Senja itu, seorang teman mengirim pamflet daring berjudul “Perayaan Pinggir Kali”. Penyelenggaranya adalah Komunitas Jejak Imaji. Seketika saya bertanya-tanya, bagaimana rasanya tahun baru di Bantul saat berbondong-bondong orang pergi ke Tugu?
Sedari kecil, tanpa bermaksud menyudutkan keluarga ke arah negatif, saya tidak begitu akrab dengan yang namanya perayaan—dalam kesepakatan umum: apresiasi untuk pencapaian dengan mengadakan semacam pesta. Saya mengenang bagaimana orang-orang di masa kecil saya menyikapi pernikahan, misalnya, sebagaimana menyaksikan orang-orang di masa kini saya merayakan ulang tahun anak gadis mereka, misalnya. Maka, merayakan tahun baru adalah ide yang aneh, meski tentu hal tersebut bukan merupakan suatu kesalahan.
“Ayo datang,” ajak si kawan di telepon.
“Oke,” balas saya.
“Aku jadi pembicara,” ucapnya.
Sontak saya memeriksa rangkaian acara. Rupanya, terdapat dua acara diskusi: 1) Membaca Jejak Perantau dan Petualang, yang mana sastrawan dan dosen Eko Triono akan memimpin diskusi buku puisi terbaru dari pasutri Indrian Koto-Mutia Sukma, Menolak Menjadi Batu dan Harum Serbuk Tembok, dan 2) Menjaga Nyala Sastra di Yogyakarta, yang mana para pegiat komunitas akan memperbincangkan komunitas.
“Aku jadi pembicara, lho,” ulang si kawan mengembalikan saya kepada telepon. Namun, itu tidak tampak seperti pertanyaan atau pun ajakan. Saya kebingungan menjawab atau meresponsnya.
“Teman-temanmu juga tampil, kan?”
Kembali saya periksa rangkaian acara. Rupanya, terdapat pula panggung pertunjukan. Adalah Sanggar Nuun, Riyu Alam, Daffa Randai, Jejak Imaji, Teater JAB, Komunitas Kutub, Teater 42, DJ Redi, dan teman-teman saya di Sasmita UNY.
“Iya, itu.”
“Tuliskan, ya!” lanjut si kawan.
Nah, begini dong, blakasuta, batin saya.
“Siap,” jawab saya dengan penyesalan yang terlambat dan ketakjuban yang saya kagumi kemudian.
***
Untung saja, Eko Triono adalah pribadi yang cukup jenaka. Pasalnya, jika dia terus-menerus berbicara tanpa melemparkan jokes-nya—saat itu, dia benar-benar sedang on fire, istilah saya dan kawan-kawan yang mirip dengan istilah kompor gas, Indro Warkop—maka apa-apa yang dia paparkan memaksa saya untuk merasa sedang berada di dalam kelas mata kuliah puisi.
Saya duduk bersama beberapa kawan, mendengarkan Indrian Koto dan Mutia Sukma dihakimi oleh Eko Triono. Saat ditanya terkait kali kedua menerbitkan buku puisi bersama, Mutia Sukma menjelaskan bahwa selain menjadi penanda 10 tahun pernikahannya dengan sang suami, buku puisi terbaru itu juga menjadi penanda dirinya yang telah lepas dari kewajiban secara fisik terhadap anak, seperti hamil dan menyusui. Hal tersebut juga diamini oleh sang suami.
Mutia Sukma memberi gambaran bahwa, dulu, selama proses penciptaan buku pertama, Pertanyaan-pertanyaan tentang Dunia, hubungannya bersama dua anaknya, Rinai dan Nyala, lebih terasa sebagai ibu dan anak. Sekarang Rinai dan Nyala sudah lepas darinya. Ini berpengaruh terhadap suara dalam puisi-puisi di buku terbarunya.
“Saat ini, hubungan kami (Mutia Sukma, Rinai, dan Nyala) lebih terasa seperti teman,” ucap Mutia Sukma.
Saat itulah ada suara anak kecil di belakang saya yang berkata, “Aku bukan teman Mama. Aku anak Mama.”
Saya menoleh. Itu adalah Nyala.
Lalu beralih ke diskusi berikutnya. Di depan, ada Umi Kulsum, Bayu Aji Setiawan, dan Zsa Zsa Yusharyahya. Moderatornya adalah Adzana Aqsha.
Sekali itu, Umi Kulsum menceritakan perjalanan komunitas Sastra Bulan Purnama. Berkali-kali dia menekankan pentingnya konsistensi dan loyalitas.
Lantas Bayu Aji Setiawan berpesan bahwa salah satu kunci berkomunitas adalah melanggengkan budaya srawung. Ketua Jejak Imaji itu mengenang bagaimana romantisnya berkomunitas di hari-hari dulu, utamanya sebelum pandemi datang yang dampaknya belum hilang hingga hari ini.
Adalah Zsa Zsa Yuharyahya yang mengingatkan betapa pentingnya memanajemen uang. Secara terang-terangan dia sampaikan bahwa ketika berkomunitas, jangan tabu untuk membahas uang. Sebenarnya, ada orang yang sudah menuliskan soal ini. Baiknya dibaca saja, ndak mubazir kalau dituliskan ulang. Silakan periksa laman ketiketik.com. Kita beralih saja pada peristiwa berikutnya.
Ketika Abdul dan Awa, teman yang mewakili Sasmita UNY, tengah menampilkan dramatic reading, saya telah menyusun rencana untuk pulang selepas penampilan itu. Saya sungguh ngantuk, belum lagi jarak Wirokerten ke Condongcatur cukup jauh.
Maka langsung saja, begitu Abdul dan Awa turun, saya memberi jeda lima menit untuk kemudian meminta pamit. Pelan-pelan saya menuju tempat parkir, lantas meluncur.
Supaya tidak mengantuk, sengaja saya melintasi jalanan menuju Tugu. Harapan saya, kemacetan akan membuat saya emosi sehingga dapat terus terjaga. Pisuhan terhadap kendaraan pelat B sudah saya siapkan. Begitu ada yang ugal-ugalan, tanpa menanyakan KTP-nya, akan saya marahi di tempat.
Namun, sesampainya di sana, apa yang terjadi di luar bayangan saya: Jalan-jalan sepi, tak banyak orang berlalu lalang. Tak ada sampah-sampah berserakan. Langit begitu indah, penuh bintang. Dan kucing-kucing berlarian-berkejaran.
Rasanya, malam ini hanyalah malam biasa yang bukan malam tahun baru. Tanpa perayaan, tanpa kembang api.
Hingga suara tepuk tangan membuat saya terbangun, mendapati Abdul dan Awa yang baru turun, bersamaan dengan titik-titik keringat di sekujur badan saya.***