Laki-laki yang Berani, Peka, dan Romantis | Resensi Yogi Dwi Pradana

Laki-laki yang Berani, Peka, dan Romantis | Resensi Yogi Dwi Pradana

 

 

 

 

Laki-laki Memang Tidak Menangis, tapi Hatinya Berdarah, Dik
Pengarang: Rusdi Mathari
Tahun Terbit: Cetakan keempat, November 2020
Penerbit: Buku Mojok
Halaman: viii + 84 halaman
ISBN: 978-623-7284-36-9

 

Buku yang berjudul Laki-laki Memang Tidak Menangis, tapi Hatinya Berdarah, Dik ini adalah salah satu karya Rusdi Mathari yang paling fenomenal menurut saya. Pertama kali yang membuat saya penasaran untuk segera memiliki buku tersebut adalah saat melakukan penjelajahan di Instagram dan sering menemui sebuah prosa karya Rusdi Mathari. Salah satu prosa yang saya temui sebelum memiliki buku tersebut berjudul “Kenangan”. 

Dan kamu tahu, Dik, yang paling menyesakkan dan membuat hati laki-laki berdarah-darah adalah kenangan. (Halaman 7)

Saya sempat berpikir ketika membaca prosa yang berjudul “Kenangan” tersebut—apakah iya ada laki-laki yang sebegitu menyedihkan ketika sudah dikaitkan dengan kenangan? Bahkan, sosok laki-laki selalu digambarkan sebagai orang yang tangguh, kuat, dan mampu menjadi figur yang tegar. Ternyata salah, bahwa laki-laki juga mempunyai perasaan yang bisa merasakan sedih, galau, patah hati, maupun teringat masa lalu. 

Saya pun juga pernah mendengar dari beberapa teman saya yang menyukai dunia puisi—bahwasanya patah hati adalah bagian dari bahan bakar dalam penciptaan puisi. Saya pun tidak menyanggah pernyataan tersebut—karena saat itu literasi saya terkait puisi masih minim sekali. Beberapa orang memang menulis saat keadaan dirinya sedang senang, susah—tetapi mereka lupa bahwasanya menulis itu harus konsisten agar bisa menciptakan sebuah tulisan yang berkualitas. 

Saya juga dibuat takjub ketika sampai pada prosa yang berjudul “Hu”—saya penasaran akan ada apa di dalam prosa tersebut. Ternyata masih terkait tentang kegelisahan laki-laki yang sedang merindukan perempuannya—laki-laki tersebut berusaha sekuat tenaga untuk bagaimana caranya agar bisa menemukan perempuan terkasihnya dalam prosa yang berjudul “Hu” tersebut. 

Ini lautanku, Dik. Aku tak bisa memanggil namamu karena angin timur akan menerbangkannya. Aku hanya memanggilmu “Hu” dan berharap engkau juga memanggilku “Hu”. Suara kita lalu akan bersahutan. Menunggangi ombak. Berayun-ayun di sisi sampan yang aku dayung untuk mencarimu di lautanku ini. (Halaman 25)

Dalam prosa tersebut Rusdi Mathari sangat puitis sekali. Beliau bisa memilih diksi yang tepat seperti sebuah puisi. Metafor-metafor yang digunakan oleh Rusdi Mathari juga mampu membuat saya sebagai pembaca berangan-angan jika saya sebagai seorang tokoh laki-laki dalam prosa tersebut. Pasti lah sungguh penuh kegetiran—dan penuh cemas karena di dalam prosa tersebut digambarkan ada kalimat “Ini lautanku, Dik.” 

Sebenarnya ada beberapa prosa yang ada dalam buku Laki-laki Memang Tidak Menangis, tapi Hatinya Berdarah, Dik, tetapi prosa yang berjudul “Aleppo II” ini mampu membuat saya berpikir lumayan jauh dalam memahami maksud yang ditulis Rusdi Mathari. 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/resensi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Resensi Suku Sastra[/button]

Aleppo kini bukan kota yang pernah dimimpikan Macbeth saat memanggil tukang nujum agar menobatkannya sebagai raja menggunakan baju satin. Aleppo sekarang adalah wabah. Menularkan kemarahan dan kesumat. Melahirkan orang-orang yang setiap hari berpikir dengan membunuh, dan kepada Tuhan mereka merasa berbakti. (Halaman 35)

Setelah saya telusuri ternyata Aleppo adalah nama kota yang ada di Suriah. Mungkin Aleppo yang dimaksud dalam prosa Rusdi Mathari ini adalah Aleppo yang saat itu sedang bergemuruh dengan adanya pemberontakan kepada pemerintah. Beberapa kelompok oposisi ingin menggulingkan kekuasaan pemerintah yang sudah berjalan tidak semestinya—korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat banyak terjadi kala pemerintah saat itu. 

Sebentar, Dik. Akan aku carikan tempat duduk untuk pantatmu. Kalaulah tak ada kursi komisiaris, karung gula impor barangkali bisa kau duduki. Sebentar, Dik. Aku mencari bangku untuk pantatmu. (Halaman 39)

Prosa di atas berjudul “Pantat”—sungguh Rusdi Mathari ini adalah seorang yang sangat kreatif—ia bisa menulis dari hal yang paling sederhana menjadi luar biasa. Setelah saya membaca isi dari prosa tersebut ternyata menggambarkan bahwa—sosok laki-laki sangatlah romantis dan ahli dalam merayu—sehingga untuk masalah tempat duduk saja perlu menggunakan sebuah rayuan yang masyaAllah sungguh menggetarkan jiwa saya saat membaca prosa tersebut. Cak Rusdi—prosamu yang satu ini sungguh luar biasa—saya sangat suka. 

Sebenarnya untuk merangkai sebuah kata memang dibutuhkan kemampuan bahasa—seperti yang dilakukan Cak Rusdi Mathari dalam kumpulan prosanya yang berjudul Laki-laki Memang Tidak Menangis, tapi Hatinya Berdarah, Dik. Seseorang yang sudah menguasai bahasa tidak perlu mencari sebuah kata, diksi, dan wacana—tetapi bahasa tersebut akan dengan sendirinya datang di kepala penulis. 

Ada beberapa tulisan yang maknanya rancu karena memaksakan dalam memilih kata, diksi, dan wacana—sedangkan sebenarnya dengan bahasa yang sederhana dan hal-hal yang biasa bisa menciptakan sebuah tulisan yang luar biasa. Akan tetapi, memang dibutuhkan sebuah proses yang panjang untuk dapat mengakrabi bahasa—bahasa sendiri ini sifatnya arbitrer—jadi kita harus mampu menyelami dari beberapa sisi agar paham betul cara penggunaan bahasa. Menurut saya, prosa karya Cak Rusdi Mathari yang satu ini sangat berhasil saat menggunakan bahasa yang sederhana dan mampu disulap menjadi prosa yang sungguh luar biasa. 

“Matahari adalah batu. Bulan adalah bumi.” Socrates barangkali sedang bercanda ketika mengatakan itu , tapi pada masanya, dia sebetulnya hanya hendak mengajarkan warga Athena untuk berani menentang arus pendapat umum. Problemmnya: orang-orang di Athena merasa paling memiliki wewenang, paling berhak mengadili [perkataan] Socrates. 

Demi segala demokrasi dan menghapus segala bidah suara rakyat, kata mereka, Socrates harus dilenyapkan. Setidaknya, harus dianggap tidak ada, atau tidak boleh ada dan tidak pernah ada, bahkan ketika Socrates hanya mencoba bertanya: benar rindukah kamu padaku? (Halaman 58)

Prosa di atas berjudul “Rindu”. Tafsir saya mengenai prosa di atas adalah sebagaimana manusia yang merdeka kita harus berani mengutarakan pendapat dan berani berbeda dengan orang lain. Meskipun kita sebagai kaum minoritas, tapi harus berani bersuara di hadapan kaum mayoritas jika memang kita yakin dengan pendapat yang kita punya. Cak Rusdi Mathari menggambarkan kalimat Socrates yang mengibaratkan matahari adalah batu dan bulan adalah bumi tersebut merupakan sebuah satire bagi warga Athena yang masih belum mempunyai pendirian dalam menyuarakan pendapat. Hal tersebut menjadi sangat berbahaya—karena di mana letak demokrasi jika sudah terjadi hal semacam itu. Apakah seseorang yang ingin bertanya kepada kekasih—tentang kerinduan juga harus dilarang?[]Yogyakarta, 14 April 2021.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tuliskan komentar