Membaca buku antologi puisi Kavaleri Malam Hari seperti kembali mendapatkan ‘tongkat’ yang membimbing langkah kaki dalam menapaki sebuah perjalanan terjal yang berat. Hidup yang semakin samar dan kabur, seperti diselimuti kabut asap atau debu yang menyesakkan. Tidak jelas arah dan tujuan, sebab kegelapan mulai datang atau bahkan cahaya-cahaya gemerlap menyilaukan pandangan. “Tongkat” adalah analogi sederhana yang digunakan untuk membantu memberikan topangan dan pegangan bagi tubuh dalam menjelajahi jalan terjal. Seolah perjalanan tidak lekas berakhir, sementara fisik dan tenaga semakin terkuras oleh letih. Saya membayangkan bahwa kondisi semacam ini menjadi sebuah problem yang dihadapi oleh manusia modern. Realitas yang mencengangkan, perubahan yang cepat, fenomena-fenomena asing dan aneh, dimana segala hal pada akhirnya harus diputuskan. Apakah harus bertahan dalam ketidakpastian atau menyerah dalam ketidakberdayaan?

Modernitas yang menggebu dan membelenggu diibaratkan sebagai mesin yang bekerja secara mekanis dalam logikanya yang kaku. Melalui kecemasan-kecemasan yang asing tersebut realitas diterima dan selanjutnya dipaparkan sebagai suatu siklus kehidupan. Entah bagaimana awalnya, modernitas yang mulanya menjanjikan kebangkitan dan kebahagiaan bagi umat manusia, ternyata bergerak melampaui harapan. Ia menjadi liar dan bergerak di luar kendali logika. Rakus dan membabi-buta menggempur sekat-sekat kemanusiaan. Jika bisa dibayangkan, modernitas adalah sesosok mutan yang kuat, liar, tidak terkendali, dan brutal. Pada dirinya melekat harapan dari masa lalu tentang kekuatan dan absolutisme manusia, sekaligus juga ketakutan dan kecemasan akan inferioritas hidup yang fana. Keduanya bergerak menuju masa depan yang utopis, tanpa pernah terduga bagaimana akhir dari perjalanan tersebut.

Pada akhirnya, manusia membutuhkan yang di luar dirinya untuk mencapai keutuhan. Penyatuan yang terus-menerus harus dicari dan diyakini sebagai sesuatu yang lebih besar daripada manusia itu sendiri. Hidup semakin sunyi oleh hiruk-pikuk kefanaan, sedangkan manusia terisolasi dalam ruang kebertubuhannya. Nasib dan takdirnya adalah berjalan melampaui lingkaran waktu yang sudah dipilih dan memilihnya sebagai satu bagian dari siklus dunia. Peristiwa tersebut secara empirik dialami oleh manusia sebagai wujud bahwa mereka ada, secara ontologis. Lantas dari apa yang ada tersebut, apakah kontribusi manusia di dunia? Pertanyaan ini tentu saja bisa ditafsirkan memiliki bermacam-macam kemungkinan jawaban. Merujuk pada buku Kavaleri Malam Hari, manusia memiliki tanggung jawab mengada dengan yang ilahiah (spiritual) dan dengan makhluk lain di muka bumi (sosial). Melalui karya sastra (puisi) manusia mengejawantah dalam memandang dunia dan hubungannya dengan Pencipta. Spiritualitas masih menjadi satu keyakinan dan harapan bagi keberlangsungan kemanusiaan. Dalam artian bahwa spiritualitas include bersama proses mengadanya manusia di dunia. Keberadaannya menjadi cukup penting di era modern karena menopang kemanusiaan. Barangkali inilah sisa-sisa yang masih bisa diselamatkan dari perkembangan modernitas dan hubungannya dengan manusia.

Fenomena di atas menjadi wacana yang menarik untuk dibicarakan. Dalam artian bahwa manusia dan kemanusiaan adalah sebuah proses yang terus-menerus harus dialami manusia untuk menuju kepada kehidupan yang ideal. Sementara itu untuk mencapai yang ideal dalam kemanusiaan tidak semata-mata hanya berbasis kepada yang empirik, rasional, dan material, akan tetapi juga melibatkan yang spiritual. Kepaduan ini menjalin semacam sintesis bahwa kesemestaan dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan merupakan keniscayaan. Dualisme yang hadir bersamaan membentuk relasi, sebagai misal tubuh-roh, material-spiritual, lahir-batin, dunia-akherat, dan seterusnya.

Lantas, dimana kekuatan puisi dalam relevansinya dengan yang spiritual dan yang sosial? Dalam era modern, keyakinan diibaratkan sebagai ‘tongkat’ pegangan sebagaimana disinggung di atas tadi. Barangkali pergeseran hidup ke arah yang material telah menghalusinasi kehidupan, sehingga yang spiritual semakin ditinggalkan. Spirit tersebut masih hidup dan menjadi kekuatan ‘tersembunyi’ yang selama ini kadang tidak disadari manusia modern. Melalui dimensi tersebut, apa yang kurang sebagai celah manusia, bisa dipenuhi. Demikian halnya dengan puisi. Puisi bukan hanya bunyi kata-kata yang indah dan ritmis belaka, akan tetapi ia merupakan manifestasi dari hidup yang diperjuangkan secara total. Ia masih mampu menyihir dan bekerja untuk menggerakkan hidup yang apatis, skeptis, kaku, dan kering.  Kata-kata memiliki jiwa yang dalam. Jiwa zaman yang terus-menerus bergaung melampaui tembok-tembok waktu. Ia terus bekerja setelah dilepas oleh penyair ke dunia.

Implementasinya adalah puisi akan terus dibaca karena memberikan jawaban dan juga menawarkan semacam negosiasi terhadap realitas zaman sehingga hadir secara kontemplatif. Melalui yang kontemplatif inilah kemanusiaan bisa dijaga dan terus-menerus diyakini sebagai bagian dari manifestasi yang ilahiah. Bagi pembaca sendiri, tentunya penghayatan yang dalam terhadap aspek spiritual dan sosial tidak semata-mata hanya pesan dan informasi, akan tetapi turut serta mengembangkan dan memperluas keyakinan terhadap kemanusiaan yang hakiki.

Lebih jauh, apabila hal tersebut dihubungkan dengan kondisi Indonesia dewasa ini maka kemanusiaan menjadi satu aspek poros yang tidak bisa dinafikan. Kavaleri Malam Hari hendak membingkai dua wilayah yang komplemen, yaitu spiritual dan sosial. Kontribusinya jelas dalam merefleksikan kembali posisi keyakinan, agama, religiusitas, dan spiritualitas tersebut mengejawantah dalam kesatuan dengan kemanusiaan, hak-hak, kebebasan, dan demokrasi dalam seluruh segi kehidupan. Tantangan terbesar kemanusiaan dalam kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara adalah intoleransi. Kavaleri Malam Hari menyumbang secuil bagian yang cukup berharga jika dilihat dalam hubungannya dengan 72 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. (Barangkali) Puisi  menjadi sepercik cahaya yang menautkan semesta Indonesia menuju kedamaian dan kesejahteraan.

Jambi, Agustus 2017

 

 

Dwi Rahariyoso, lahir di Ponorogo, Jawa Timur,

Alumni Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS UNY, saat ini tinggal di Jambi.

*(Tulisan ini pernah dipublikasikan di kolom Budaya, Koran Merapi, Jumat Pahing, 25 Agustus 2017)

Tuliskan komentar