Krincing-krincing, lonceng mungil di bagian atas pintu Nabila’s Cafe berbunyi. Pukul 11 malam. Semakin malam kafe itu tampak semakin ramai oleh pelanggan yang kebanyakan adalah remaja, muda-mudi. Di suatu sudut kafe, duduk seorang pria berambut gondrong. Rambutnya panjang sebahu dengan kumis tipis dan sedikit janggut menggantung pada dagunya. Tampan dan berbahaya. Mungkin itu yang ada di pikiran orang pada umumnya setiap kali melihatnya. Ia sendirian, tak seperti pengunjung kafe pada umumnya yang membawa kekasih ataupun teman ngobrol. Dari sorot matanya yang menyapu seisi ruangan, tampak ia sedang menunggu seseorang. Mungkin kawan, rekan kerja, atau mungkin kekasihnya. Sesekali tatap matanya jatuh pada buku di genggaman tangannya. Pada bagian depan buku tertulis nama pena si penulis yang sangat ia kenal melebihi siapapun, ‘Kang Bro’, yang tak lain adalah nama pena dirinya sendiri. Kali yang lain pandangan matanya jatuh lebih dalam. Kemudian, sisanya ia lebih sering mengamati orang yang keluar-masuk kafe. Berharap yang sedang ia tunggu segera muncul dari balik pintu kafe.
Krincing, entah suara yang ke-berapa ratus kalinya di malam itu. Pria gondrong tiba-tiba bangkit berdiri dari kursinya. Dilihatnya sepasang manusia, laki-laki dan perempuan memasuki ruangan kafe. Laki-laki berpostur tinggi, kekar, berambut cepak, dan kulitnya putih bersih. Bau parfum mahal keluaran terbaru tecium dari tubuhnya. Perempuan-perempuan mungkin akan langsung menyangkanya sebagai laki-laki muda tampan, sukses dan berduit. Di sebelahnya adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam panjang, kulitnya putih bersih, dan setiap kali tersenyum akan tampak lesung pipit di pipinya. Jika orang mengatakan bahwa ‘cantik itu relatif’ maka cantik saja tidak akan cukup menggambarkan wajahnya. Karena kecantikan wajahnya adalah mutlak.
“Nabila, kenapa kita datang jauh-jauh ke sini? Bukannya di dekat rumahmu juga ada kafe walau tak sebesar di sini?”
“Beda Rud, ini kafe kesukaanku. Aroma dan rasa kopinya hmm…. Pokoknya beda lah dari yang lain. Dan kamu sadar gak kalau nama kafe ini mirip sama namaku? Nabila? Kafe ini juga kabarnya milik salah seorang penulis yang cukup terkenal. Tapi aku lupa siapa namanya. Siapa ya? hmmm….”
“Iya ya…. Namanya sama kayak nama kamu, Nabila. Dan katamu kafe ini milik penulis terkenal? Gimana bisa kamu sebut dia terkenal kalo kamu saja lupa atau mungkin memang gak tau namanya? Hahaha….”
“Eh, kok ketawa sih? Namanya juga manusia, lupa!” Mendengar kekasihnya merajuk, Rudy tersenyum dan mencubit manja pipi Nabila.
“Ayo Bil, kita mau duduk di mana?”
“Di sana saja, aku punya tempat favorit.” Nabila menunjuk tempat duduk di sudut ruangan. Ia terkejut. Di sana sudah berdiri seorang pria. Ia seperti mengenal pria itu. Rambutnya lebih panjang dari yang terakhir kali ia lihat.
“Bentar Rud….” Nabila berjalan meninggalkan Rudy yang masih berdiri di dekat pintu masuk. Ia berjalan menghampiri Si Gondrong. Jalannya lebih cepat daripada biasanya. Dengan suara yang sedikit bergetar ia sapa dengan ragu Si Gondrong yang masih berdiri di tempatnya.
“Satria?“
Si Gondrong tak menjawab. Biasanya ia tak pernah merasa secanggung ini terhadap siapapun.
“Kamu Satria Purnama?” tanya Nabila lagi, berusaha menyakinkan diri sendiri.
“Iya, Nabila…. Aku adalah Satria Purnama, kekasihmu”
“Kekasih? Kau bilang kekasih!? Mana ada yang namanya kekasih, jika ia sanggup meninggalkan kekasihnya selama lima tahun lebih tanpa kabar!? Kemana saja kau lima tahun ini!? Tak satupun kabar kuterima. Kau campakkan aku!!!” Nabila menangis. Mendengar gadisnya berteriak-teriak yang menyebabkan seluruh aktivitas di kafe sempat berhenti sejenak, Rudy datang menghampirinya.
“Ada apa Bil? Ngapain teriak-teriak? Banyak orang tahu?”
“Ini Rud, si Gondrong ini adalah si Satria Purnama sialan itu!” Mendengar nama Satria Purnama disebut, Rudy spontan hendak ikut mendamprat si pria gondrong.
“Oh. Jadi kamu yang namanya Satria Purnama itu? Brengsek! Sini lu, gue hajar!” Tahu Rudy akan terlibat masalah lebih dalam, segera Nabila menghentikannya.
“Sudah Rud. Sudah! Percuma kita buang-buang tenaga untuk si brengsek ini! Ayo, kita pulang saja!” Mendengar permintaan dari orang yang ia sayangi, Rudy menurut saja. Keduanya berbalik arah menuju pintu keluar.
“Maaf.” Walau lirih dan bergetar, suara yang keluar dari bibir Satria terdengar juga oleh Nabila. Seketika ia berbalik lagi ke arah Satria dan mengeluarkan kalimat pamungkasnya yang mungkin telah ia simpan selama lima tahun lamanya itu.
“Maaf? Maaf katamu!? Dasar kau laki-laki pecandu kopi!!! Laki-laki sialan! Dan satu lagi. Kami akan menikah minggu depan. Terserah, kau mau datang atau tidak.” Setelah itu tak ada kalimat lagi. Nabila meninggalkan kafe mendahului Rudy, meninggalkan seisi ruangan yang sempat hening seketika.
Satria masih terdiam terpaku di mejanya. Setelah kepergian Nabila, Satria mengeluarkan cincin emas dari sakunya. Cincin itu indah walau hanya terbungkus oleh sapu tangan biru muda, sapu tangan yang bersejarah dalam hidupnya. Beberapa jenak kemudian akhirnya Satria melangkahkan kakinya. Ia melangkah ke arah barista di sisi kafe yang sedang memandangnya curiga.
“Siapa dia bos?”
“ Dia, …. ” Tahu bosnya tak mau menjawab, ia akhirnya mengalihkan pembicaraan.
“Mau kopi bos? Mau dibuatin atau buat sendiri?” Mendengar tawaran dari pekerjanya itu, Satria spontan melihat daftar kopi yang tertulis di salah satu sudut kafe. Ia membacanya, kemudian bergumam yang ternyata sampai juga ke telinga baristanya walau tidak jelas.
“Jika kau sebut aku pecandu kopi, lantas kopi apakah dirimu, kekasih?”
“Apa bos? Kopi apa?”
“Eh, tidak apa-apa. Cepat kembali bekerja! Lihat, masih ada yang belum kedapatan kopi! Dan untuk yang tadi, dia itu adalah…. dia… kopi pertamaku. Dan sekali lagi ingat, jangan panggil aku ‘Bos’! Kau boleh panggil aku dengan ‘Bung’!”
“Siap B… Bung!” Entah paham atau tidak dengan ucapan bosnya barusan, tapi si barista itu sudah kembali bekerja lagi sebelum akhirnya memandang punggung bosnya keluar dari kafe.
Tentang Penulis
M Nanzilul Achsan, lahir di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada tanggal 15 Oktober 1997. Ia adalah alumni Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah yang terletak di kota Kudus, Jawa Tengah. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin di Sekolah Tinggi Islam al-Anwar Sarang.
5
3.5
0.5