Seperti biasa, setiap Minggu pagi sebelum membaca koran-koran saya selalu menyempatkan untuk membuat kopi. Biasanya kopi Java Preanger atau kopi Flores. Kopi membuat saya fresh sehingga dapat membantu ketika membaca koran dan buku-buku sastra.
Kastagila dan 16 Cerita Lainnya karya Muhammad Qadhafi yang diterbitkan oleh Penerbit Gambang Buku Budaya (2015) ini, mengingatkan saya pada percakapan dengan seorang anak umur 6 tahun asal Australia.
Anak itu saya temui di Homeschooling Taman Sekar Bandung. Saya mengajukan beberapa pertanyaan salah satunya tentang cita-cita, “What is your dream?” kira-kira seperti itu saya bertanya.
Jawaban anak itu membuat kaget dan saya tidak menduga ia akan menjawab seperti itu. Jawabannya begini, “I want to be a dolphin.” Seperti itu jawaban anak yang berusia 6 tahun asal Australia tadi.
Sungguh mengejutkan, sama ketika saya membaca Kastagila dan 16 Cerita Lainnya. Mengejutkan bukan artinya ke-17 cerpen yang dihimpun oleh lelaki kelahiran Salatiga, 26 Desember 1989, baik dan bagus. Melainkan ada beberapa hal unik yang saya temukan pada cerpen-cerpennya.
Hal unik pertama adalah bahasa tutur Muhammad Qadhafi yang mengalir dan dihentikan dengan imaji yang menukik. Bahasa yang mengalir pada cerpen memang sudah biasa dilakukan oleh para cerpenis lain.
Pada cerpen Qadhafi, aliran bahasa dihentikan dengan imaji yang tidak terduga. Imaji ini bisa terjadi pada percakapan antar tokoh, setiap narasi yang dibuat oleh narator serta pada akhir cerita.
“Tetapi kau juga perlu tahu, sudah 39 hari lalu Kades kades itu mati mengenaskan. Tubuhnya tercabik-cabik di dalam kamar. Meninggalkan bau. Sama sekali bukan bau anyir darah, melainkan bau pesing memualkan.
Aku tahu betul duduk kematiannya. Waktu itu purnama. Ketika sedang khusuk-khusuknya bertapa, ia diserbu gerombolan anjing tak berkemaluan yang memang telah lama bersekongkol mencabik nyawanya. Cahaya lilin-lilin menggelayut, berkilauan pada beberapa bait dinding kayu kamarnya, kemudian pejam bersama lesapnya nyawa sang Kepala Desa.”
Penggalan cerita di atas terdapat pada cerpen yang berjudul “Anjing Kebiri”. Percakapan yang unik terdapat pula pada cerita-cerita lainnya seperti “Negeri Para Dukun”, “Sebuah Kado Sia-sia”. Akhir cerita yang unik terdapat pada cerpen di antaranya berjudul “Frenia yang Ganjil” dan “Anggur Orang Mati”.
Hal unik kedua adalah Qadhafi mengangkat realitas sosial. Realitas sosial yang diangkat oleh Qadhafi bukan memotret suatu peristiwa dan memindahkannya pada cerpen sehingga menjadi berita hangat. Qadhafi mengambil satu peristiwa serta direnungkan sehingga yang keluar bukan potret realitas sosial seperti berita, melainkan kontradiksi antara pikiran Qadhafi dengan pikiran massa.
Dengan kata lain, Qadhafi melawan paradigma yang sudah dibentuk oleh masyarakat. Hal seperti ini hampir semua terjadi pada keseluruhan cerpen yang terhimpun dalam antologi pertamanya ini.
Keunikan yang ketiga masih saya rahasiakan, mungkin pembaca selain saya dapat menemukan juga hal yang unik pada buku Kastagila dan 16 Cerita Lainnya.
Secara keseluruhan cerpen Qadhafi bercerita tentang realitas sosial. Realitas sosial memang inspirasi yang tidak pernah habis. Banyak cerpen yang bercerita tentang realitas sosial yang tidak berhasil dan tidak sedikit pula yang berhasil. Semua tergantung bagaimana seorang cerpenis melihat realitas dengan sudut pandang yang berbeda.
Cara pandang Muhammad Qadhafi ini membuat saya ingin kembali membuat espresso, supaya pikiran kembali fresh.[]
Esai ini pernah dimuat di buruan.co http://bit.ly/2yT6iLi