“Hari pembantaian”. Inilah dua kata pertama yang saya ucapkan saat Prof. Faruk, sebagai pemateri, duduk di samping saya setelah beliau memesan kopi hitam. Kata-kata tersebut membuat beliau tertawa kecil sembari mengulang, “Hehe, pembantaian.”
Ya, saya sebut pembantaian karena pada hari ini pemateri yang akrab saya panggil “Kakek” ini akan “mengadili” draf teman-teman peserta Lokakarya Kritik Sastra satu per satu.
Kakek memulai kelas dengan menyulut rokoknya. Ketika rokok mulai diisap, di situlah tamat riwayat kita semua. Jemarinya sudah bermain di atas kursor dan mulai memilih mana yang akan menjadi korban pertama.
(I) “Apa yang membuat cerpenmu menarik?” Inilah kalimat tanya pertama yang dilontarkan Kakek kepada Danny.
“Titik pentingnya adalah pada keterkaitan antara cerpen pertama dan kedua,” jawab Danny.
Kakek mengisap rokoknya lagi, kemudian memberikan penjelasan bahwa Danny dapat melihat karya itu dengan teori intertekstualitas. Beliau juga merekomendasikan buku The Death of the Author untuk menelisik konstruksi pengarang sebagai kesatuan yang utuh.
Tak terasa, rokok yang diisap Kakek sudah tersisa seukuran jempol. Artinya, Danny sudah tahu apa yang akan ia lakukan pada naskahnya.
(II) Korban kedua, Naufal, mengangkat tema yang agak rumit, yaitu tentang paradoks. Dalam studi paradoksal, Kakek menyarankan Naufal untuk menemukan keteraturan dalam ketidakteraturan, atau sebaliknya. Permasalahan ini bisa menggunakan konsep dekonstruksi Derrida di mana struktur atau konstruksi selalu melampaui dirinya.
Baru saja masuk pada korban kedua, azan Magrib sudah berkumandang, menandakan bahwa kelas harus mengambil jeda. Saya meninggalkan laptop dengan notula yang dibiarkan terbuka saat beranjak menuju masjid terdekat. Sekembalinya dari masjid, saya melihat Mas Dhafi sudah berada di posisi duduk saya sebelumnya, mengambil alih notula yang sempat hilang penggarapnya. Kelas dilanjutkan lagi dan saya kembali pada posisi semula.
(III) Kursi yang sebelumnya kosong di samping saya kini bertuan. Robby duduk di sana dan lagi-lagi, seperti pada hari kedua, ia terlambat. Entah sihir apa yang ia punya, ketika ia baru saja masuk dalam forum, saat itu juga tulisannya akan dibahas.
“Daripada mengambil jalan ekstrem, lebih baik meretakkan Subagio, semacam dekonstruksi terhadap kritik Subagio,” begitu saran Kakek setelah diskusi panjang dengan kepulan asap yang melayang-layang di udara.
Aslinya, saya agak sesak, akan tetapi demi melahirkan catatan yang komprehensif, saya harus setia, tetap tinggal, dan mendengarkan dengan saksama.
(IV) Selanjutnya, masuk pada draf Thoriq. Ia membahas science-fiction (sci-fi). “Perlu melihat genrenya dulu. Apa itu sci-fi? Apa posisi genre ini dalam cerita? Mungkin perlu sci-fi yang baru, bisa karena efek AI, karena selama ini sci-fi mempertentangkan antara robot dengan romantik, dengan hati, human. Sementara AI tidak mempertentangkan, maka memunculkan sci-fi yang baru. Di dalam AI, tidak berbicara robot yang punya hati, tapi cinta itu robotik, itu berbeda.”
Komentar Kakek untuk Thoriq ini dilanjutkan oleh Mas Dhafi, “Cinta itu robotik, butuh dicas.” Seketika forum tertawa cekikikan mendengar celetukan mas Dhafi.
Suasana kembali hening dalam beberapa saat.
(V) “Mengaitkan Pram dengan humanisme, mulai dari HB Jassin, memang sudah begitu,” tutur Kakek.
Nah, kalau sudah membahas Pramoedya, berarti sudah masuk pada tulisan Ajeng. Sebenarnya, sejak sebelum berangkat, Ajeng mengeluh karena tema kritiknya sudah banyak yang membicarakan. Namun, ajaibnya Kakek selalu memiliki sisi unik dan menarik dalam membedah karya, yaitu dengan mengambil perspektif naratologis sebagai jalan keluar untuk permasalahan Ajeng.
“Ya, itu saja untuk malam ini,” ujar Kakek, yang membuat seisi ruangan terheran-heran. Pasalnya, masih ada tiga tulisan yang belum dikomentari, termasuk tulisan saya. Ternyata, ada beberapa dokumen yang belum beliau unduh.
“Wah, kelewatan banyak,” sambungnya.
Akhirnya masuk pada tulisan saya. Sebelum memberikan komentar, Kakek mengatakan: “Ini nih, yang radikal, orangnya dari Madura, tapi namanya tidak ada Islamnya sama sekali.”
Mendengar itu, saya tertawa. Begitu pun teman-teman di forum. Dan memang, nama Marisa Santi Dewi ini sulit dipercaya sebagai pemberian orang tua yang asli Madura.
(VI) Catatan untuk tulisan saya agak banyak dan tidak dapat saya catat dalam notula secara lengkap karena saya lebih memilih memperhatikan apa yang dikatakan Kakek. Namun, tenang saja, saya merekamnya. Pada intinya, tulisan saya masih kurang analisis estetik. Ini adalah masalah yang tidak bisa saya pecahkan untuk sementara waktu karena keterbatasan waktu dan pemahaman dalam membaca. Kakek menyarankan untuk memilih teori Žižek atau Lacan dalam sastra karena saya membahas subjek radikal dalam cerpen A.A. Navis.
“Jika mengambil Lacan, fokuskan pada metafora dan metonimi, bagaimana bawah sadar diungkapkan,” itulah saran Kakek yang menjadi PR saya selanjutnya.
(VII) Catatan selanjutnya untuk perempuan peserta terakhir di forum ini, yaitu Jhoty. Tulisan Jhoty berkebalikan dengan draf saya. Jika draf saya kurang aspek kritik estetik, tulisan Jhoty kurang kritik ideologisnya. Menariknya, tulisan Jhoty ini menyinggung tentang opium. Bagaimana opium di tangan orang miskin dan orang kaya? Apa tujuan mereka menggunakan opium?
“Apa pun sudut pandangnya, bicarakan apa isinya dulu, dan bagaimana isi itu dikemas atau dibingkai,” saran Kakek. Komentar ini dilanjutkan dengan suguhan pilihan ideologis pascakolonial atau pascamoden. Jhoty bisa membedah satu di antara keduanya, mana yang lebih menonjol.
(VIII) Sampailah kita pada draf kritik terakhir sekaligus tulisan yang paling kompleks. Pasalnya, Hadi dalam tulisannya membicarakan character-bound narrator, juga memori dan trauma. Sampai-sampai Kakek menukas: “Ini tulisanmu bisa jadi disertasi.” Lagi-lagi forum dibisingi dengan tawa.
Menurut Kakek, tulisan Hadi terlalu banyak konsep. Tulisan yang ditujukan untuk publikasi di media massa seharusnya memusatkan pada satu hal yang paling menonjol dan paling mudah diterima pembaca awam.
Sebenarnya, masih ada satu draf lagi yang belum dibantai, yakni tulisan Ruli. Tulisan yang menurut Kakek menarik, tetapi sayangnya sang empunya tidak hadir dalam pertemuan kali ini.
Akhirnya, pembantaian hari ini usai sudah.
Saat kursi Kakek sudah kosong, Mas Dhafi menunjuk pada sisi bawah kursi. Puntung-puntung rokok berhamburan, entah berapa jumlahnya, mungkin lebih dari 10 batang.
Saat itu saya sadar, ini bukan hari pembantaian tulisan teman-teman, tetapi pembantaian pada puntung-puntung rokok itu, yang diisap habis-habisan saat kakek menguras tenaga dan pikirannya untuk memberikan yang terbaik bagi peserta Lokakarya Kritik Sastra oleh Komunitas Sastra Suku Sastra ini.
Sehat selalu, Kakek, Prof. Faruk.