Keseruan Diskusi Journaling di FSY

Keseruan Diskusi Journaling di FSY

Di luar ekspektasi! Ketika berada di atas panggung, saya tak menyangka audiens sudah memenuhi jumlah kursi yang disediakan panitia. Bahkan, panitia tampak masih menambahkan beberapa kursi.

Deg! Ini diskusi, lho. Siang pula. Saya tak grogi sama sekali, tapi lebih terhenyak karena rupanya diskusi ini menarik bagi banyak orang. Temanya biasa saja, atau mungkin karena narasumbernya? Atau karena event-nya yang memang menarik?

Diksusi ini dijuduli “Menulis Diri Menemukan Diri, Kekuatan Journaling untuk Mengenali Diri”, diadakan dalam rangkaian Festival Sastra Yogyakarta (FSY), pada Jumat (29/11), di Taman Budaya Embung Giwangan, Kota Yogyakarta.

Tugas saya kemudian adalah bagaimana membuat suasana menjadi hidup, daripada hanya menyampaikan pertanyaan, membuka ruang diskusi, dan kemudian sedikit membuat simpulan. Nyatanya, beberapa pertanyaan yang saya siapkan malah buyar karena fokus saya berpindah dari moderator menjadi host

Baiklah. Masuk ke narasumber, Ramayda Akmal dan Ria Papermoon. Sesungguhnya saya tidak begitu akrab dengan keduanya, bahkan dengan Ria baru pertama kali ketemu. Namun seorang host mesti tampak akrab dengan narasumbernya.

Kedua narasumber memiliki kebiasaan yang sama, yaitu mencatat secara manual di buku tulis, buku catatan, buku journal, atau semacamnya. Sejak kecil. Kegiatan itu mereka lakukan sejak kecil. Jika Ayda–sapaan akrab Ramayda Akmal–mencatat untuk menghindari tugas-tugas rumah karena dikira sedang belajar, Ria mencatat karena memang menjadi kesukaannya. 

Entah sudah berapa buku yang mereka habiskan, tetapi saat itu mereka membawa dan menunjukkan journal terakhir mereka. Journaling menjadi landasan awal hingga saat ini Ayda menjadi penulis, sastrawan, dosen, dan Ria menjadi seorang seniman.

“Mencatat itu mampu menggerakkan hampir semua indera kita,” kata Ria.

Diamini oleh Ayda, dia menambahkan, “Yang terpenting dari mencatat itu bukan kontennya, tapi memunculkan habit untuk mencatat. Mencatat akan membantu kita untuk berpikir terstruktur dan menjadi pengingat,”

Tak banyak waktu yang saya berikan kepada dua perempuan itu. Dari durasi kira-kira satu setengah jam, tiga puluh menit untuk narasumber, enam puluh menit untuk diskusi. Toh, ternyata waktunya kurang. Setidaknya ada enam peserta aktif dalam sesi itu.

Di antara diskusinya terkait motivasi menulis, memahamkan orang lain dengan tulisan, memetakkan gagasan tulisan, serakan gagasan yang mendesak untuk ditulis, dan apresiasi kepada karya.

Para narasumber lancar menjawab. Satu pertanyaan yang cukup menjadi fokus pada diskusi itu adalah bagaimana tulisan dapat membagi rasa dan pemahaman kepada pembacanya. 

“Untuk membagi pemahaman, kita membutuhkan upaya lebih daripada hanya menulis beberapa kata. Dan itu harus terus-menerus dilakukan,” ujar Ayda.

Diskusi ditutup dengan berfoto bersama dengan para peserta aktif.***