Matahari Ditelan Khatulistiwa
Matahari lenyap ditelan khatulistiwa
Hari tinggallah bangkai renungan
Kugendong sepi dan sunyi
Biar dibuai malam bak seorang bayi
Kukunci mulut dari ribuan suara
Kubiarkan dunia menghina dan tertawa
Karena matahari ditelan khatulistiwa
Karena ramai tak lagi menyimpan kata
Jakarta, 14 Juli 2017
Amuk Wisanggeni
Memandang dunia dari dasar kawah Candradimuka
Rongga dada berdegup penuh ledak
Dan di dalam kepala
Asap panas terus mengepul dan makin pekat
Tanganku tombak trisula baginda Azazil
Hingga sanggup kusangga matahari dengan satu jari
Darahku lelehan magma yang berpijar
Hati mendidih, detak jantung menjelma genderang
perang Bharatayuda
Tubuhku jadi neraka
Ingin kukelilingi seluruh jagat raya
Menapaki setiap jengkal bumi
dengan langkah api yang menyala-nyala
Supaya terbakar habis dunia dan seisinya
Supaya jagat raya lebur jadi abu
Manusia yang berat dengan kepalanya sendiri
Di sebelah mana lagi hendak kau bangun
petak tanah kesombongan?
Jakarta, 21 Juli 2017
Dramaga
Dramaga, adalah dermaga tempat
tanyaku berlabuh tanpa sisa
Kubiarkan tak terjawab
Hingga fajar menyingsing perlahan
dari ujung cakrawala
Tahuku hanyalah bahwa esok hari
jangkar mesti kembali kuangkat
Dan kapal kembali berlayar,
menjaring tanya demi tanya dari samudera rahasia
Untuk kembali kulabuhkan,
terjawab, atau membusuk bersama
ikan-ikan yang terasing dari ramai pasar pagi buta
Jakarta, 15 Oktober 2017
Berjagalah di Kesadaranku
Akan setia kurawat bunga rampai senyummu
Pada tanah lapang yang tersimpan di kedua bola mataku
Kuharap mekar dan rindang
Untuk berteduh hari tuaku yang kering dan gersang
Akan senantiasa kujaga lembut tatap matamu
Kutitipkan pada setiap tetes darah yang mengaliri tubuhku
Kuharap abadi dan terkenang
Seperti juga dosa-dosaku yang terpahat di hari lalu
Berjagalah di kesadaranku
Kulihat hari esok masih samar membayang di kejauhan
Tapi ia tak pernah rehat menipuku
Lewat seribu gejala yang sigap menghadang
Jakarta, 12 November 2017
Menggamit Cakrawala
Rembulan yang Engkau lukis
di atas hitam mataku
Tak lantas membuatku yakin
untuk berani mengarungi seribu musim
tanpa matahari
Tapi sebab cinta ini begitu nyala
Tak lagi risaubagiku menggamit cakrawala
Pamulang, 19 April 2018
PENULIS
Sobrun Jamil. Menulis puisi baginya ialah salah satu cara menangkap gerak dan getar kehidupan.
Penulis kelahiran Pekalongan, 14 Desember 1997 ini tergabung dalam klub sastra Omah Puisi yang terbentuk
dari pinggiran Ibukota Jakarta. Puisinya pernah dimuat dalam Antologi Puisi: Jendela Pekalongan (2018), beberapa lainnya ia tulis pada blog pribadi.
Email : kesotsot@gmail.com
Telepon : 082210993794
Ilustrasi oleh Mathorian Enka.