Menu

Kerinduan yang Jauh | Puisi-Puisi Ngadi Nugroho

Kerinduan yang Jauh | Puisi-Puisi Ngadi Nugroho | https://www.kibrispdr.org/

KERINDUAN YANG JAUH

Mungkin kini adalah sebuah kerinduan yang jauh. Pada senyum cucu-cucu kita. Yang lepas seperti senyum matahari. Karena benih yang ditanam dulu telah tersapu topan dan halimun. Mulai darimana lagi kaki ini melangkah dan tangan ini menancapkan tonggak. Tak bisa kita pungkiri jalan ini seolah mendaki bukit yang terjal dan meretak. Sedangkan pucuk bukit kita tak tahu arahnya. 

Mungkin kini adalah sebuah kerinduan yang jauh. Mata ini selalu mencari daun-daun yang semi. Menghijau sampai ujung pandangan mata. Sungai-sungai mengalir dengan ricik yang menggetarkan dada. Bukan karena melankolia semua kenangan itu ada. Hari ini kerinduan itu melindap pada kelelahan hidup yang tak pasti. Dan kita ditidurkan mimpi tentang surga-surga hari ini. Hanya sebatas mimpi—tak mampu terbeli.

 

Semarang, 2022

 

 

 

 

CINTA DAN ANTREAN PANJANG

Waktu tak pernah sama. Juga mendung yang tiba-tiba menjatuhkan rintiknya. Dan kita tergeriap, berdiri membisu tak bisa berbuat apa-apa. Hanya sebatas terus berjalan sesuaikan keadaan. Seperti di hari ini. Menunggu antrean di spbu. Mungkin antrean ke duapuluhan orang. Berjajar-jajar seolah tak ada lelah walau di guyur rintik hujan.

Ini malam minggu, tuan. Tak kita kira antrean semakin panjang. Ada yang tertunduk mungkin sembari mengumpat. Melirik jam di tangan tak kelar-kelar giliran. Sedangkan telepon genggam terus berbunyi; tak dihiraukan. Mungkin sudah tahu sang kekasih kesal menunggu. Menunggu dia berkunjung di malam minggu.

 

Semarang, 2022

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

 

PERNAH KAMI TITIPKAN CINTA, HARI INI KAMI MENAGIHNYA

Pohon-pohon hanya berdiri diam. Matahari tak mampu membuat cahayanya remang. Peluh mulai bercucuran. Di bagian mana lagi tuan bisa makan daging kami yang telah busuk. Busuk termakan waktu yang mulai menua dan lapuk. Dengan segala luka kami tutupi dengan senyuman. 

Kami harap daun-daun di pucuk dahan itu mulai semi. Meneduhkan kepala kami yang mulai terbakar matahari. Dan di dada kami yang paling dalam, kami temukan telah berlubang. Dengan apa harus kami menambalnya? Kami tak tahu tuan.

Pernah kami titipkan sebutir cinta. Kami kira tuan telah menanamnya, menjadi pohon-pohon peneduh di sepanjang trotoar jalan. Ternyata tak kami temukan pohon-pohon itu meranumkan kembang. Hanya pohon masa lalu yang kami mampu buat sandaran. Meneduhkan tubuh, dada dan kepala kami yang mulai terbakar matahari. Dan kami merasa sendirian menjalani hidup ini.

 

Semarang, 2022

 

 

Tuliskan komentar