Menu

Kupu-Kupu yang Terbang dari Tubuh | Cerpen Farra Yanuar

 

Ada hikayat yang tak pernah dikisahkan dengan terang benderang, ihwal makhluk yang  sedang mendiami tubuh saya. Bapak merahasiakan itu dan membawanya sampai ke liang lahat. Sementara Emak adalah perawi yang piawai menyusun kata-kata menjadi cerita ngeri dan melesapkan nyeri ke dalam hati.

Katanya saya dikutuk. Ada sesuatu yang aneh di dalam raga saya setiap kali berada di bawah matahari. Bergerak-gerak membayang, seperti kepak sayap yang bersiap melayang. Awalnya saya sekadar mengeluhkan geli, kemudian gatal yang hebat, saya kerap menjerit-jerit kesakitan dan terkapar. Sesuatu memaksa keluar dari jasad saya, berhamburan meninggalkan jejak di wajah, punggung, dan dada. Bercak-bercak merah berbentuk kupu-kupu. Saya tidak ingat apa pun.

Emak berujar, “Matahari adalah musuhmu, Nduk. Ketika teriknya dengan gagah menjalari kepala, makhluk yang hidup di dalam itu terbakar, lalu dia akan mencari celah dari pori-pori di kulitmu untuk terbang. Ketika itu terjadi, kau akan merasa sangat panas seolah semburan api yang menjilati. Kau tak akan sanggup menahan rasa sakitnya…”

“Dan berharap segera mati saja.” Saya menimpali. Saya ingat setiap jeda dan seperti apa kisah itu akan berakhir. Sudah sepanjang hidup rasanya saya mendengarkan, memendam penasaran. Mengapa Emak begitu paham dengan apa yang saya alami. Emak percaya, seperti juga orang-orang kampung mengimani bahwa itu adalah sebuah kutukan. Akibat adat yang diabaikan, tuah yang dilanggar. 

Emak tak menyangkal. Dahulu, semasa mengandung saya, tidak dilakukan ritual mengirim sesaji kepada ruh leluhur yang  menjaga kampung kami di bawah pohon besar keramat di tepi ladang, setiap malam Jumat kliwon. Tidak juga menggelar kenduri dengan memasak tujuh jenis makanan, meracik tujuh jenis minuman dari rempah rempah, yang seharusnya dikirimkan ke seluruh penduduk kampung di hari ketujuh setelah melahirkan saya. 

Emak tak memenuhi kelaziman itu karena bapaklah yang berkeras mengharamkan. Bapak teguh pada akidah, bahwa rangkaian kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan orang-orang kampung adalah musyrik. Perbuatan yang akan menghapus pahala-pahala ibadah dan tidak akan pernah memperoleh ampunan Tuhan.

Maka demikianlah kutukan itu tidak bisa lagi diselisihi. Semenjak kecil saya sudah menjadi pesakitan dan kini menjadi menjadi perawan yang merana. Hanya melihat dunia dari kaca jendela. Memandangi anak-anak kecil berlarian di tunggang gunung yang sejuk, mereka yang beriringan menuju tajuk dan orang-orang yang dikirimkan senja ke rumah-rumah, setelah seharian berikhtiar memenuhi periuk. Yang terjauh, tatapan saya terjatuh di pekarangan tetangga, menyaksikan satu per satu daun jati meranggas atau  menguntit segerombol parkit, menyusup ke punggung bukit.

***

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”lightblue” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

No Responses

Tuliskan komentar