Ilustrasi cerpen "Lewo Sare" karya Frans Jari oleh Desy Andriyani.
Kredit: Desy Andriyani

Lewo Sare

Rima kecil pernah mendengar dongeng dari mamanya tentang sebuah tempat yang jauh, tempat yang melahirkan begitu banyak kebahagiaan. Di sana, tak ada yang bersedih, tak ada yang mengeluarkan air mata. Tempat apa itu? Di mana dan bagaimana bisa sampai ke sana?

Tahun demi tahun, ketika rumahnya berubah menjadi tempat yang hiruk pikuk penuh percekcokan, Rima tumbuh menjadi gadis remaja pendiam. Lalu dewasa. Lalu menikah. Lalu diam-diam ia menyimpan keinginan untuk pergi dari rumah. Diam-diam ia memimpikan tempat yang penuh kebahagiaan seperti dalam dongeng mamanya. Diam-diam ia bertekat pergi ke Lewo Sare.

***

Perjalanan yang melelahkan memang. Setiap kali ia berhenti, meluncurlah cerita dari mulutnya kepada siapa pun yang ditemuinya tentang harapan-harapan akan sebuah tempat terjanji yang katanya penuh dengan kebahagiaan. Di sana, semua orang bisa membeli kebahagiaan. Konon, kebahagiaan itu bisa dimasukkan ke dalam botol kaca lalu digantung di pohon-pohon atau di teras-teras rumah. Rima telah menempuh jarak puluhan kilometer hingga sampai di suatu tempat yang pernah didengarnya dalam sebuah dongeng.

Ceritanya selalu ditanggapi dengan pandang aneh. Orang-orang mungkin menyebutnya gila, tidak waras, dan sinting, tapi ia tak peduli. Ia percaya dengan apa yang telah diyakininya.

Pada hari kedua ratus sembilan belas, setelah hujan sore yang deras, ia tiba di sebuah tempat, yaitu sebuah desa bernama Wailodo. Wailodo berarti “air yang berkelimpahan”. Ia melihat keramaian di gerbang luar yang megah dan terpanggil untuk melintasi gerbang itu. Di sana, terhampar lautan luas biru yang keruh dan aneh, jauh berbeda dengan apa yang dibayangkannya. Tempat itu begitu redup,  dan tak ada tawa dan keceriaan, bertolak belakang dengan suasana di luar gerbang. Rima pikir ia salah tempat, tapi bau tempat ini begitu menyenangkan. Ia melihat sekeliling dengan kebingungan. Tak ada orang berlalu-lalang seperti dalam bayangannya.

Rumah-rumah di sini berbentuk setengah lingkaran dengan atap ijuk dan dinding dari bambu. Semua pintu rumah tertutup rapat. Pepohonannya berdaun ungu. Buah-buahnya berbentuk lonjong bulat tidak beraturan. Walaupun suasana telah serupa sore, masih ada banyak burung hilir mudik keluar masuk gerbang. Seekor burung hinggap di pohon, mematuki buah aneh dengan lahap, lalu terbang kembali dengan gesit. Melihat penyantapan itu, rasa lapar Rima bangkit. Ia berjalan ke bawah sebatang pohon dan mengambil satu buah berwarna kuning yang tergeletak di tanah. Ia bersihkan buah itu dengan pakaian, lalu menggigitnya ragu-ragu. Rima mencecap rasa yang tidak ia kenal dan sulit digambarkan.

Saat asyik memakan buah kuning itu, Rima melihat orang-orang berbondong-bondong keluar dari rumah. Tubuh mereka seperti mengeluarkan cahaya redup. Rima menghampiri salah satu anak kecil yang sedikit tertinggal dari  rombongan.

“Adik, kau tahu di mana desa yang namanya Lewo Sare?”

Anak kecil dengan baju dari serat-serat kayu itu tampak kebingungan dengan ucapan Rima.

Lewo sare loka. Lewo sare hala muri,” jawab anak itu.

Rima tak tahu apa bahasa anak itu. Di tengah kebingungannya, datang seorang perempuan dengan rambut keriting dan kulit cokelat yang bercahaya redup.

“Tempat itu sudah tidak baik-baik saja. Yah, itu yang dikatakan anak tadi,” jelas perempuan itu. “Anak muda, kau ini dari mana? Sepertinya kau bukan dari kami punya lewo.”

Rima berseri. Akhirnya ada yang bisa berbahasa sepertinya.

“Ibu, saya datang dari negeri jauh. Saya cari tempat yang namanya Lewo Sare. Orang bilang tempat itu penuh kebahagiaan.”

Anak kecil yang tadi diajaknya berbicara telah hilang dari pandangan, sedangkan perempuan yang berdiri di hadapannya sekarang menatapnya dengan pandangan selidik. Rima tentu sedikit merasa takjub. Orang-orang ini mengeluarkan cahaya redup dari tubuh masing-masing dengan wewangian yang berbeda-beda. Tanpa ia sadari, senyum merekah pada bibirnya. Walaupun tempat ini asing, terasa akrab baginya.

“Lihat, lihat sekelilingmu. Segala yang ada di sini telah berubah. Semua orang telah kehilangan diri mereka sendiri. Apa yang kau cari mungkin sudah tak akan kau temukan di sudut mana pun. Lewo sare, sare loka.”

Rima kebingungan. Sudah jauh-jauh ia menghabiskan waktunya mencari tempat ini, tapi segalanya telah berubah. Rasa penasarannya menyeruak minta dimuntahkan. Orang-orang semakin banyak hilir mudik. Sesekali mereka meliriknya sebab terlihat aneh cara berpakaian dan berbicaranya. Semua orang tampak penasaran, tapi tak ada yang berani berhenti sekadar bertanya dan menginterupsi.

 “Dulu tempat ini benar-benar surga. Segalanya kita punya. Tapi, sekarang sudah berubah setelah orang-orang merebut milik kami. Belum lagi, mereka menjarah segala yang kami tanam. Lihat, kebahagiaan tak lagi milik  kami! Botol-botol kaca kami telah kering.”

Kemudian ibu itu meninggalkan Rima seorang diri. Rasa takut menyergap. Rima kuatkan dirinya sendiri sambil memandangi sekitar. Anak kecil itu datang lagi bersama dua orang temannya.

Rima mengikuti langkah ketiga anak kecil hingga ke tengah kampung. Suasana menjadi benar-benar senyap. Yang terdengar hanya debur ombak perlahan yang berkejaran. Lalu sayup-sayup suara nyanyian dan tarian menyapa telinganya. Di sana-sini, begitu banyak bakar-bakaran dan menguar bau-bauan yang aneh menyergap hidungnya. Beberapa orang berdiri di luar lingkaran sambil membakar daging yang sudah ditusuk-tusuk pada kayu yang cukup besar. Orang-orang menari dengan bebas. Ada yang memainkan alat musik aneh yang belum pernah dilihatnya di mana pun. Di tempat ini segalanya berbeda.

 Anehnya, dari tadi pandangan Rima tak menangkap perawakan seorang pun laki-laki. Di mana-mana di tempat ini dipenuhi dengan perempuan dengan rambut tergerai panjang dan mekar seperti kembang sepatu. Rima mendatangi tempat ramai itu dan mengambil bagian di tengah orang-orang yang berbahasa aneh. Tak satu pun bahasa yang mampu dipahaminya. Ia masih melihat sekitar. Tubuh semua orang mengeluarkan cahaya redup yang sama dari atas rambut hingga ujung kaki. Baju mereka dari serat kayu dan mereka terlihat penuh kesedihan. Lagu dan tarian mereka menguarkan aroma kesedihan. Tak ada kebahagiaan di sini.

Orang-orang sibuk makan dan minum. Mereka menangis tanpa diketahui sebabnya. Seorang nenek mendekati Rima dan menawarkan segelas air dengan warna ungu pekat kepadanya.

“Nona, silakan diminum. Kau tentu dari tempat yang amat jauh. Kau terlihat begitu lelah,” kata si nenek.

Ternyata dugaannya salah. Ada orang lain lagi yang bisa berbicara dengan bahasa yang digunakannya.

“Betul, Nek. Saya mencari sebuah tempat. Namanya Lewo Sare, tapi tidak ketemu. Saya sudah ke selatan. Di sana orang-orang berpesta pora daging dan air yang melimpah. Saya tanyakan arah ke Lewo Sare. Orang-orang hanya menjawab dengan tertawa. Kata mereka, tempat itu sudah tidak ada, habis, dan mati. Saya tidak percaya. Akhirnya saya pergi ke utara. Di sana ada taman bunga begitu besar, tapi tak satu pun yang tahu di mana Lewo Sare. Saya sudah mencoba ke barat dan timur. Jawaban yang sama saya dapatkan. Lalu di mana sebenarnya tempat itu? Beberapa bulan belakangan ini saya telah mencoba segala upaya mencari, tapi tetap tidak ketemu.”

Nenek itu manggut-manggut, lalu memberi Rima sebuah batu. Katanya, batu itu dapat membantu Rima berkomunikasi dengan orang-orang di tempat ini.

“Panggil saja saya Ina Barek. Ambillah, percaya atau tidak, batu itu diturunkan untuk digunakan oleh para pengembara yang sampai di sini. Lihat sekelilingmu. Apa  yang kau temukan di sini adalah rahasia kita sendiri.”

Rima sebenarnya sedikit kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh nenek di hadapannya ini. Omongan si nenek seperti melantur sana-sini. Lalu ia mengungkapkan rasa penasarannya: kenapa di tempat ini tak ada laki-laki.

Perempuan tua itu sejenak membisu. Ia membalik wajah dengan kesal, tapi akhirnya bersuara juga.

“Tempat yang kau cari ada di sini, di tanah yang kau pijaki ini. Ini dinamakan Lewo Sare karena kami ingin hidup dengan baik, tanpa ayah atau suami kami yang jahat. Kami menemukan tempat ini jauh dari suami dan ayah kami yang keji, yang kerjanya hanya mabuk dan pesta sana-sini, tidak tahu mengurus ternak, anak serta istri. Untuk apa kami bertahan hidup padanya?” Nenek itu meneruskan sambil menunjuk ke kerumunan. “Lihat di sana. Kenapa tubuh mereka mengeluarkan cahaya redup? Itu karena kasih mereka terhadap dunia sudah menguap, dan cinta mereka akan diri mereka sendiri bertumbuh menjadi cahaya bagi diri mereka sendiri. Lihat, botol kebahagiaan yang ada depan setiap rumah, begitu terang dan menguar harum sampai ke sini, kan? Itu menandakan ada kebahagiaan di sana. Mereka telah bahagia dengan diri mereka sendiri. Tidak dengan ayah dan suami yang keji.”

Rima tertegun. Tanpa disadari, ia dan perempuan tua itu telah berjalan jauh masuk ke dalam kampung, Lewo, Lewo yang Sare. Sadarlah ia, bahwa mereka telah berhenti di depan sebuah pohon yang tinggi sekali. Anehnya, ada pintu di sana.

Si nenek melanjutkan ceritanya: “Tapi, tempat ini sudah tidak seperti dulu. Puluhan tahun lalu, sesuatu terjadi di tempat ini. Atas kuasa Yang Maha Memiliki, peristiwa nahas itu terjadi. Orang-orang diliputi kesedihan. Tak ada lagi kebahagiaan dan tawa. Dan cahaya itu semakin lama semakin redup dan bisa saja padam. Botol-botol kami kerontangan, padahal telah kami limpahi cinta yang banyak, sebanyak hamparan samudra di depan sana.”

Si nenek menangis tersedu-sedu sebelum melanjutkan: “Kami tak punya kuasa menghalangi keputusan para Dewa Langit atas tanah ini. Kami tak tahu apa yang telah dilakukan penduduk di sini sehingga menyebabkan murka itu.”

Rima bingung harus merespons seperti apa hingga keduanya tiba di sebuah meja bundar yang kering. Di sana, duduklah dua anak kecil dan perempuan berambut ikal yang sempat ditemui Rima sebelumnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu, tapi buru-buru berdiri ketika melihat perempuan tua itu datang.

“Ah, Ina, kenapa Ina mengajak perempuan ini ke sini. Bukankah sudah pernah saya katakan jangan mengajak orang asing ke tempat ini,” kata perempuan muda yang pertama kali ditemui Rima.

“Tempat ini adalah baik, aman untuk siapa pun dalam keadaan apa pun. Walaupun kesedihan menyelimuti kita sehari-hari, kita adalah kebahagiaan itu sendiri. Betul, tempat ini telah berubah. Tapi, bukan berarti fungsinya juga ikut hilang. Seperti namanya, Sare tetap akan menjadi baik. Yang kalian tidak tahu adalah tempat ini hanya menunjukkan dirinya pada orang yang benar-benar membutuhkannya. Dia hadir untuk kebahagiaan kita semua. Botol-botol kaca kita mungkin kekeringan dan kerontangan, tapi kita tetap harus mencintai satu sama lain.”

Ina Barek duduk dan beberapa perempuan yang lain melihat Rima dengan gusar dan kesal. Si nenek membiarkan Rima mengamati keadaan sekitar agar bisa berani membuka diri pada orang-orang itu. Orang-orang tetap memandangnya dengan selidik.

Rima mulai membuka suara untuk mencoba menceritakan alasannya mencari tempat ini.

“Aku butuh berlari dari rumahku. Aku diikat dengan darah ayahku sendiri. Ibuku tak punya kuasa melawan ayah. Belum lagi setelah aku menikah dengan suamiku, kerjaannya hanya judi dan main perempuan lain. Katanya aku tak cukup. Dia membutuhkan lebih banyak. Aku tak kuat lagi. Aku juga sudah mengajak ibuku ke sini, bersama-sama mencari tempat ini. Tapi, katanya tak ada, tempat ini hanya dongeng pengantar tidur.”

Air mata Rima berkejaran dan marahnya membara mengingat perlakuan ayah dan suaminya atas kehidupannya.

Lalu salah satu perempuan bertanya kepada Rima, apa sebenarnya yang dicarinya hingga sampai ke tempat ini.

“Kebahagiaan,” jawab Rima dengan pasti.

“Ah, kebahagiaan tak akan lagi kau temukan di sini. Ina Barek pasti telah cerita banyak hal. Peristiwa itu mengambil segalanya dari kami,” kata perempuan muda di hadapannya.

“Yah, aku tidak tahu hal ihwal apa yang telah begitu menyakiti tempat ini, tapi seperti yang dikatakan Ina Barek tadi, kebahagiaan tetap saja milik kita sendiri, tidak pada siapa pun itu,” kata Rima yakin.

Perempuan di hadapannya mendesah pelan, sedangkan perempuan di samping kiri dengan rambut ikal kecokelatan dan berkulit putih menjawab dengan suara sama pelannya.

“Kita semua di sini punya dasar perasaan yang sama, luka yang sama, dan kesakitan yang sama pula. Tapi, tetap saja tempat ini ajaib. Dia tak hanya menunjukkan kuasanya atas yang memiliki payudara berjuntai atau kulit halus yang licin. Setiap orang yang memiliki luka yang sama akan bisa datang ke tempat ini. Dia datang, tubuhnya tegap dan kuat, dadanya bidang dan berjanggut. Semua orang takut dan gusar,” katanya sementara orang-orang di sekitarnya semakin keras menangis. “Kami menolaknya dan mengusirnya karena dia berbeda dari kami. Lukanya tidak kami anggap sama dengan kami. Ah, peristiwa itu amat sangat menyakiti.”

Perempuan dengan rambut cokelat dan kulit putih terputus suaranya.

Ina Barek yang melanjutkan: “Ya, itu salah kami. Tak kami sangka luka kami sama. Setelah laki-laki itu pergi, botol-botol kaca kami kering kerontangan walaupun kami telah memberi begitu banyak kasih satu sama lain. Berhari-hari kami mencarinya ke sana kemari, tak kami temukan di mana pun. Dan hari itu, saat pulang dari perjalanan mencari obat-obatan, di tanah seberang yang subur, kami menemukannya tergeletak, dipenuhi banyak semut, sekujur tubuhnya penuh luka. Ah, kau tak perlu kaget. Beginilah hukum tempat ini. Tempat ini, di mana obat-obatan tumbuh subur, memperlakukan manusia dengan cara yang berbeda. Tak bisa kau mengerti dan jelaskan. Akal tak akan sampai. Betapa kejinya mereka atas orang asing. Kasih mereka setipis bulu. Kami tak punya apa-apa lagi. Kasih tak akan bisa kami miliki.

Telah meluap. Tak ada bedanya kami dengan yang lain.” Rima hanya diam.

Perempuan tua itu kembali membuka suara: “Tapi, kami mencoba mencari sebab luka lelaki itu. Kami mengobati dan mengubur sumber lukanya di ujung tanah yang paling dalam. Dan lelaki itu masih ada di sini bersama kita.”

Perempuan tua itu membuka pintu yang lain. Puluhan tahun telah berlalu dan laki-laki itu masih terbujur kaku. Tidak mati, tapi tertidur begitu panjang. Rima melihat sekeliling. Orang-orang hilir mudik ke sana kemari.

Perempuan dengan rambut cokelat bersuara lagi: “Kami tidak menawarkan obat penawar. Kebahagiaan adalah milik kita sendiri. Manusia yang bebas memiliki kehidupan dengan kedua tangannya. Ia bebas memilih segala lukanya mau dibawa ke mana. Kau tidak perlu takut. Botol-botol kaca kami perlahan mulai menguarkan bau wewangian yang baru. Harapan telah ada di hadapan kita. Karena kehidupan ialah milik kita. Segala luka pasti ada penawarnya. Hanya kau harus memilih, mau kau akhiri seperti apa.”

Dua perempuan di samping Ina Barek keluar dari ruangan dan mengambil sesuatu dari lemari kayu yang amat besar. Salah satu dari mereka mengeluarkan sepiring daging kering yang aneh. Rima mengambil sepotong dengan ragu, lalu memakannya dengan begitu lahap karena lapar.

Setelah menyantap sepiring daging kering aneh itu, tidurlah Rima begitu nyenyak hingga dalam mimpi ia melihat ikan paus yang begitu besar. Rima melihat ikan itu memanggilnya dan menyuruhnya masuk ke dalam lorong-lorong gelap penuh lendir. Bau amis sana-sini, tapi di tengah lorong itu ada sebuah cahaya terang. Rima mengikuti cahaya itu, lantas menemukan jasad suami dan ayahnya dikerubungi ulat dan belatung. Bau bangkai menyeruak. Rima tersenyum getir. Pilihannya ada di sini. Di hatinya. Pilihan atas kehidupan dan kebahagiaan ialah miliknya sendiri.

Dari jauh, terdengar suara memanggilnya pulang,

Lewo Sare, Sare Paera te onek oneng.”

Masih ada tempat yang baik. Ada di dalam hati.***