Menu

Membangun Candi dalam Satu Hari: Antara Raja dan Papa dalam Dunia Sastra | Fitriawan Nur Indrianto

  

 

Sastrawan di satu sisi dan kritikus sastra di sisi lain adalah dua label penandaan legitimasi yang ada di dalam dunia sastra. Jika yang pertama lebih pada pencapaian pergulatan menulis karya kreatif, yang kedua hadir lewat ulasan-ulasan mendalam terhadap karya-karya yang dihasilkan para sastrawan atau menyoal persoalan-persoalan lain di dalam dunia kreatif.  Untuk bisa mendapatkan legitimiasi tersebut, seorang yang terjun dalam arena sastra harus berusaha keras melalui perjuangan baik lewat penciptaan karya yang bermutu tinggi maupun pergerakan pribadinya (hal-hal di luar menulis) sebagai sumbangsih terhadap dunia sastra. Klaim legitimasi itu umumnya didapat melalui proses yang panjang. Untuk bisa menghasilkan karya yang baik, seorang penulis sastra berusaha mati-matian untuk menciptakan karya yang baik sekaligus diakui. Seorang penyair atau cerpenis misalnya, mungkin mendapatkan ujian dengan berkali-kali karyanya ditolak oleh redaktur surat kabar. Karya-karyanya mungkin juga gagal memenangkan sebuah ajang kompetisi menulis sastra bahkan hanya untuk masuk 100 besar sekalipun (agar karyanya dimuat dalam antologi bersama). Seorang novelis juga membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa menghasilkan karya yang bagus. Tak luput mereka akan kerap mendapatkan cemooh atau kritik pedas dari sesama penulis. Akan tetapi, mereka itu terus istiqomah, sesekali merasa menjadi makhluk paling tidak berguna, menghabiskan biaya riset yang tidak sedikit. Demi mengerjakan sebuah karya, seorang penulis membutuhkan waktu dan ruang menyendiri, sehingga ia bisa saja diasingkan atau dianggap tengah gila.” Semua dilakukan untuk perjuangan menghasilkan karya yang bisa diterima oleh pembaca sastra.

Tidak mudah untuk mendapatkan legitimasi dalam dunia sastra itu, bahkan ketika seorang penulis telah mencipta karya yang sangat banyak sekalipun. Pengakuan dalam dunia sastra melibatkan sebuah mekanisme yang begitu rumit dan panjang. Bahkan ketika seorang pernah dianggap sebagai sastrawan, namanya bisa saja meredup. Ia harus terus menerus memperjuangkan legitimasi yang telah diberikan kepadanya. Ia tidak boleh berhenti bahkan sampai mati, atau konsekuensinya, namanya akan hilang ditelan bumi.

Meskipun legitimasi gelar merupakan anugerah tertinggi, kerja budaya tak melului menyoal pengakuan semata. Minimal, kepuasan untuk bisa menghasilkan sumbangsih terhadap diri sendiri adalah capaian yang tidak bisa pula dihindarkan. Menulis adalah juga menyoal menyuarakan pergolakan batin yang tiada henti. Seorang Wiji Thukul yang hidupnya menderita karena merasa tertindas, mungkin menemukan gairah hidup ketika menulis puisi-puisi pemberontakan, sekaligus menyuarakan gejolak batinnya. Amir Hamzah, seorang bangsawan yang begitu dihormati memilih menjalani kesunyian di kala zaman pada saat itu sangat keras, membayangkan dunia ideal di dalam karya-karyanya. Pramoedya Ananta Toer berkali-kali masuk penjara hanya karena sikap hidupnya yang tak pernah mau tunduk. Begitulah dunia sastra, dunia yang diakrabi oleh orang-orang yang siap menang tapi sekaligus juga berani terlempar jauh ke dalam kehidupan yang sama sekali tak ideal. Tapi dalam keadaan itulah mereka menemukan dirinya, memerdekakan diri dari segala belenggu dengan menciptakan dunia sendiri dalam karya-karyanya. Mereka berani sekaligus jujur pada diri sendiri.

Tidak main-main, tawaran yang diberikan oleh sastra adalah keabadian. Mereka yang berhasil melewati rintangan-rintangan akan memperoleh keabadian, sesuatu yang absurd namun diyakini demikian halnya. Namanya akan terukir sekaligus dikenang sepanjang hayat. Ketika jasadnya sudah busuk dan menyatu dengan tanah, namanya terus diagung-agungkan. Tawaran keabadian itu tentu saja sangatlah menggiurkan. Ia ibarat magnet yang akan menarik siapa saja. Banyak orang kemudian menulis, berusaha mencapai keabadian itu. Bersusah payah dan mati berkali-kali. Berbagai strategi kemudian dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan itu. Baik dengan dengan cara yang elegan maupun secara serampangan.

Tapi tak sedikit pula yang mencoba peruntungannya dengan cara potong kompas. Fenomena akhir-akhir ini nampak menunjukkan yang demikian. Munculnya nama Denny JA dalam Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh bisa menjadi salah satu contoh. Seorang yang baru menulis satu buku, yang kualitasnya kesastraannya belum teruji kemudian menjelma sebagai tokoh sastra. Atau seorang kritikus “pemula” seperti Narrudin Pituain tiba-tiba muncul dengan menggasak karya-karya para sastrawan terkenal. Penyair Indonesia seperti Chairil Anwar bahkan disebut sebagai “binatang jinak”, sebuah ungkapan “nylekit” yang ditujukan bagi penyair yang pernah melawan hegemoni kesusastraan di bawah kendali penguasa Militer Jepang. Tentu yang demikian itu pasti akan menyebabkan lahirnya kontroversi. Siapapun yang menggeluti dunia sastra tak akan rela jika melihat kehadiran orang-orang “karbitan” seperti itu yang seringkali pula terlalu gegabah dalam bertindak. Perjuangan mereka yang bersimbah darah seakan menjadi tak berharga ketika melihat orang-orang yang berjalan tanpa permisi tiba “nyelonong” menyerbot antrian untuk diakui.

Bagaimanapun juga, arena sastra adalah arena pertarungan sekaligus pergulatan. Disadari atau tidak, satu sama lain bisa saling sikut meskipun sesekali saling rangkul sana-sini juga. Orang-orang yang menginginkan memperoleh legitimasi dengan instan ini pun juga menggunakan hal yang sama. Hanya dengan strategi itu pulalah mereka bisa menemukan posisi dalam pertarungan itu. Akan tetapi, strategi potong kompas itu biasanya harus didukung kekuatan, kalau tidak modal (baik ekonomi, sosial, politik) ya modal nekat dan narsis. Yang disesali, mereka itu juga menggunakan taktik menjatuhkan lawan, seolah yang lain adalah sampah, tidak berguna, usang dan lain-lain. Yang punya modal bisa melakukan survei, kemudian mendeskreditkan karya-karya penulis sezamannya itu sebagai karya yang ketinggalan jaman, tidak bisa dibaca publik dan asing sehingga harus ada karya alternatif. Lalu ia membuat teroboson yang berbeda, seolah karyanya itu adalah karya yang sama sekali lain: genre baru. Lalu dengan kekuatan kapitalnya ia mencari legitimasi agar orang mengatakan bahwa karyanya adalah original, kontemporer, avangrade, dan kontekstual. Semuanya pada akhirnya memang menjadi pilihan yang sangat beresiko. Dengan klaim yang nampak dipaksakan, ia kemudian disebut sebagai sastrawan pembaharu atau bahkan tokoh sastra. Namun bagaimanapun juga, yang seperti itu bukankah mirip cerita Bandung Bandawasa yang ingin membangun candi dalam satu malam?

Fenomena yang demikian nampaknya sedang menggerogoti dunia sastra, khususnya sastra Indonesia. Nampaknya, semua orang saat ini tengah butuh eksistensi dan pengakuan. Dunia sastra yang selalu menggiurkan nampaknya menjadi lahan yang bagi mereka bisa dimanfaatkan. Sayangnya, dunia sastra adalah dunia yang sama sekali “rumit”. Logika-logikanya tak bisa dijelaskan atau diramal. Ia seolah mudah ditaklukkan tetapi ternyata liar. Ia seolah inferior dibanding arena-arena yang lain seperti arena ekonomi atau politik. Akan tetapi ternyata ia memiliki otononomi, diisi juga oleh orang-orang bebal yang merdeka dan anti kompromi pada hal-hal yang mungkin dianggap tabu dalam dunia sastra.

Berkecimpung dalam dunia sastra sekali lagi tak melulu soal pencapaian menjadi seorang sastrawan atau kritikus sastra. Menulis sebagai salah satu aktivitasnya barangkali salah satunya bisa dimaknai sebagai kebutuhan rohani, sebuah ibadah ikhlas yang dilakukan orang-orang papa.

 

 

15 April 2018

 

 

Tentang Penulis:

Fitriawan Nur Indrianto, alumnus Pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM

saat ini menjadi redaktur media online kibul.in

 

 

Ilustrasi oleh Mathorian Enka

Tuliskan komentar