadi suatuperang yang berlangsung selama sembilan tahun. Uni Soviet akhirnya terkalahkan oleh mujahidin, yang dibantu Amerika Serikat dan Inggris, tetapi perang saudara terus terjadi sehingga akhirnya Taliban yang menjadi partai berkuasa.

Saat puisi ini ditulis pada tahun 2002, Amerika Serikat baru mulai terlibat dalam perang di Afghanistan, yang dipicu oleh Serangan 11 September 2001. Kota Kandahar sendiri diduduki Amerika Serikat pada akhir tahun 2001, setelah pimpinan Taliban melarikan diri dan bersembunyi di gua-gua, seperti “anak kecil / dengan senyum murung” dalam puisi ini. Perang antara Amerika Serikat dan Taliban terjadi secara terus menerus, bahkan sampai sekarang.

Seperti dijelaskan di atas, puisi “Barak Tua” mengambil interteks dari sejarah Afghanistan yang menjadi seperti perang yang tak kunjung selesai, serta pengertian Afghanistan di mata orang Indonesia sebagai tempat yang penuh pasir. Namun, Puspitaningsih tidak melaporkan berita, dan tidak pula niat untuk mengecam salah satu pihak.Ia paham bahwa pembacanya pada waktu itu juga tahu adanya perang di Afghanistan, sehingga ia bisa menyampaikan pesan melalui gudang pengetahuan yang dimiliki bersamadengan interteks yang merujuk pada pengertian orang Indonesia tentang kesejahteraan.

Anak-anak, yang orang Indonesia harap dapat dipelihara dan dilindungi dari kejamnya dunia, malah digambarkan dengan “mata seorang prajurit tua / yang takut tertembak mati”, sebagai orang yang bukan hanya memikirkan masa depan, tetapi mencemaskannya. Bau mayat, yang amat busuk bagi orang Indonesia, sudah biasa untuk orang-orang dalam puisi ini; ia tercampur bau mesiu dan terbawa angin setiap hari.Anak-anak ini tidak dapat bermain, hanya berperang, sehingga nasib mereka sendiri tidak dapat diubah; mereka hanya mengenal air mata, kebusukan, dan pasir. Untuk menjadi orang yang berkecukupan, mereka harus bisa berkembang… sesuatu yang tidak bisa dilakukan saat bersembunyi di lantai, menulis puisi. Dengan demikian, karena menangkap interteks ini, pembaca didorong untuk melihat perang di Afghanistan bukan dari serdadu dan politiknya, tetapi rakyatnya yang sengsara.

Puisi lain yang banyak menarik interteks dari sejarah ialah “Via Dolorosa”, yang ditulis pada tahun 2012. Tema karya ini sudah terlihat dari judulnya, yang berarti “jalan duka” dalam bahasa Latin; Via Dolorosa adalah suatu jalanan di Yerusalem yang dianggap orang Nasrani sebagai jalanan yang ditempuh nabi Yesus sewaktu akan disalibkan. Mengingat itu, tulisan ini mencerminkan detik-detik terakhir Yesus sebelum ia disalibkan. Ia merasa bahwa Ia sebenarnya sudah siap kembali ke surga, tetapi Ia juga merasa cemas dan khawatir. Akhirnya, ketika ia disalibkan pada senja hari, ia memanggil nama “Maria!” dan mati. Jiwanya melayang ke arah matahari terbenam, menuju surga.

Puisi ini penuh dengan interteks dengan Al-Kitab, mulai dari baris terakhir pada bait pertama yang berbunyi “Aku bagikan roti dan cawan anggur”, yangmerujuk pada Injil.Al Kitab menceritakan puluhan mukjizat yang dilakukan Yesus. Di antara mukjizat ini adalah yang terjadi pada suatu pernikahan di Kana, yang menurut Injil merupakan penjelmaan air menjadi anggur sehingga tamu bisa puas minum, serta yang terjadi di Betsaida, yaitu kemampuan Yesus membuat orang kenyang dengan hanya beberapa buah roti dan ikan kecil. Di sini, Yesus mengatakan bahwa sudah semestinya Ia mati, sebab ia telah membagi roti dan anggur dan, implikasinya, menantang kekuasaan orang Roma dan dewa-dewi mereka. Selain itu, ada interteks pada Perjamuan Kudus yang dilakukan orang-orang Nasrani, yang percaya bahwa roti dan anggur menjadi bak tubuh dan darah Yesus yang terus dibagi sampai sekarang; roti dan anggur yang telah dibagikan Yesus bergema selama ribuan tahun.

Budi dan sifat baik Yesus yang dikisahkan Al-Kitab, yang telah mendorong-Nya untuk membantu manusia sebagaimana dijelaskan di atas, disampaikan pula dalam “Via Dolorosa”. Biarpun Ia tahu sudah saatnya untuk Ia mati, Ia tetap “menyucikan segala sisa yang bisa kusucikan” dan membantu manusia untuk menjadi orang baik.Ia mengampuni dosa orang yang lewat, yang belum tentu Ia kenal. Bahkan yang berkhianat disambut lewat pelukan, dimaafkan biarpun mereka telah membawanya pada kematian.

Pada akhir puisi ini, Yesus yang siap mati melafalkan nama “Maria”, yang justru dapat dibaca sebagai hal yang ambigu. Menurut ajaran Nasrani, ada tiga perempuan yang bernama Maria yang hadir di penyaliban Yesus, yaitu ibunya Maria, Maria Magdalena, dan Maria dari Klopas; yang disebut di sini tidaklah jelas, tetapi sangat mungkin kalau Maria yang dimaksud adalah ibu dari Yesus, yang telah membesarkan-Nya sejak kecil. Sampai sekarang pun nama “Maria”, dalam konteks Katolik, dianggap mengacu pada ibu dari Yesus apabila tidak diikuti oleh nama belakang.

Selain itu, ada pula interteks yang merujuk pada ajaran Nasrani yang beranggapan bahwa Yesus adalah Tuhan sekaligus anak manusia, yang diturunkan ke Bumi untuk memandu manusia mengikuti “jalan lurus”. Dalam puisi ini, Yesus sebagai manusia merasa sudah tiba saatnya untuk pulang. Tubuh-Nya“pecah penuh celah”, dengan mata yang “tak lagi mampu melihat”. Namun, Ia sebagai Tuhan siap menempuh “jalan untuk pulang”, kembali bertahta di surga. Biarpun tubuh fisik-Nya sudah hancur, tubuh spiritual-Nya tetap kuat – meski harus mengalami kesakitan yang luar biasa.

Pembaca yang menangkap interteks yang ditawarkan oleh “Via Dolorosa” ini justru terdorong untuk mengartikan pengorbanan Yesus dengan cara yang lain dari biasa. Yesus, dalam pandangan yang ditawarkan ini, bukan dewata yang telah turun ke Bumi yang kekal, tidak bisa merasakan sakit dan nyeri. Ia, selain Tuhan, juga manusia, yang dapat merasa tersiksa – meskipun itu semua menurut nujuman. Ia memang hendak pulang ke surga, tetapi sisi manusianya sangat kuat, sehingga ketika akan meninggal Ia memanggil nama ibu-Nyauntuk kekuatan. Dengan demikian, dalam pandangan yang ditawarkan ini pengorbanan Yesus menjadi semakin besar, karena pembaca diingatkan bahwa ia mengalami siksaan seperti halnya manusia pada umumnya, tetapi masih tetap menjaga sikap.

Puisi terakhir yang disinggung di sini berjudul “Kerikil Berjatuhan dari Langit”. Karya inimenceritakan seorang anak kecil yang bangun tidur karena derai-derai hujan yang kedengaran dalam kamarnya. Ia melihat “kerikil berjatuhan dari langit / menjelma hujan” dan, ketika Ibu datang, menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk “ribut”, seakan hal yang disaksikannya bukanlah hal yang aneh. Ia lalu kembali tidur.

Berbeda dari dua karya puisi di atas, yang memiliki banyak interteks pada sejarah, “Kerikil Berjatuhan dari Langit” berangkat dari teks yang berupa pengalaman.Ia ditulis mulai pada tahun 2004, setelah Puspitaningsih pindah ke Jakarta. Saat itu, ia mulai berkomunikasi dengan sejoli penyair muda bernama RaudalTanjungBanua dan NurWahidaIdris, yang selain menghasilkan puisi telah diberkati seorang anak yang bernama SutanTsabitKalamBanua. Pada saat Puspitaningsih bertemu dengan Tsabit,anak itu baru berusia empat tahun. Namun, ia sudah menyadari bahwa Tsabit telah menerima warisan kreativitas dan imajinasi dari kedua orang tuanya. Akhirnya, Puspitaningsih menulis puisi ini untuk Tsabit.

Dengan mengetahui interteks di atas, maka puisi ini menjadi semakin hidup bagi pembaca. Anak yang terbangun karena “kerikil berjatuhan dari langit” bukan mengandai-andai hujan menjadi kerikil tiada berguna, dan bukan semena-mena karena belum terbangun sehingga berjalan dengan mata yang disipitkan.Ia, yang sudah mulai menulis puisi dari waktu kecil, justru mengekspresikan diri dengan metafora. Bagi dia, hujan deras yang mampu “menghapus malam” dan “menyesatkan malaikat” tidaklah mungkin air yang biasanya ia pegang ketika mandi, tetapi mesti lebih keras. Namun, yang dilihatnya setelah ia membuka jendela hanyalah air hujan, sehingga ia mengandai-andai ada benda keras yang menjelma sebagai air ketika dipandang, tapi ketika tidak dipandang malah keras seperti kerikil.Hal ini, yang ajaib dan barangkali menakutkan bagi dewasa yang merasakan diri sudah memahami hukum dunia, yang telah mengalami belasan tahun sekolah, untuk Tsabit biasa-biasa saja, sehingga. Ia tidak takut, dan justru coba menenangkan ibunya. Tokoh “aku”, seorang penyair sekaligus Ibu, pun justru nampak bahagia karena anaknya mempunyai kemampuan imajinasi seperti dirinya dan Bapak; ia dapat ditenangkan karena melihat sifatnya dicerminkan dalam anaknya itu.

Dengan demikian, pembaca pun dipengaruhi dan mengenangkelakuan anak-anak yang penuh fantasi. Yang sudah mempunyai anak bisa menafsirkan perilaku anak mereka sendiri, dengan imajinasi bukan sebagai sesuatu yang harus ditakuti tetapi justru layak dikembangkan supaya anak tersebut bisa mengalami hidup dengan cara yang berbeda sama sekali. Kalau anaknya sudah dewasa, pembaca bisa kembali pada masa lampau dan, melalui kenangan tersebut, menafsirkan kembali hubungannya dengan anak tersebut. Sementara, yang belum mempunyai anak mendapatkan teks baru dalam gudang pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengerti teks yang akan “dibaca” kalau ia sudah punya anak, betapa lucunya anak yang berhati tulus.

Selain kenangan mengenai anak-anak, cinta persahabatan yang dirasakan di dalam puisi ini menjadi semakin nampak. Puspitaningsih sudah mengenal keluarga itu, dan sudah menukar gagasan dengan mereka. Ia juga sudah bertemu dengan Tsabit, yang menumbangkanpapancatur dan menyebutnyagempa dalam salah satu puisi Bandel (2006: 87-88). Ini menjadi suatu persembahan, suatu kenangan yang indah, untuk keluarga Tsabit yang berasal dari rasa kasih sayang yang ia miliki pada keluarga itu, yang dapat dirasakan pula oleh pembaca yang mendapatkan interteks tersebut.

 

Kesimpulan

Karya Komang Ira Puspitaningsih, seperti halnya penulis lain, mendapat ilham dari teks-teks lain, yaitu segala sesuatu yang dialami atau dibaca oleh pengarang. Hal ini dapat berskala sebesarkematian Yesus atau sekecil mimpi buruk seorang anak kecil. Ia bisa dialami secara langsung, seperti kasih sayang dua orang sahabat, atau secara tidak langsung, seperti sengsaranya warga di Afghanistan selama perang. Alhasil, interteks-interteks ini bisa menawarkan teks yang baru pada pembaca yang dapat menambahkannya ke dalam repertoire, dan dengan demikian dapat pula mempengaruhi bagaimana pembaca menafsirkan teks yang sudah pernah dibaca.

Interteks yang muncul dalam tulisan seorang pengarang, termasuk Puspitaningsih, bukanlah hal yang harus dihindari. Interteks membawa pembaca kepada pengertian dunia yang lebih luas dan memenuhi gudang pengetahuannya dengan suguhan teks-teks yang baru, dan dengan demikian penulis menawarkan cara untuk pembaca mengembangkan dirinya sendiri. Karena penulis ikut membentuk perkembangan pembaca, penulis juga mempunyai kekuasaan untuk mengarahkan bagaimana pembaca berkembang. Karena itu, interteks justru bukan hal yang layak ditakuti atau disumpahi, tapi dirayakan sebagai suatu hal yang wajar yang menjadi alat untuk penulis mencapai tujuannya.

 

Daftar Pustaka

Bandel, Katrin. “Buat SutanTsabitKalamBanua.” dalam Jogja 5,9 Skala Richter: Antologi Seratus Puisi. Ahmadun Y Herfanda. Yogyakarta: Bentang, 2006. 87-88. Print.

Iser, Wolfgang. The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1980. Print.

Still, Judith, and Michael Worton. “Introduction.” dalamIntertextuality: Theories and Practices. Michael Worton and Judith Still. Manchester: Manchester University Press, 1993. Print.

 

Sumber: http://bit.ly/2g8ls4s

Tuliskan komentar