Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama.
Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama.

Kegagalan Keluar dari Kungkungan Simbolik: Navis dan Tindakan Menulis “Datangnya dan Perginya”

“… Aku tak mengerti, kenapa mesti begitu. Ataukah dunia ini hanya boleh ditempati orang-orang yang tak baik saja? Ah, maka itu dunia ini tak mungkin jadi surga gerangan?” A.A. Navis

“Datangnya dan Perginya” (DdP) 1956 sering kali disandingkan dengan novel Kemarau 1967. Pasalnya, karya yang pertama merupakan hipogram dari yang kedua. Oleh karenanya, sejumlah kajian kerap melihat konteks intertekstualitas, transformasi, aspek historis, dan aspek relasional antarkeduanya. Padahal, kedua karya sastra tersebut memiliki kemandirian yang patut digali lebih dalam. Keduanya memiliki kecenderungan yang jauh berbeda meskipun pada tataran internal teks juga mempunyai beberapa kesamaan. Jika dibaca lebih dekat, Navis melalui DdP berupaya keluar dari tatanan simbolik, sebuah langkah yang dianggap sebagai tindakan radikal, tindakan melepaskan diri dari kungkungan ideologis dalam mengekspresikan subjektivitasnya.

DdP mengisahkan ayah Masri, seorang laki-laki yang mengalami dua fase kehidupan rumah tangga yang pelik. Fase pertama dimulai ketika istrinya meninggal dunia. Pada saat itu, hatinya patah, kesepian melanda, dan ia rasa-rasakan bahwa kebahagiaan tak mungkin lagi datang padanya. Baginya, cuma satu perempuan seperti ibu Masri, yang baik dan pandai dalam segala hal. Meskipun kemudian menikah lagi, ayah Masri malah tambah menderita karena susunan rumah dan aturan makannya diobrak-abrik oleh istri barunya. Perkawinannya beberapa kali berakhir dengan perceraian. Hal ini membuat ayah Masri kapok kawin lagi. Selanjutnya, ayah Masri mengisi kehidupan asmaranya dengan perempuan bayaran yang menyenangkannya secara temporal tanpa ikatan perkawinan.

Fase kedua dilanjutkan ketika Masri secara tidak sengaja menikahi Arni, saudara sebapak. Arni adalah anak dari Iyah (mantan istri kedua ayah Masri). Hal ini terjadi karena dulu Masri pergi dari rumahnya lantaran melihat Ayahnya berada dalam rangkulan wanita bayaran. Sejak kejadian itu, sang Ayah merasa bersalah pada Masri dan meninggalkan kampung halamannya. Ia pergi ke sebuah dusun yang jauh, bertaubat, dan menyerahkan diri kepada Allah. Namun, sekembalinya ayah Masri ke kampung halamannya, ia bertemu dengan Iyah yang mengatakan bahwa “Istri Masri anakku, juga anakmu”. Ayah Masri bersikeras ingin memberi tahu Masri dan memintanya untuk menceraikan Arni karena hal itu dosa dan melanggar aturan agama. Akan tetapi, setelah mendapat pengaruh dari Iyah, ayah Masri juga ikut menutupi rahasia itu. Keyakinannya terhadap agamanya dikalahkan oleh rasa kemanusiaan, rasa kasihan, dan rasa bersalah kepada Masri. Maka, ia tidak ingin merusak kebahagiaan anak-anaknya.

Pengambilan posisi Navis di tengah-tengah pergolakan adat dan religiositas tersebut merupakan jalan radikal. Meski demikian, momentum tersebut berubah saat humanisme dibahasakan sebagai simbolik baru yang melingkupi diri Navis.

Cerita di atas memperlihatkan bagaimana Navis membaurkan berbagai simbolisme seperti adat, agama, dan kemanusiaan dalam satu konstruksi fiksi. Jika dipandang dari sisi tekstual dan kontekstual, melalui karya ini, Navis memperlihatkan upaya tokoh-tokoh yang mencoba keluar dari aturan adat dan agama. Di sisi lain, menulis DdP dapat dikatakan sebagai suatu pergolakan Navis dalam meradikalisasi tatanan simbolik di kehidupan sekitarnya. Untuk menelusuri tindakan-tindakan radikal, tulisan ini melihat ke dalam (karya) dan keluar (pengarang). Penelusuran ke dalam dilakukan dengan identifikasi pergerakan sudut pandang dalam cerita, terutama mengenai teknik dan strategi cerita disajikan. Elaborasi ke luar diwujudkan dengan menelaah subjektivitas Navis melalui karyanya.

Sudut Pandang dalam Cerita

Sudut pandang dalam DdP membaurkan pandangan objektif dan subjektif. Meminjam istilah Tzvetan Todorov, sudut pandang objektif berorientasi pada penyajian informasi narator tentang apa yang ia lihat dan ia dengar pada tokohnya. Sudut pandang subjektif lebih condong pada informasi terkait penilaian narator (Todorov, 1985). Di dalam DdP, sudut pandang objektif hampir merengkuh keseluruhan karya dalam menceritakan tokoh sentral ayah Masri, Masri, dan Iyah.

Narator lebih banyak menggunakan citraan penglihatan dan pendengaran daripada citraan lainnya dalam bercerita. Bahkan, narator dapat mendeskripsikan secara detail perasaan tokoh-tokoh meskipun masih tetap mengobjektifikasi mereka. Deskripsi yang terperinci ini digunakan narator untuk menggambarkan reaksi ayah Masri saat menerima surat dari anaknya. Betapa senang bercampur haru ayah Masri mengetahui bahwa anaknya telah menikah dan memiliki dua keturunan. Narator juga mendeskripsikan bagaimana perawakan Masri melalui foto keluarga Masri. Masri berkumis seperti laki-laki dewasa pada umumnya dan terlihat bahagia bersama keluarga barunya. Selain itu, pandangan objektif pada tokoh Iyah juga dijelaskan oleh narator. Iyah dideskripsikan sebagai seorang perempuan kurus hampir serupa mayat. Hal itu dinyatakan saat ayah Masri memberanikan diri untuk pulang ke kampung halamannya. Orang pertama yang ditemui saat masuk ke rumah Masri adalah wanita itu, mantan istrinya. Begitulah narator menggambarkan tokoh-tokohnya secara objektif. Namun, sudut pandang objektif yang banyak digunakan dalam cerita nyatanya tidak cukup untuk mengungkapkan tindakan radikal pengarang maupun tokoh-tokohnya. Dengan demikian, penting di sini untuk mencermati sudut pandang subjektif pengarang melalui narator.

Ada beberapa bagian cerita ketika narator menilai tokoh-tokohnya secara subjektif. Misalnya, ketika ayah Masri berada dalam fase pertama, narator menilai bahwa kepergian istri pertama ayah Masri merupakan sesuatu yang “tiada terderitakan”. Artinya, narator menilai ayah Masri berada dalam kondisi terkoyak-koyak. Selanjutnya, pada saat ayah Masri mengisi kehampaan dengan perempuan bayaran, narator menilai bahwa ayah Masri telah “merusak” hidupnya dan juga hidup Masri. Narator menekankan bahwa Masri serasa “disiksa” oleh olok-olok kawan-kawannya di sekolah karena tingkah ayahnya.

Selain itu, pandangan subjektif juga dinarasikan pada fase kedua, yakni saat ayah Masri bertemu Iyah. Pergulatan antara keduanya dinilai oleh narator sebagai sisi kuat dan lemah. Memang, pada awalnya, ayah Masri memegang kendali atas dirinya sendiri. Akan tetapi, Iyah menusuk sisi perasaan kemanusiaan ayah Masri untuk melumpuhkan keteguhan iman pria itu. Dengan demikian, narator menilai bahwa iman seseorang yang sukar dilawan dan dilenyapkan dengan dalil-dalil atau perdebatan panjang dapat diluluhkan dengan menyentuh sisi kemanusiaannya.

Cara narator memandang dan menilai tokoh-tokoh dalam DdP menunjukkan subjektivitas pengarangnya. Dalam beberapa bagian, Navis lebih dekat pada tokoh-tokoh tertentu sekaligus mengambil jarak dari mereka. Navis menonjolkan sisi-sisi tertentu pada setiap tokohnya. Pada ayah Masri, Navis menempelkan kekuatan simbolik religiositas yang begitu kuat. Pada Iyah, Navis merekatkan humanisme yang menelanjangi simbolik religiositas. Masri sendiri berada di tengah-tengah sebagai simbolik familialisme. Dari ketiga kecenderungan Navis pada tokoh-tokoh tersebut, kita perlu menelisik posisinya sebagai pengarang untuk menentukan apakah Navis lebih condong pada salah satunya atau bahkan tidak pada ketiganya.

Subjektivitas Navis terhadap Yang-Simbolik

Dalam rangka melihat pergerakan subjek, Slavoj Žižek menggunakan konsep segitiga Lacan, yaitu Yang-Nyata, YangImajiner, dan Yang-Simbolik. Yang-Nyata merupakan suatu keadaan prasimbolik, suatu realitas abstrak (tidak ada) yang dapat menghasilkan serangkaian efek dalam realitas simbolis subjek. Singkatnya, sebuah dunia yang belum terbahasakan. Yang-Simbolik merupakan apa yang dikenal dengan realitas yang telah terbahasakan. Yang-Imajiner, menurut Ramayda Akmal (2018), merupakan ruang segala sesuatu gagal diterjemahkan dalam Bahasa. Berangkat dari ketiga aspek tersebut, Žižek melihat kemungkinan subjek untuk keluar dari Yang-Simbolik, yakni berusaha mendekati Yang-Nyata. Tindakan tersebut merupakan apa yang disebut sebagai tindakan radikal: tindakan yang dilakukan oleh subjek autentik, subjek kosong, atau subjek tanpa ideologi.

Pada 17 November 1924 Ali Akbar Navis telah beranjak dari dimensi Yang-Nyata. Ia telah terlepas dari kepenuhan dirinya yang sempurna menuju rangkaian polemik simbolik. Navis kecil hidup di lingkungan budaya Minangkabau yang juga lekat dengan syariat Islam. Sebuah lingkaran simbolik yang mengitarinya adalah falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Falsafah tersebut merupakan suatu pedoman hidup masyarakat Minangkabau yang menjadikan ajaran Islam sebagai pegangan. Artinya, setiap aktivitas dan cara adat berjalan didasarkan pada syariat Islam. Dalam kungkungan simbolik yang mencoba menarik dirinya ini, Navis secara momental melakukan tindakan untuk menjauhkan diri dari Yang-Simbolik menuju pada Yang-Nyata. Untuk bertindak secara radikal, Navis tidak memiliki indikasi intensional. Tindakannya itu bersifat momental, sebagaimana ketika Navis menuliskan DdP.

Bagi Navis, “Mengarang adalah alat untuk menuangkan pikiran”. Hal ini disebutkan dalam Profil 200 Tokoh Aktivis & Pemuka Masyarakat Minang (1995). Dengan jalan ini, tindakan mengarang menjadi salah satu upaya Navis dalam memupuk kerinduannya pada pemenuhan sempurna. Kegagalan Navis menerjemahkan Yang-Nyata tersebut terfasilitasi oleh alam Imajinernya. Dengan cara ini, ruang-ruang fantasi Navis terwujudkan melalui karyanya tersebut.

Ruang fantasi Navis dalam DdP merupakan tindakan yang cukup relevan dalam mendekati Yang-Nyata dan meradikalisasi Yang-Simbolik. Di dalam karya tersebut, Navis menampakkan upaya melepaskan diri dari falsafah hidup orang Minangkabau. Hal ini digambarkan melalui caranya menulis. Cara pertama berupa pelepasan tokoh ayah Masri dari simbolik familial, ketika ia menjauhi status sebagai seorang suami. Cara kedua berupa radikalisasi Iyah terhadap ajaran agama Islam yang melarang pernikahan sedarah (inses). Kedua aspek tersebut dapat dikatakan sebagai pelarian dari Yang-Simbolik. Mekanisme ini memperlihatkan bahwa Navis seolah-olah mencoba keluar dari adat pernikahan Minangkabau yang banyak aturan.

Dalam kaitannya dengan pernikahan, adat Minangkabau memandang perkawinan ideal sebagai persatuan antara anak dan kemenakan atau secara sederhana disebut perkawinan antara keluarga dekat. Hal ini disebut Navis dalam Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984) sebagai “pulang ke mamak atau pulang ke bako”. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak, sedangkan pulang ke bako ialah menikahi kemenakan ayah. Terhadap kondisi adat yang memiliki tatanan ideal ini, Navis menabraknya, menuju perkawinan yang dilarang secara hukum umum sekaligus oleh syariat Islam, melalui cerpen DdP.

Kegagalan Keluar dari Kungkungan Simbolik

Namun, perjalanan Navis mencari Yang-Nyata dalam tindakannya menulis pada kenyataannya tidak dapat menelanjangi Yang-Simbolik secara sempurna. Sebagai subjek, Navis gagal menjadi yang radikal karena hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan satu cara. Memang, dalam beberapa momen ia berhasil mengambil jarak dari Yang-Simbolik dan mendekati Yang-Nyata. Akan tetapi, upayanya selalu menggiring pada simbolik yang lain. Hal ini dapat kita lihat sekali lagi dalam dua cara melihat ke dalam dan melihat keluar seperti sebelumnya.

Upaya melihat ke dalam dapat kita ukur kegagalannya melalui tokoh utama dalam DdP, ayah Masri. Dalam beberapa bagian ia menghadapi Yang-Simbolik secara langsung atau pun melalui agen-agennya. Misalnya, ketika sekonyong-konyong ia diceritakan sudah menikah, maka ia telah masuk dalam tali simbolik familial. Memang setelah istrinya meninggal, ayah Masri melakukan tindakan melepaskan diri dari simbolik tersebut. Akan tetapi, kehadiran Masri sebagai agen simbolik familial sekaligus menjadi agen moral atau ideologi sosial adat, menista ayahnya sendiri lantaran melakukan pelepasan tersebut. Kemudian, sang Ayah kembali memasukkan dirinya lagi pada simbolik agama. Namun, pegangannya terhadap simbolik agama itu diradikalisasi oleh humanisme yang dibawa oleh Iyah sebagai agennya. Dengan begitu, dapat diketahui bahwa hanya pada dua momen itulah tokoh-tokoh DdP melakukan tindakan radikal, yakni saat menjauhi simbolik familial dan agama sekaligus adat secara bersamaan.

Upaya melihat keluar dapat kita telisik melalui tindakan Navis mengakhiri cerita dengan pernikahan  inses. Pemilihan resolusi dalam cerita ini sangat bertentangan dengan aturan agama di Minangkabau yang masyarakatnya memegang teguh syariat Islam. Pengambilan posisi Navis di tengah-tengah pergolakan adat dan religiositas tersebut merupakan jalan radikal. Meski demikian, momentum tersebut berubah saat humanisme dibahasakan sebagai simbolik baru yang melingkupi diri Navis. Lebih jauh lagi, tindakan Navis menggunakan cerpen ini sebagai hipogram dari novel Kemarau merupakan kegagalannya mendekati Yang-Nyata. Terlihat juga dalam Kemarau, Navis tunduk pada simbolik religius. Dengan demikian, upaya-upaya yang dilakukan Navis, baik melalui tokoh-tokoh dalam ceritanya maupun transformasi struktural dalam karyanya, berujung pada ketaklukannya pada YangSimbolik. Pada akhirnya, Navis gagal sebagai subjek autentik dan radikal. Atau Navis telah menjadi diri yang autentik di alam yang berbeda? Karena “Ah, maka itu dunia ini tak mungkin jadi surga gerangan?”***