Menu

Maju Jaya, Sebuah Pameran Persiapan | Huhum Hambilly

Text: Huhum Hambilly | Photo: Arial Karwa & Samuel Indratma

Pada tanggal 28 Mei 2017, perupa Samuel Indratma, mengunggah foto di facebook, ia terpukau menyaksikan kain warna-warni yang direntangkan di atas jalan, tinggi memanjang, seolah hendak meneduhkan para pengguna jalan. Berikut dikutip dari statusnya dengan judul “Puasa”;

“Saya terpukau. Letaknya arah barat perempatan pabrik gula Madukismo. Sebuah cara menyambut puasa hari pertama dengan keindahan. Warna-warni ini membuat pengendara bisa lebih perlahan melintas jalan depan masjid itu sembari mesam-mesem menikmati seni instalasi ini. Sungguh sebuah kerja menarik hati bila bulan puasa secantik ini. Selamat menjalankan ibadah puasa dengan hati gembira. Salam Puasa Ciamik.”

Pemandangan tersebut sekilas sama nuansanya dengan pameran tunggal Samuel Indratma “Maju Jaya” yang digelar pada 19 sampai 31 Agustus 2018. Adakah pemandangan tersebut menjadi inspirasi pada pameran yang dominan dengan media kain kali ini. Samuel memang punya sensibilitas tersendiri perihal publik, baik yang material maupun imaterial. Generasi seniman jalan yang lebih muda seperti Ismu Ismoyo menempatkan sosok Samuel sebagai seniman yang penuh vitalitas dalam menghadirkan karya di ruang publik, seperti aktivitasnya di tahun 2009. Sampai hari ini, betapapun ragam seni yang Samuel geluti, sulit dipisahkan citranya sebagai Bapak Mural. Bahkan, belum lama Rolly Lovehatelove, masih merayakan dengan membuat karakter Samuel sebagai Presiden Mural yang digambar di tembok-tembok dan wayang alumunium.

Bertempat di Jogja Gallery, Jln. Pekapalan Alun-Alun Utara No.7, Kota Yogyakarta, Samuel menggantungkan lukisan kain satinnya pada tali-tali yang membentang di langit-langit galeri, bak jemuran. Karya berderet dan acak, mengingatkan kita pada umbul-umbul dalam perayaan kemerdekaan yang kerap dipasang di jalan ataupun di lapangan, kebetulan peristiwa pameran ini bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia kita ke-73. Adapun karya-karya pigura dipajang, tembok digambar dan ditulis kata-kata, wayang diletakkan di meja, lampu sorot dan payung kertas, hingga karya gambar berupa kepala-kepala yang dibuat di galeri sepanjang pameran digelar, untuk kemudian ditempelkan semaunya. Tak cukup dengan itu, ia juga menggelar kanvas kosong di lantai, menggambarinya di waktu pameran berlangsung, siang malam, karya itu tiada mengapa ia injak, duduki, bahkan menjadi alas tidur.

Selama hampir 2 minggu, Samuel tak hanya memanfaatkan galeri sebagai ruang pamer, namun juga ruang kerja, ruang tamu, sekaligus menjadi tempat tidur. Alasannya menggelitik, lantaran “ya gak mau rugi to, wong sudah bayar mahal…. hahaha..” Ucap Samuel. Semua fasilitas hendak dimanfaatkan secara maksimal, tambahnya.  Katanya, pameran “Maju Jaya” sengaja dibikin untuk menyiapkan pameren berikutnya, sesederhana itu. Maka selama masa pameran ia terus bekerja, menggambar dan menggambar, juga sesuka hati menambah dan memindah karya. Jika seorang pengunjung datang pada hari pertama dan terakhir, situasi pasti berubah, bisa mengejutkan bisa mengecewakan.

Pameran “Maju Jaya” seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari dua pameran Samuel sebelumnya, yaitu “Nyoh” dan “Wayang Los Stang”, yang kesemuanya secara jelas merupakan buah persekongkolannya dengan desainer Alit Ambara yang mendaku diri sebagai kurator. Anehnya di setiap presentasi status kurator pamerannya berubah secara spesifik, dari kuratorial post doktoral, kuratorial terpadu, hingga kuratorial stategis, entah nanti jika keduanya masih berduet, jadi lain lagi. Soal kurator atau kuratorial, bagi dua orang tersebut, Samuel dan Alit, atau orang-orang yang terindikasi menjadi bagian dari kelompok tersebut, seperti ada agenda lain untuk menandingi atau menawarkan alternatif atas praktik kekuratoran yang terjadi pada dunia seni rupa secara umum atau di medan lain, sebab bahasanya sering terkesan nyinyir. Dan upaya-upaya yang dilakukan, entah celaka atau menariknya, dilakukan dengan metode bercanda. Sehingga kerap kali publik tidak menemukan esensinya secara gamblang. Mungkin bagi gerombolan Samuel, itu tak perlu. Bahkan seringkali mereka justru melakukan perlawanan dengan kelompoknya sendiri, diduga sebagai upaya membangun atmosfer produktif, alih-alih hinaan. Simak bagaimana gerombolan sejenis, macam Yuswantoro Adi, Bambang Herras, Putu Sutawijaya, dalam upayanya berkompetisi dan menjatuhkan satu sama lain. Tapi perlu dicatat, bahwa kesemua itu berjalan dengan penuh kekeluargaan dan damai senantiasa.

Sebagaimana dua pameran Samuel sebelumnya, Alit Ambara tertib mendampingi kerja kuratorial dengan format poster, teks kuratornya juga berlaku sebagai poster, bagi Alit apa saja bisa jadi poster. Alit sengaja mengutip dari obrolan-obrolan di media sosial, facebook, yang tentu sebagai bagian penting atas peristiwa pameran yang sedang terselenggara. Hari-hari ini kata-kata dari medsos memang kerap dikutip dimana-mana, begitupun bagi kerja seni rupa, yang kebenarannya entah perlu atau tidak untuk diverifikasi, pokoknya diviralkan! Alit sempat memblok hitam beberapa paragraf, sehingga tidak bisa dibaca, namun juga membuat orang penasaran atas kalimat yang ‘dibungkam’ tersebut. Ia menuliskan dengan gaya bahasa khas, terkesan berbelit dan berpotensi menjerumuskan, namun sesungguhnya esensial dan padat. Apa yang ditulisan semacam poin-poin yang dilayout secara random, bahkan bisa berlapis-lapis, tumpang tindih juga timbul tenggelam. Bagi saya, teks Alit, dengan segala kemasan dan penjabarannya, seperti ketika menekankan karya yang tampil dikategorikan pada pencapaian yang biasa-biasa saja, merupakan strategi kuratorial yang tepat disasarkan kepada publik yang merayakan gejala post-truth dan haus hoax.

Sebagaimana disebutkan proses kreatif dan keputusan Samuel kadang tidak ajeg, proses pembacaan Alit pun berubah-ubah, keduanya sama-sama terkesan ngawur. Sebagai misal, tidak adanya keterangan karya, kesulitan menemukan relevansi teks dengan karya,  tidak menemukan benang merah antara judul pameran – teks kuratorial dengan karya yang ditampilkan, atau susahnya mencari hubungan bis dan roket dengan kain dan wayang.

Bisa jadi, tidak adanya judul karya, justru membebaskan publik untuk menamai karya sekaligus membuka pengalaman yang lebih imajinatif akan sajian gambar. Teks kuratorial yang membingungkan sehingga sulit dibaca atau malah tidak bisa dibaca dimungkinkan mengajak pemirsa untuk kritis atas segala distribusi informasi yang dijumpainya, malah ini bisa menjadi upaya ‘penyedaran kuratorial’, agar publik tidak mudah kena tipu daya sang kurator, singkatnya kuratorial yang mencerdaskan. Terkait pemirsa yang mengeluhkan kesulitan menemukan hubungan antar berbagai elemen dalam pameran, akan menjadi koreksi panitia terlibat, terutama bakal ditanggungkan kepeda vendor penyelenggara, yaitu Pamrih Art Management Academia, untuk mensinkronkan frekuensi publik dengan seniman.

Mengunjungi pameran “Maju Jaya” adalah jalan ikhlas untuk mengambil perspektif baru dalam melihat pameran juga karya seni secara lebih bebas dan personal. Sejenak kita melepaskan judgmental dengan bekal-bekal pembacaan yang dipunyai dan diyakini, yang dalam bahasa netizennya “tahan nyinyirnya gaes…” but wajib upluod! Saya sendiri, datang ke pameren “Maju Jaya”, dan tidak mendapat kejutan apa-apa selain kegilaan Samuel seperti pameran-pameran sebelumnya. Justru, ketika dia berubah berperilaku menjadi seniman normal, mungkin akan jadi pencapaian penting. Namun saya merasa beruntung, ketika si kurator men-tag saya dalam ucapan terima kasihnya, dan satu kawan saya yang lain mengaku bangga karena foto kunjungannya diunggah di story milik seniman.

 

Tentang Penulis

Huhum Hambilly, tinggal di Yogyakarta, aktif meggiatkan berbagai acara seni, baik di bidang seni rupa, sastra, musik juga literasi. Berminat pada topik kesenian subkultur urban. Dalam banyak kesempatan kerap menulis artikel untuk kegiatan pameran seni rupa.

Tuliskan komentar