https://www.pixoto.com/

 

Dedaunan dihinggapi butiran embun, di baliknya terdapat telur-telur berkumpul seperti bintang-bintang. Angin membuat daun-daun menari mengikuti arahnya, embun-embun berjatuhan, namun telur-telur tetap bertahan. Satu per satu telur menetas, para ulat keluar dan langsung memakan cangkang telur, sebelum kemudian lanjut menggerogoti daun-daun di dekatnya. Ulat-ulat menggeliat, makan seperti tak bisa kenyang. Hampir semua telur telah menetas, kecuali satu.

“Sepertinya dia mati,” ucap Ulat Cantik memperhatikan telur yang belum menetas.

“Sepertinya,” ucap Ulat Besar memakan daun dekat telur itu.

“Tapi di dalam dia bergerak-gerak.” Ulat Cantik setengah ragu dengan ucapan sebelumnya. Dari luar, cangkang telur sedikit transparan. Telur bergerak seperti akan mengeluarkan sesuatu.

“Bergerak-gerak,” ulang Ulat Besar tidak menoleh ke arah telur.

Ulat Cantik diam memperhatikan telur itu menetas, mengeluarkan ulat yang berukuran dua kali lebih kecil dari dirinya. Seekor ulat berbulu tipis yang langsung memakan cangkang telur sampai tak tersisa. Ulat Kecil itu seperti ulat-ulat lain, membuat lubang pada daun yang ditempatinya.

“Dia hidup,” ucap Ulat Cantik lirih.

“Dia hidup?” Ulat Besar menoleh. “Kalau begitu pasti dia cacat,” lanjutnya. 

“Siapa yang cacat?” tanya Ulat Kecil. Kedua ulat itu diam, tidak menyangka ulat di hadapan mereka langsung menanggapi. “Minggir, aku mau makan daun yang ada di bawahmu,” lanjut Ulat Kecil.

Ulat Cantik dan Ulat Besar saling menatap, kemudian menggeliat ke daun sebelah, meninggalkan Ulat Kecil sendirian. Diam-diam Ulat Cantik melirik Ulat Kecil, memperhatikan ekor hingga mulut yang sibuk mengunyah daun. Entah mengapa dia tak senang dengan cara makan Ulat Kecil. Tidak seperti ulat-ulat lain yang makan perlahan-lahan, Ulat Kecil makan begitu cepat dan lahap. Badannya yang kecil berangsur menjadi gemuk. 

“Sudahlah, jangan urusi dia. Kita punya jalan masing-masing,” ucap Ulat Besar lanjut memakan daun. 

Hari-hari berganti seperti daun-daun yang berguguran. Ulat-ulat memakan daun-daun sampai berlubang, sehingga sinar matahari dapat menembusnya seolah sinar matahari itulah yang membuat lubang-lubang tersebut. Lama kelamaan kehadiran Ulat Kecil membuat ulat lain gelisah, satu daun dihabiskan dalam waktu beberapa menit, dalam beberapa jam tanaman-tanaman tinggal menyisakan ranting. Untungnya masih banyak tanaman lain yang bisa dimakan. 

Para ulat semakin gemuk, terlebih Ulat Besar yang dua kali lebih gemuk dibandingkan sebelumnya. Badannya begitu menggoda untuk dimakan pemangsa, namun dia tidak mempedulikan hal itu, terus makan seperti ulat-ulat lain.  

***

Di bawah reranting ulat-ulat sibuk membuat kepompong, membungkus diri seolah berselimut untuk tidur yang panjang. Empat belas hari berlalu, beberapa bunga bermekaran seakan sedang menyambut sesuatu. Satu persatu kupu-kupu bersayap kusut keluar dari  kepompong. Ulat yang sebelumnya berbulu tipis dan bermulut pendek, berubah menjadi Kupu-kupu bersayap kusut dan bermulut panjang.

Ulat Cantik menjelma Kupu-kupu Cantik, bisa dibilang dia menjadi yang tercantik di antara kupu-kupu lain. Sayapnya berwarna kuning terang mewakili cahaya matahari, kakinya panjang, dan matanya kebiruan seperti langit. Saat kupu-kupu lain menunggu sayap kusutnya rapi, Ulat Kecil belum keluar dari kepompong. Hal ini mengingatkan Kupu-kupu Cantik pada saat Ulat Kecil menetas. “Mungkin dia mati,” gumam Kupu-kupu Cantik beralih mengamati sekitar, mencari Ulat Besar. 

Kupu-kupu Cantik melihat ke bawah, ada beberapa kepompong jatuh; ada yang pecah, ada yang basah karena hujan kemarin, ada juga yang dikerumuni semut merah. Walau bertubuh kecil seperti butiran pasir, para semut merah terlihat buas, mereka berjumlah banyak, berhamburan memperlihatkan giginya yang tajam seolah siap mencabik-cabik mangsa di mana pun berada. Apa Ulat Besar tidak berhasil jadi kupu-kupu? batin Kupu-kupu Cantik. 

Bersama dengan kupu-kupu lain, Kupu-kupu Cantik menghampiri bunga-bunga yang mekar, mengisap sari bunga. Sekembalinya di ranting, dia kaget melihat Ulat Kecil sedang memakan daun di dekatnya. Ulat Kecil menjadi Kupu-kupu Kecil, ukuran badannya kecil sama seperti saat menetas.

“Buat apa kamu makan daun?” tanya Kupu-kupu Cantik keheranan, antenanya bergerak-gerak.

“Ini memang makananku,” jawab Kupu-kupu Kecil.

“Tidak, kita tidak makan daun lagi. Sekarang kita sudah jadi kupu-kupu.”

“Tidak makan daun lagi?”

Kupu-kupu Cantik diam, teringat kelakuan Kupu-kupu Kecil sewaktu jadi ulat. Pasti bahaya jika dia mengisap sari bunga. Bunga-bunga yang mekar tidak banyak, sedangkan Kupu-kupu Kecil pasti makan banyak. “Lebih baik kubiarkan dia makan daun-daun, agar banyak sari bunga yang dapat dimakan kupu-kupu lain,” pikir Kupu-kupu Cantik.

“Minggir, aku mau makan yang ada di bawahmu,” lanjut Kupu-kupu Kecil melihat daun di bawah Kupu-kupu Cantik. Kupu-kupu bermata kebiruan itu segera terbang menjauh.

***

[button link=”https://sukusastra.com/dari-redaksi/dongeng-dongeng-h-c-andersen/” type=”big” newwindow=”yes”] Dongeng-Dongeng H.C. Andersen[/button]

Tanaman-tanaman memunculkan tunas baru, daun-daun tua mulai berguguran, sedangkan daun-daun yang masih utuh segera berlubang seolah baru dimakan ulat. Tetapi tidak ada ulat di sana, hanya Kupu-kupu Kecil yang terbang dari satu daun ke daun yang lain, memakan daun dengan mulut yang panjang. Sama seperti Kupu-kupu Cantik, Kupu-kupu lain tak menggubrisnya, membiarkan keanehan Kupu-kupu Kecil seolah mereka semua saling bersepakat agar pasokan sari bunga tetap ada.

Seiring berjalannya waktu, perut Kupu-kupu Kecil sedikit membesar karena memakan begitu banyak daun. Diam-diam Kupu-kupu Cantik memperhatikannya dari jauh, merasa akan terjadi sesuatu yang tak mengenakkan. Ada gejolak dalam hatinya ingin kembali berbicara dengan Kupu-kupu Kecil tentang apa saja yang seharusnya dimakan, namun diurungkannya niat itu. Karena hal tersebut hanya perasaannya, berkali-kali dia menghibur diri dengan mengingat ucapan Ulat Besar; kita punya jalan masing-masing. Membiarkan Kupu-kupu Kecil bertindak semaunya adalah hal terbaik, pikirnya.

Ketika musim bertelur tiba, para kupu-kupu kebingungan, Kupu-kupu Cantik sangat gelisah. Semua tanaman hanya menyisakan ranting dengan beberapa daun yang berlubang. Tidak ada daun yang utuh, tidak ada tempat bertelur. Kupu-kupu Kecil masih di antara tanaman-tanaman, terbang merendah, berusaha membawa badannya yang gemuk. Perutnya yang penuh membuatnya jatuh di antara kerumunan semut merah. Berkali-kali dia berusaha terbang, berkali-kali pula dia terjatuh.

Para semut merah mencium bau mangsa, satu persatu berkerumun dan langsung menggigit badan Kupu-kupu Kecil. []Mataram, Juni 2021.

 

 

By Nuraisah Maulida Adnani

Lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Januari 2001. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Mataram. Saat ini bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Tuliskan komentar