Menu

Kedung Darma Romansha Hafal Kisah Pewayangan Sejak Kecil

Di dunia kesenian, nama Kedung Darma Romansha sudah dikenal sebagai pemain teater, sastrawan, dan pemain film. Bermain sebagai pemeran pendukung di sejumlah film layar lebar dengan berbagai peran telah dijajalnya, sebut saja sebagai Soebadio dalam film Soekarno besutan sutradara Hanung Bramantyo (2013), sebagai Ustadz Juki dalam film Mata Tertutup karya sutradara Garin Nugroho (2011), dan pemeran pendukung dalam film Soegija, Sang Kyai, Jokowi, dan Ainun Habibi.

Teater adalah dunia yang ia kenal sejak lama, sama seperti sastra. Sejak SD Kedung sudah menyukai drama, tugas mengarang, dan menggambar. “Kalau film adalah dunia baru yang saya kenal, tapi hakikatnya film hampir mirip dengan teater, hanya medianya saja yang berbeda,” ujarnya kepada Tribun Jogja beberapa waktu lalu.

Dari semua produksi yang pernah dilakoninya, pementasan teater The Lover naskah Harold Pinter yang disutradarai oleh Eka Nusa Pertiwi adalah pengalaman yang menarik baginya, terutama proses pencarian tokoh-tokohnya. Karakter tokoh yang ia mainkan lebih dari tiga, dan ini menjadi tantangan sendiri bagi Kedung.

Menurutnya, produksi film Mata Tertutup besutan Garin Nugroho juga menarik prosesnya. Fi film ini ia berperan sebagai Ustad Juki yang masuk kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Ustad Juki adalah tokoh perekrut bom bunuh diri. Di sini Kedung harus mencari tahu apa itu JI, hingga ia bertemu dengan seseorang mantan JI, dan bertanya-tanya mengenai sudut pandang anggota JI. Yang lebih menarik lagi, lanjutnya, film ini hanya memakai skrip, tanpa skenario.

“Jadi masing-masing aktor harus mengembangkan dialognya, juga ayat-ayat yang mesti saya bacakan pada dialog tertentu juga mencari sendiri. Di sini aktor benar-benar dituntut cerdas,” tuturnya.

Di bidang sastra, pria kelahiran Indramayu, 25 Februari 1984 ini sudah mengenal puisi sejak kelas 1 SMA, Ia memutuskan serius ke dunia sastra, khususnya puisi pada kelas 3 SMA dan masuk jurusan sastra Indonesia ketika kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Rencananya seniman yang meraih juara 1 lomba cipta puisi Jogja-Jateng dari Ernawaty Literary Foundation, 2013 ini akan merilis kumpulan puisinya yang berjudul Uterus pada 11 April mendatang, bertepatan dengan ulang tahun ibunya. Tapi karena di minggu ketiga bulan Maret ia juga berencana merilis (trilogy) novelnya yang pertama berjudul Slindet yang diterbitkan Gramedia, maka peluncuran kumpulan puisi Uterus diundur di awal bulan Mei.

Sejak usia lima tahun Kedung menyukai pertunjukan wayang, dan terbiasa menonton wayang bersama kakeknya. Meskipun di usia yang masih tergolong kecil, tapi ia mengaku betah melihat wayang sampai selesai hingga pukul tiga pagi. Di usia itu juga ia sudah menghafal kisah-kisah pewayangan berikut dengan tokoh-tokohnya. Beranjak besar ia beralih menyukai sandiwara dan tarling. Sewaktu duduk di bangku SD, Kedung sering membuat pertunjukan bersama teman-teman sepermainannya. “Saya bikin panggung sandiwara, dengan kelir yang kami buat dari kertas bekas semen yang kami gambar sendiri. Lalu diam-diam kami mengambil jarik milik nenek kami untuk dijadikan kostum,” kenang pria yang mendapat penghargaan mahasiswa berprestasi di Universitas Negeri Yogyakarta (2009) ini.

Alat musik yang digunakannya pun terbuat dari barang rongsokan seperti bekas cat tembok yang ia bikin kendang, bambu, dan barang rongsokan lainnya yang kami fungsikan sebagai alat musik.

Lantas apakah yang membuat Kedung fokus menekuni bidang yang ia jalani saat ini? Jawabannya adalah ketika profesinya dianggap miring, dan menjadi bahan olok-olokan oleh beberapa temannya. Sejak saat itu ia berjanji pada diri sendiri bahwa apa yang sudah ia yakini sekarang akan membahagiakannya. (rap)

 

 

Sumber: Kedung Darma Romansha Hafal Kisah Pewayangan Sejak Kecil

Tuliskan komentar