“Kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang.” —Roland Barthes, The Death of the Author[1]
Apakah benar cerpen Hamsad Rangkuti “Reuni” (1994) menisbikan kenyataan dalam cerpen “Malam Takbir” (1993)[2]?
Pada cerpen yang lebih dahulu terbit, diceritakan bahwa di sebuah warung pinggir jalan di sebuah kota besar, tokoh aku mendapati seorang lelaki di depannya sedang menyantap makanan pembuka puasa. Tiba-tiba sebuah bola bulu ayam mendarat tepat di piring lelaki itu. Rupanya, bola bulu ayam itu milik seorang anak perempuan yang bermain bulu tangkis di jalan. Kemudian, ibu dari anak perempuan itu mendatangi si lelaki untuk memberi sejumlah uang sebagai wujud permintaan maaf. Namun, lelaki itu menolaknya karena enggan menerima uang dari belas kasihan orang lain. Terjadilah diskusi alot antara si ibu dan lelaki itu. Singkat cerita, tokoh aku meyakinkan si ibu agar menyerahkan uang itu kepadanya sambil berjanji bahwa lelaki itu akan menerimanya nanti. Setelah si ibu setuju dan pergi bersama si anak, tokoh aku mendorong lelaki itu agar menerima rezeki dari Allah. Hingga akhirnya lelaki itu menangis sambil mengaku bahwa menjelang Lebaran ini, dia kesulitan mendapat pekerjaan.
Satu tahun setelahnya, pada cerpen yang berbeda, diceritakan bahwa tokoh aku kembali berada di warung pinggir jalan seperti setahun yang lalu. Tokoh aku juga menceritakan kerinduannya pada lelaki yang kejatuhan bola bulu ayam. Namun, pada bagian akhir, terdapat sebuah percakapan dengan hansip setempat yang menyatakan bahwa di sini tidak ada warung, rumah, atau musala (seperti yang terdapat pada cerpen sebelumnya). Dengan demikian, pertemuan tokoh aku dengan lelaki yang kejatuhan bola bulu ayam itu menjadi batal.
Kasus ini mirip dengan apa yang pernah terjadi pada Ali Akbar Navis. Cerpennya yang berjudul “Datangnya dan Perginya” (1991) ditransformasikan menjadi novel berjudul Kemarau (1992) dengan pelbagai perbedaan yang mewakili masing-masing gagasannya. Semisal dalam cerpen, tokoh Ayah Masri lebih menerima perbuatan inses anak-anaknya, sedangkan dalam novel dia menolak.
Dapat juga kita temukan kemiripan pada novela Ryunosuke Akutagawa, Kappa (1927)[3]. Pada bagian “Pengantar Pengarang” (menjadi bagian dalam karya, bukan di luar), digambarkan bahwa “Ini adalah kisah pasien No. 23 di salah satu bangsal rumah sakit kami.” Namun, pada akhir bagian kedua, yang menggunakan Pasien No. 23 sebagai tokoh aku, muncul adegan yang membuat cerita menjadi omong kosong. Begini tulisnya:
“Ya—lihatlah di atas meja itu! Kau lihat rumpunan bunga lili hitam itu—itulah bingkisan dari Krabach kemarin malam.
[Kupalingkan kepala dan melihat meja di belakangku; tak ada rumpunan bunga atau apa pun di sana.]”
Terlepas dari efek kejut yang mungkin ingin diraih, seperti dalam cerpen Maupassant, O. Henry, hingga Mohammad Diponegoro, contoh-contoh di atas juga telah menimbulkan kenyataan baru, dengan konsekuensi membunuh kenyataan yang kadim.
Mari kembali kepada pertanyaan paragraf pertama. Untuk itu, perlu dilakukan pembacaan yang lebih mendalam terhadap dua cerpen Hamsad Rangkuti itu. Kita mulai dari pembukaan. Pada paragraf pertama cerpen “Malam Takbir”, selanjutnya kita singkat menjadi MT, tertulis:
PADA HARI terakhir bulan Ramadhan aku duduk di warung murah di tepi jalan menunggu saat berbuka puasa. Warung itu terletak jauh dari kesibukan lalu lintas kota besar. Di depanku duduk seorang lelaki yang tampak tidak begitu muda tidak pula terlalu tua. Aku memesan teh manis panas, sedangkan dia memesan air teh biasa. Radio pemilik warung sedang mengumandangkan ayat suci pengantar waktu berbuka. Di saat seperti itu bagiku adalah saat yang indah di bulan Ramadhan. Saat seperti itu adalah puncak memerangi hawa nafsu.
Sedangkan pada paragraf pertama cerpen “Reuni”, selanjutnya kita singkat menjadi R, tertulis:
PADA HARI terakhir bulan Ramadhan aku duduk di warung murah di tepi jalan menanti beduk berbuka. Warung itu terletak jauh dari kesibukan lalu lintas kota Jakarta.
Perbedaan mendasar yang dapat kita gunakan sebagai pijakan awal adalah kota besar dan Jakarta. Melalui pembedaan tersebut, kita dapat kembali membaca cerpen R sambil mesem-mesem sedikit, terutama saat tokoh aku sebagai narator berusaha membangun narasi bahwa dia sedang berada di warung yang sama seperti setahun sebelumnya.
Misal:
Ramadhan tahun yang lalu, seorang lelaki yang tampak tidak begitu muda dan tidak pula begitu tua singgah di warung itu dan duduk di depanku. Aku waktu itu memesan teh manis panas sedangkan dia memesan air teh biasa. Radio pemilik warung ketika itu mengumandangkan ayat suci Al-Quran pengantar saat sebelum berbuka.
Berpijak di atas kota besar dan Jakarta, kita bisa menjadi lebih sadar dan tidak tertipu oleh muslihat pengarang yang mungkin ingin pembaca menganggap latar tempat cerpen R adalah juga latar tempat cerpen MT. Dengan penuh kesadaran kita dapat menggarisbawahi bagian seperti:
Aku rindu pada laki-laki itu. Aku rindu berbuka puasa bersamanya di warung ini dan pergi bersama-sama ke musala, sembahyang magrib berjamaah. Aku tiba-tiba mengharapkan sesuatu yang aneh: lelaki itu datang dan memesan teh panas dan kami mengobrol soal agama di saat menanti beduk berbuka. Aku seperti mengigau. Mengira-ngira dia sudah setua apa, atau sudah semakin ringkih. Dan anak gadis kecil yang tak sengaja memukulkan raketnya sehingga bola badminton itu jatuh ke piringnya. Di mana anak gadis itu sekarang? Ibunya datang meminta maaf dan memberinya sedikit uang sebagai wujud rasa penyesalan dan maaf kepada laki-laki itu. Tentu anak gadis itu telah lebih dewasa. Satu tahun telah mengubah banyak hal. Jakarta begitu cepat berubah. Pembangunan kota sedemikian pesat, terkadang kita lupa di mana kita, padahal berapa waktu sebelumnya kita berada di tempat yang sama.
Artinya, dengan meyakini bahwa latar tempat cerpen MT dan R adalah berbeda, kenyataan pada cerpen MT dapat menjadi lebih kuat.
Mari melanjutkan dengan lebih menyoroti citra-citra magis. Dalam cerpen R, terdapat tokoh kusir dengan kereta kuda yang memasuki warung. Kita tahu bahwa kereta kuda cenderung dekat dengan imaji-imaji mistis. Tokoh kusir itu kemudian bercerita tentang kejadian setahun silam yang berarti dia adalah lelaki bola bulu ayam itu. Kita mungkin tersihir sehingga mempercayai begitu saja cerita yang disajikan pengarang; melupakan bahwa pembaca pun berhak mengisi ruang-ruang gelap penafsiran seperti yang diungkapkan Iser, misalnya. Dan pengarang memanglah seorang cerdik; pemasang jebakan ulung. Namun, pembaca yang menyadari perbedaan dua cerpen itu tidak akan puas dengan mudah.
Kita dapat menduga bahwa cerpen MT adalah realis, pantang memunculkan elemen-elemen irasional. Sedangkan cerpen R justru sebaliknya. Perhatikan cuplikan cerpen R ini:
Di sepanjang jalan menuju musala anak-anak berlarian penuh kegembiraan melempar petasan ke dalam gelap. Kunang-kunang beterbangan menghindari percikan api petasan. Lampu minyak tanah di sepanjang kiri kanan jalan menyala dalam jumlah sumbu yang banyak, menyembul dari seruas bambu, dipancangkan di dua penyangga yang horizontal di luar pagar, di setiap halaman yang kami lalui.
Musala itu berada di atas tanah berbukit. Dikerubungi rumpun bambu. Ada puluhan anak tangga yang kami lalui sebelum kami sampai di serambinya. Para jemaah telah berkumpul seakan menyambut kedatangan kami.
Kami dibawa ke tempat wudhu. Air mengalir bening di pancuran bambu. Sejuk terasa di kulit. Terdengar orang mengumandangkan kamat, menyerukan tanda mulai shalat. Kami bergegas ke dalam ruangan musala. Lampu-lampu kristal bergantungan di langit-langit. Kami membentuk saf. Kusir delman itu berdiri di sebelah kiriku, sedangkan pemilik warung berdiri di sebelah kananku. Ketika sujud, sajadah terasa sejuk, bersih dan harum bagaikan parfum.
Di antara sihir yang bertubi-tubi itu, pembaca seakan dibuat megap-megap sampai tidak sempat bertanya. Katakan begini, kita akan fokus pada satu aspek saja: kunang-kunang. Maka orang yang berhasil sembuh dari sihir cerpen R akan segera bertanya, dengan segala hormat, apakah ada kunang-kunang di Jakarta?
Sedangkan nuansa dalam cerpen MT adalah kebalikannya. Semisal:
Saat yang kami tunggu pun tiba. Beduk berbuka terdengar. Azan magrib mengumandang baik dari radio maupun dari pengeras suara dari musala yang dikatakan si pemilik warung. Kubaca doa berbuka puasa di dalam hati dan kuteguk teh manis panas. Dan orang yang duduk di depanku berkomat-kamit bibirnya, meneguk teh dan memakan sedikit kurma.
Pijakan-pijakan yang telah kita temukan, antara lain (i) kota besar dan Jakarta, (ii) tokoh aku yang seperti mengigau mengharap kedatangan lelaki bola bulu ayam, (iii) elemen-elemen magis-irasional, akan lengkap dengan pijakan terakhir.
Perhatikan cuplikan cerpen R ini:
Satu tahun telah mengubah banyak hal.
Maka, bisa saja, realitas pada cerpen R adalah berbeda dengan realitas pada cerpen MT. Setahun yang lalu, tokoh aku memang mengalami kejadian bertemu lelaki bola bulu ayam, tanpa harus dibatalkan dengan peristiwa setahun mendatang saat tokoh aku bertemu dengan lelaki bola bulu ayam kemudian dianggap halu oleh seorang hansip. Pasalnya, sedari pembuka, pengarang yang cerdik telah memisahkan realitas dua cerpen itu, dengan kota besar dan Jakarta. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa pengarang melakukan hal itu? Mengapa pengarang menciptakan dua cerpen yang seolah-olah berkelanjutan sekaligus bertentangan?
Perlu kita pahami, teks adalah ruang multidimensi. Seperti kata Roland Barthes, “Kita tahu kini sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang “sakral” (“pesan” dari sang Maha Pengarang), tetapi sebuah ruang multidimensi yang memungkinkan beragam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya.” Maka kita tidak bisa semena-mena menganggap bahwa cerpen MT dan R adalah bertentangan karena bagaimanapun keduanya adalah tubuh yang berbeda dan memiliki “Hamsad Rangkuti” masing-masing. Demikian maka tuduhan kontradiktif itu dapat disanggah.
Terlebih, tokoh lelaki bola bulu ayam pada cerpen MT yang mewakili masyarakat kelas bawah, yang berdoa kepada Allah untuk mendapat rezeki, harus terkabul dalam semacam dispensasi seorang ibu karena anaknya menjatuhkan bola bulu ayam di piringnya. Padahal, lelaki itu mesti tetap bergulat dengan kemungkinan terserang penyakit. Dan lelaki itu adalah lelaki yang sama dengan kusir kereta kuda pada cerpen R, yang juga mewakili kelas bawah. Keduanya tetap mendapatkan rezeki meski melalui tangan-tangan orang kaya. Corak ironi masih dapat dilihat pada dua cerpen tersebut dengan permasalahan yang sama, yaitu kota sebagai arena mengais rezeki.
Pada akhirnya, meski aspek dulce dan utile yang diungkapkan Horace dapat ditemukan, dua cerpen Hamsad Rangkuti itu masih layak mendapat pembahasan lebih lanjut dan mendalam. Sebab, selain kontradiksi isi dalam satu tubuh pengarang, dapat pula dikaji simbol-simbol dalam cerpen R dan mengaitkannya teori Roland Barthes yang lain, semiotika misalnya.
Jadi, apakah benar cerpen Hamsad Rangkuti “Reuni” (1994) menisbikan kenyataan dalam cerpen “Malam Takbir” (1993)?***
[1] Esai Roland Barthes dengan judul asli “La mort de l’ateur” (1967) yang diterjemahkan oleh Nur Utami dalam “Pengarang Tidak Mati” karya Maman S. Mahayana (Bandung: Penerbit Nusa Cendekia, 2012) dari versi Inggrisnya dalam “Image-Music-Text” (London: Routledge, 1977).
[2] Dua cerpen itu termuat dalam kumpulan cerpen “Panggilan Rasul” karya Hamsad Rangkuti (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010)
[3] Saya menggunakan versi terjemahan Nurul Hanafi dalam “Kappa & Rashomon” (Yogyakarta: Kakatua, 2022)