Menu

Melihat Jogja sebagai Semesta Perayaan | Fairuzul Mumtaz

 

Judul: Semesta Perayaan: Jogja Kemrungsung (Kumpulan Esai Peserta Lokakarya #2 Penulisan dan Pengarsipan IVAA)

Penulis: Aik Vela PrasticA / Ajeng Anggrahita / Anne Shaka / Istifadah Nur Rahma / Nadia Maya Ardiani / Nurina Susanti / Rendra Agusta

Penerbit: IVAA

Tahun: 2018

Ukuran: 19×13 cm

Tebal: 108 hlm

 

Meninggalkan Jogja selama 4 tahun membuatnya pangling dengan tampilan kota ini. Ia melihat pergerakan kota yang sangat cepat. Jalanan yang dulu bisa dilewati dua arah, kini ia kebingungan mencari jalan lain karena berubah menjadi satu arah. Pembangunan jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kendaraan menyebabkan kemacetan di berbagai titik adalah salah satu penyebabnya.

Begitu, Ajeng Anggrahita mengawali esainya “Kebisingan DiY di DIY” dalam buku Semesta Perayaan: Jogja Kemrungsung. Apa yang dirasakan Ajeng tentu menjadi pengalaman banyak orang. Waktu 4 tahun cukup untuk melesatkan pembangunan dari berbagai sisi. Dan bagi Anda yang menjaga jarak dengan Jogja akan segera merasakannya melalui buku ini.

Pembangunan yang dimaksud tidak hanya pada infrastruktur, melainkan juga pada budaya, manusia, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi keniscayaan sebab dunia tak boleh berhenti. Perubahan lanksap Jogja ini kemudian menjadi irisan dari civic center. Bagi Spiro Kostof, sejarawan arsitektur dari California,  civic center merupakan bagian dari kota yang secara spasial menjadi pusat bagi berbagai macam kegiatan masyarakat penghuninya, di antaranya kegiatan politik, spiritual, ekonomi, pertahanan, budaya, dan rekreasi.

Civic Center ini tampaknya menjadi arus utama bagi para penulis dalam buku Semesta Perayaan: Jogja Kemrungsung ini. Buku tipis setebal 108 halaman ini terdapat 7 bagian esai. Dari ketujuh esai tersebut, kita dapat melihat bahwa menjadi “pusat” bukanlah hal natural, melainkan dibentuk dan disistemasi sehingga memiliki daya tarik yang kuat. Bahkan kontestasi politik terjadi setiap hari di dalamnya.

Sebagaimana yang disampaikan Lisistrata Lusandiana dalam pengantarnya untuk buku tersebut, ia menekankan bahwa menjadi “pusat” menerima kehadiran rezim percepatan pembangunan yang muncul di keseharian kita. Sayangnya, percepatan itu tanpa meminta persetujuan kita. Menjadi “pusat”juga mengaburkan batas-batas tradisi sehingga semakin memperlebar ruang-ruang mitos. Termasuk bahwa Jogja yang selow adalah mitos.

Contoh mitos lainnya adalah Jogja berhati nyaman, yang begitu tampak dalam esai Istifadah Nur Rahma yang berjudul “Mempertanyakan Kembali Atmosfir Solidaritas di Jogja”. Isti, panggilan akrabnya, membidik berbagai konflik, dari mulai konflik agraria hingga pembangunan bendara baru di bilangan Kulonprogo. Tak terpancing dengan para aktivis, Isti justru mempertanyakan “kebisingan” para aktivis tersebut dengan aksi solidaritasnya. Bagaimana tidak, pemanggungan protes para aktivis, menurut Isti, tidak membawa dampak signifikan selain sebagai media ekspresi mereka yang notabene adalah seniman.

Sikap kritis sebagaimana Isti juga diperlihatkan Anne Shake dan Nurani Susanti terkait gelaran seni tahunan, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) dan ArtJog. Dua esai yang masing-masing berjudul “Etalase Buram Perayaan Seni Yogyakarta” dan “#SwafotodiRuangPamer” ini mempertegas lahirnya mitos Jogja sebagai kota budaya dan kota seni. Dua gelaran seni tersebut jauh dari representasi branding kota Jogja. Bagi Anne, FKY tak ubahnya pasar kuliner yang nyaris jauh dari representasi budaya Jogja. Begitu pula dengan Nurani, mempertanyakan gimmick lomba swafoto di ArtJog dimanfaatkan untuk popularitas event yang seolah tak mampu memviralkan dirinya sendiri serta mencari keuntungan dari pengunjung melalui tiket masuk.

Berbeda dengan esai-esai di atas, dua esai Aik Vela Pratisca dan Rendra Agusta seolah ingin mengukuhkan mitos Yogyakarta sebagai kota budaya melalui pendeskripsian program Jagongan Wangon di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) dan Desa Panggungharjo sebagai lumbung budaya.

Di luar sikap kritis para penulis, para penulis telah berhasil menampilkan Yogyakarta sebagai civic center dengan berbagai kegiatan budaya, seni, aktivisme, ekonomi, dan rekreasi. Hal ini tidak terlepas dari tema awal penulisan buku, yang merupakan hasil dari Lokakarya #2 Penulisan dan Pengarsipan IVAA.

Tema awal yang dipilih oleh IVAA adalah “Jogja Kota Acara”. Artinya, ada upaya IVAA untuk menjadikan Jogja sebagai pusat acara yang ditandai dengan banyaknya media publikasi yang kemudian kerap dianggap sebagai sampah visual. Acara tidak kemudian dimaknai secara sempit sebagai event saja, melainkan apa saja yang biasanya terdapat dalam sebuah event, bahkan hingga hal terkecil seperti gimmick. Terutama hal-hal yang menyangkut pertanyaan, apakah peningkatan ruang seni-budaya secara kuantitas berbanding lurus dengan mutunya? Sejauh mana ruang seni budaya tersebut mampu menjadi ruang semai pemikiran yang mampu menyediakan cara dalam membincangkan persoalan masyarakat? Atau justru menjadi persoalan itu sendiri?

Tidak semua pertanyaan di atas dapat kita temukan jawabannya dengan lugas dalam buku ini, melainkan dapat dijadikan data setengah matang untuk lebih menggali berbagai persoalan masyarakat, khususnya di Yogyakarta. Esai-esai ini akan kembali memancing kita untuk memperuncing pertanyaan hingga melahirkan tulisan baru.

No Responses

Tuliskan komentar