Cerpen “Kutukan Lara Ireng” karya Iksaka Banu menyodorkan konflik menarik seputar peredaran candu/opium di Hindia Belanda pada masa kolonial. Tampak jelas upaya pemerintah kolonial menyikapi peredaran candu ilegal di masa Hindia-Belanda, khususnya di Jawa, melalui peraturan opiumregie. Peraturan ini diterapkan dalam rangka mengambil alih sistem pengelolaan opium agar pemerintah mempunyai kekuasaan dalam mendistribusikan dan memproduksi opium.
“Begitulah Tuan Mechelen ingin agar pemerintah berhenti mengimpor opium mentah, dan mulai memproduksi serta mengolah sendiri opium secara besar-besaran di Hindia.” (82—83)
Kutipan tersebut merupakan penegasan dari opiumregie yang dituturkan oleh Frederiek Zwarteboom (Kapten FZ) kepada Bernard Eigensten (Ben). Dua tokoh itu merupakan polisi laut yang ditugasi pemerintah untuk memusnahkan candu ilegal yang masuk ke Hindia-Belanda lewat Bali ke Surabaya, Juwana, Semarang, atau Yogyakarta, dan sesekali lewat Batavia. Mulai dari sini, melalui cerpen yang terhimpun dalam buku Teh dan Pengkhianat ini, pengarang tampaknya melayangkan kritik sosial—mengutuki para pengambil kebijakan dan penegak hukum yang menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi.
Selain mengutuki pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan, “Kutukan Lara Ireng” juga meramu “ketidakmurnian” menjadi nalar cerita yang cukup manjur sebagai dasar atas berbagai konflik yang dialami para tokoh. Ketidakmurnian bisa kita temukan dari masalah opium.
“Supaya dagangan mahal itu laku, mereka membuat ramuan khas sendiri. Ada yang utuh tanpa campuran, ini yang paling mahal. Ada pula yang dicampur daun awar-awar, bahkan jicing. Kualitas opium menjadi tidak terjaga. Persaingan antarkedai memperebutkan pelanggan sangat sengit, tetapi daya beli masyarakat bumiputra tidak seimbang dengan ongkos produksi. Maka mata rantai kegagalan setoran resmi pun terus terjadi. Kedai tidak bisa menyetor ke pachter. Pachter tak sanggup membayar tagihan ke hoofdpachter, dan hoofdpachter akhirnya juga gagal melunasi pajak ke pemerintah.” (81)
Kualitas opium dinilai dari kemurniannya. Kualitas terbaik ada pada opium murni. Semakin rendah tingkat kemurnian opium oplosan, semakin rendah kualitasnya. Dari opium oplosan inilah masalah kemudian muncul. Kehadiran opium oplosan juga berarti ketidakstabilan kualitas opium. Dampaknya, harga opium menjadi tidak stabil. Para pemilik kedai berlomba-lomba mendapat pelanggan dengan menyiasati campuran opium, lalu membanting harga. Dengan begitu, terjadi pertarungan antara ketidakmurnian melawan ketidakmurnian yang lain.
Ketidakmurnian juga tersemat pada diksi-diksi yang digunakan narator dan tokoh-tokoh dalam cerpen ini. Diksi-diksi asing (Belanda dan Jawa) dioplos dengan diksi-diksi yang sesuai kaidah bahasa Indonesia terkini. Dengan cara itu, cerpen “Kutukan Lara Ireng” menghadirkan latar masa kolonial secara “tidak murni”, hibrid, oplosan. Demikian juga istilah “kutukan”. Dalam cerpen ini, “kutukan” difungsikan serupa metafora, tidak murni kutukan, tidak bertaji, tidak juga berdampak penting terhadap berjalannya alur. Kutukan Lara Ireng ini jauh berbeda dengan “kutukan-kutukan” khas epos dan mitologi yang punya efek signifikan terhadap perubahan alur dan nasib tokoh-tokoh cerita.
Ketidakmurnian berikutnya melekat pada dua tokoh sentral dalam cerpen ini, Kapten FZ dan Ben. Kedua polisi laut itu sama-sama mestizo, berdarah campuran. Serupa dengan opium campuran, kualitas orang-orang mestizo sering kali diremehkan.
“Seperti yang umum terjadi, Belanda totok selalu memandang rendah para mestizo.” Kapten menyeka mulutnya. “Dan para mestizo langsung memperoleh cap sebagai manusia boros, malas, tukang bersenangsenang, gemar main perempuan, pergi ke bilik-bilik gelap menghisap opium. Tentu saja itu kesimpulan ngawur. Aku juga mestizo, tetapi aku tidak seperti itu. Demikian pula Tuan Charles TeMechelen, atasan kita. Ia campuran Belanda, Cina, dan Jawa.” (80—81)
Di balik stereotipe tentang para mestizo, kutipan di atas juga memperlihatkan adanya hierarki di antara tokoh-tokoh yang sama-sama “tidak murni”itu. Hierarki diciptakan oleh perbedaan posisi mereka. Tuan Mechelen sebagai atasan, kemudian Zwarterboom sebagai kapten, lalu Ben sebagai asisten pribadi Kapten Zwarterboom. Hierarki itu sekaligus menunjukkan ketimpangan kuasa di antara ketiganya.
Tuan Mechelen tidak pernah benar-benar hadir pada peristiwa-peristiwa dalam cerita ini. Ia hanya hadir lewat perantara mulut Kapten Zwarterboom dan Ben. Meskipun begitu, cara Kapten Zwarterboom dan Ben membicarakan Tuan Mechelen secara tidak langsung telah menandai kesenjangan posisi mereka. Misalnya, saat menceritakan sosok Tuan Mechelen, muncul sisi-sisi inferioritas Kapten Zwarterboom dan Ben sebagai bawahan Tuan Mechelen.
Ben dideskripsikan sebagai seorang polisi laut yang lihai menembak, gesit, jago bertarung, loyal, dan pemberani, tetapi naif. Kenaifan telah menutup mata Ben dengan optimisme berlebih—meyakini bahwa sebagai polisi laut ia mengemban tugas mulia untuk memberantas peredaran candu ilegal demi menyelamatkan negara dan masyarakat. Tanpa disadari, yang dihadapi Ben sebenarnya bukanlah saudagar China maupun para penyeludup opium, melainkan Kapten Zwarterboom, sesama mestizo sekaligus atasannya sendiri.
Alih-alih menemukan pertempuran, Ben justru mendapati loyalitasnya sedang diuji. Loyal kepada aturan atau atasan?
“Jadi sekarang kau mengerti. Beginilah pasukanku menghadiahi diri sendiri atas kerja mulia penuh mara bahaya yang kami jalani. Bertaruh nyawa melawan penyelundup bersenjata demi menjaga pemasukan kas negara, sekaligus menyelamatkan bumiputra Jawa dari penyakit kecanduan madat. Apakah menurutmu kita melanggar hukum?” Gumam Kapten di antara asap tebal cerutunya.
“Sekarang berdirilah. Lihat garis sambungan kayu di depan kakimu itu? Ini ujianmu. Ikut aku dan mengambil bagian penjualan opium ini, atau tetap tinggal di situ, berseberangan denganku? Pikir baik-baik. Takkan ada yang mempercayai ceritamu di Juwana.”
Aku termenung beberapa saat, berusaha mencerna banyak hal yang datang menghantam benakku bertubi-tubi pagi ini: Lelang besar opium, hoofdpachter, Cina kaya, bumiputra miskin, penyelundup, Charles TeMechelen, Regi Opium. (91)
Relasi kuasa tampak jelas dalam obrolan ini. Frasa “aku termenung beberapa saat” menggambarkan dilema yang dialami tokoh Ben, antara memihak pada kebenaran atau atasan. Meskipun Ben punya berbagai kemampuan untuk menentang kehendak Kapten Zwarterboom, seolah posisi Ben sebagai anak buah membuatnya tak berdaya. Ben harus ikut bersekongkol tanpa memiliki daya untuk melawan perintah Kapten Zwarterboom. Kemampuan menembak dan bertarung Ben terlalu mudah dijinakkan oleh kuasa Kapten Zwarterboom. Demikian juga dengan keberanian dan kejujuran Ben menguap begitu saja, buru-buru tunduk kepada pengetahuan dan pengalaman Kapten Zwarterboom dalam mengurus masalah opium.
Semua ketidakberdayaan Ben itu, sayangnya, diakibatkan oleh kemunculan satu adegan yang kurang akal, instan, dan tak beralasan. Ben tertidur!
“Jadi sekarang kau mengerti. Beginilah pasukanku menghadiahi diri sendiri atas kerja mulia penuh mara bahaya yang kami jalani. Bertaruh nyawa melawan penyelundup bersenjata demi menjaga pemasukan kas negara, sekaligus menyelamatkan bumiputra Jawa dari penyakit kecanduan madat. Apakah menurutmu kita melanggar hukum?” Gumam Kapten di antara asap tebal cerutunya.
“Sekarang berdirilah. Lihat garis sambungan kayu di depan kakimu itu? Ini ujianmu. Ikut aku dan mengambil bagian penjualan opium ini, atau tetap tinggal di situ, berseberangan denganku? Pikir baik-baik. Takkan ada yang mempercayai ceritamu di Juwana.”
Aku termenung beberapa saat, berusaha mencerna banyak hal yang datang menghantam benakku bertubi-tubi pagi ini: Lelang besar opium, hoofdpachter, Cina kaya, bumiputra miskin, penyelundup, Charles TeMechelen, Regi Opium. (91)
Apa sebab Ben tertidur? Sama sekali tidak jelas. Sebaliknya, satu adegan yang sama sekali tidak jelas sebabnya itu dampaknya kelewat besar di akhir cerita. Ben, si ahli tembak, akhirnya kehilangan revolvernya akibat tertidur.
Revolverku!
Betulkah itu revolverku?
Aku berdiri, memeriksa sabuk senjata. Kosong! Bangku yang kududuki jatuh terguling. Gerakan ceroboh itu membuat mata kapten melotot. Aku mendengar suara ‘klik!’. Pengaman pistol terbuka. Ya, itu revolverku. Aku hafal suaranya.
“Angkat kembali bangku itu, lalu duduklah, Ben! Perlahan saja. Letakkan kedua tanganmu di paha, agar bisa kulihat. Dan jangan membuat gerakan mendadak seperti tadi!” bentak Kapten. Pistol di tangannya kini benar-benar terarah kepadaku. “Kau mungkin penembak gesit. Pandai berkelahi. Tapi dari jarak sedekat ini, siapa pun bisa mengarahkan peluru ke dahimu.” (90)
Tampak sia-sia saja Ben diberi karakter sebagai polisi laut yang ahli tembak plus jago kelahi. Toh semua kemampuan Ben itu tak terpakai sampai akhir cerita, dibatalkan hanya oleh satu adegan: “ketiduran”! Suatu ketidakjelasan khas sinetron kejar tayang.
Pada konteks tertentu, ketidakjelasan bisa saja bersinonim dengan ketidakmurnian. Namun, apakah ketidakjelasan nalar adegan “Ben tertidur” itu bisa dimaklumi hanya karena sekilas tampak berhubungan dengan berbagai ketidakmurnian yang telah dibahas sebelumnya (opium, diksi, kutukan, dan mestizo)? Bagiku, tidak bisa dimaklumi. Ketidakjelasan nalar adegan itu tidak bisa dianggap sebagai oplosan yang ditakar dan diramu sungguh-sungguh, melainkan murni kenaifan dalam “Kutukan Lara Ireng.***