“Setelah membaca kisah Olenka, terus terang aku kesengsem sekali sama dia. Ingin sekali aku menjadi dirinya.”
Mendengar Olenka tentu pikiran kita akan tertuju pada novel karya mendiang Budi Darma. Konon, novel pertama Budi Darma tersebut hanya ditulis selama tiga minggu, yaitu saat dirinya menempuh pendidikan di Kota Bloomington, Amerika Serikat. Dirinya mengaku tak pernah merencanakan untuk menulis novel tersebut. Meskipun begitu, banyak kritikus yang menganggap Olenka telah membawa corak baru dalam sastra Indonesia.
Olenka memang hadir dalam bentuk yang baru, segar, dan ringan untuk era itu. Tak ayal banyak orang kesengsem dengan novel ini. Tak terkecuali Ain, tokoh fiktif dalam cerpen “Ingin Jadi Olenka”, karya Aprinus Salam yang terbit di Jawa Pos, Sabtu, 19 Februari 2024. Olenka di cerpen ini menjadi sosok panutan sekaligus penentu laku tokoh utama. Kekaguman Ain membuatnya kesurupan Olenka. Bahkan sekadar untuk memilih minuman dia harus berdebat dengan dirinya sendiri. Ain mempermasalahkan sebenarnya kopi ini keinginan siapa.
Bosan di mal, aku menyelinap ke kafe kopi. Seingatku, Olenka suka kopi. Apa aku ingat karena sama-sama suka kopi, rasanya gak. Kalau gitu, ini keinginan Olenka atau keinginanku. Aku mantapkan ini maunya Olenka.
“Ingin Jadi Olenka”merupakan teks transformasi dari teks sebelumnya. Praktik itu adalah hal yang lumrah dalam karya sastra. Misalnya, cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Ajidarma yang merupakan transformasi dari puisi “Kampung” karya Subagio Sastrowardoyo. Praktik ini biasa disebut intertekstualitas. Julia Kristeva, kritikus sastra berdarah Bulgaria, mengemukakan bahwa tiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan (transformasi) dari teks-teks lain. Menurutnya, teks tidak dapat dipisahkan dari konteks budaya dan sosial. Khususnya saat teks tersebut ditulis.
Interteks yang disebut secara gamblang dalam “Ingin Jadi Olenka”menjadi semacam deklarasi pengarang bahwa pembacaan cerpen ini tidak akan sempurna tanpa membaca teks hipogramnya (baca: teks yang mendahuluinya). Cerpen dan novel tersebut seakan-akan berdialog untuk menghidupkan Olenka yang telah mati. Dialog kedua karya tersebut menghasilkan gambaran bagaimana Olenka di-persepsikan bahkan dipertanyakan tokoh utama.
Secara keseluruhan, kedua karya ini mengangkat soal perwujudan manusia kelas menengah di zaman modern. Ain sang tokoh utama dalam “Ingin Jadi Olenka”terwujud sebagai sosok yang amat mendambakan kehidupan Olenka. Menurutnya, Olenka adalah bentuk kebebasan. Kesamaan tema menjadi hal yang paling menonjol antara novel Budi Darma dan cerpen Aprinus Salam. Dalam kajian intertekstual, terdapat beberapa model transposisi. Adapun kesamaan tema, pemikiran, dan bentuk teks disebut sebagai model paralel. Aprinus terlihat ingin mengekspos model tersebut di cerpen ini.
Tak hanya terbatas pada kesamaan tema yang tampak pada cerpen ini. Pembaca Olenka pasti menyadari, gaya bahasa dan penceritaan yang digunakan Aprinus dalam cerpen ini cenderung memiliki kesamaan. Misalnya, saat si tokoh melihat pertengkaran sepasang kekasih di pinggir jalan. Ain berpikir liar menanggapi peristiwa tersebut.
Aku tertawa geli. Bagaimana Olenka berpikir dan menganalisis kejadian itu. Banyak pengarang genit dan absurd akan membawa cerita seolah dunia mau runtuh dengan kejadian seperti itu. Cemburu memang mengerikan. Cemburu itu membuat gelap mata dengan pisau tajam di tangan. Maka, akan ada yang membawa cerita akan terjadi pembunuhan. Darah bercecer. Kuping terpotong. Bibir tersayat. Setelah pembunuhan, tubuhnya dicacah-cacah dimasukkan ke dalam plastik. Gak lah. Hidup tidak seperti itu amat. Kesannya cerita yang asyik karena serem dan mengejutkan. Ah, tidak juga. Seolah hidup ini parah banget. Padahal, enggak juga. Biasa-biasa aja.
Adegan itu masih berlanjut dengan kelakar yang cenderung eksentrik dan erotis.
Olenka bukan sosok genit dan absurd. Dia tidak akan membawa pikirannya seperti itu. Olenka akan berpikir bahwa hari itu si wanita cuma berahi dan tidak mendapatkan pelepasan. Hari ini kebetulan si laki-laki agak sibuk sehingga lupa meniduri kekasihnya. Itu nanti, kalau sepasang kekasih itu sampai ke kamar mereka, mereka kelonan, dan masalah selesai. Besok kalau berahi dan belum kelonan, akan terjadi pertengkaran lagi. Eh, apa itu cara berpikir Olenka? Jangan-jangan itu masih aku. Aku merasa Olenka bukan sosok aliran berahional. Aduh. Bagaimana Olenka melihat dan menjelaskan kasus itu. Aku ingin sekali seperti Olenka.
Gaya berceritanya mengalir, eksentrik, dan cenderung erotis adalah usaha pengarang untuk meniru gaya Budi Darma. Budi Darma banyak memasukkan hal-hal eksentrik dalam Olenka. Misalnya, saat Fanton Drummond berhasrat merebut Olenka dari Wayne pada bagian satu novel tersebut.
Akan tetapi, terus terang saya ingin merampok istrinya. Saya ingin berkata kepada Wayne, “Hai, pengarang Wayne Danton, dengarlah apa yang akan saya katakan. Saya ingin pada suatu ketika melihat istri sampean memakai dandanan India. Kemudian saya ingin pada suatu hari melihat istri sampean memakai dandanan Parsi seperti dalam cerita seribu satu malam. Saya juga ingin pada suatu saat nanti melihat istri sampean memakai dandanan koboi. Sehabis itu saya ingin melihat istri sampean memakai dandanan tarzan betina. Dan jangan lupa, saya juga ingin melihat istri sampean mengenakan dandanan Cleopatra. Sehabis itu saya ingin melihat istri sampean mengenakan pakaian renang. Dan terakhir saya ingin melihat istri sampean telanjang bulat. Itulah keinginan saya, hai pengarang Wayne Danton.”
Dari ketiga cuplikan cerpen tersebut terlihat sekali Aprinus sedang berusaha mengadopsi gaya Budi Darma. Gaya bercerita yang mengalir dan cenderung seperti orang yang sedang ngomyang alias meracau. Penggunaan teknik kolase bahasa ibu ala Budi Darma juga tak ketinggalan dimasukkan. Teknik ini adalah model pencampuran bahasa menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa ibu.
Kata-kata seperti sampean, ijo royo-royo, ewes-ewes, dan kelonan sudah barang tentu bukan bagian dari bahasa Indonesia, melainkan bahasa Jawa. Namun, kata-kata tersebut digunakan dalam dua karya sastra ini. Hanya, dalam Olenka hal ini menjadi lebih menarik. Bagaimana bisa orang yang seratus persen Amrik menggunakan kata-kata tersebut? Sementara itu, dalam cerpen, sang tokoh memang pada dasarnya wong jowo.
Coba perhatikan sekali lagi penggalan Olenka di atas! Terlihat Budi Darma menggunakan kalimat yang berpola. Sosok pionir kolase sastra tersebut menggunakan diksi “dandanan” secara berulang. Namun, di akhir, ia menutup dengan punchline “telanjang bulat”. Jika Aprinus Salam ingin jadi Budi Darma, mungkin gaya ini lupa untuk ia masukkan.
Aprinus tidak hanya menggunakan satu model transposisi di “Ingin Jadi Olenka”. Olenka yang digambarkan Aprinus lewat angan Ain adalah sosok yang acuh tak acuh. Persetan dengan yang dilakukan orang lain. Malahan, kehidupan seperti itulah yang diangankan si tokoh utama. Kehidupan yang terasing. Hal itu berbanding terbalik dengan karakter tokoh utama. Aprinus menghadirkan Ain sebagai sosok yang populer.
Ain tampaknya bukan pembaca yang baik. Tokoh utama “Ingin jadi Olenka” memahami Olenka hanya pada permukaannya. Dirinya tak mampu memahami makna filosofis dari Olenka yang sesungguhnya. Budi Darma menggambarkan Olenka sebagai sosok misterius yang seolah-olah memiliki dunianya sendiri. Bahkan kekasihnya sendiri, Fanton Drummond, beranggapan demikian. Jadi, wajar saja bila Ain tak dapat menangkap maksud tersebut. Hanya pembaca tangkas lagi trengginas yang mampu menangkapnya.
Olenka seharusnya dipahami tidak sebatas pada sosok yang terasing dan teralienasi, tetapi juga cerminan keterasingan manusia pada masyarakat modern yang penuh pergolakan batin. Olenka adalah representasi dari krisis identitas yang mendalam ketika seseorang merasa terputus dari lingkungan sosialnya dan dari dirinya sendiri. Selain itu, Olenka juga penghamba kebebasan.
Akan tetapi, Ain mengubah Olenka menjadi sosok yang ideal dan layak diidolakan. Tokoh utama dalam “Ingin Jadi Olenka”ini dalam bayangan saya adalah gen-z berumur dua puluh dua tahun yang baru saja lulus kuliah dan sedang menganggur. Ain sedang berada pada fase remaja akhir menurut Santrock. Menurut Erik Erikson, remaja akhir memiliki tugas untuk memecahkan krisis identitas dan kebingungan identitas. Dengan kata lain, menemukan identitas diri.
Penjelmaan Olenka sebagai sosok idola, sebagaimana yang dilakukan Aprinus dalam cerpennya, merupakan bentuk model transformasi. Hal ini merupakan usaha kesekian yang dilakukan Aprinus untuk mentransformasi novel Budi Darma. Alih-alih tokoh utama mempertahankan identitasnya, Aprinus justru menggambarkannya sebagai sosok yang mencoba menjadi terasing.
Aprinus secara sengaja menampakkan tokoh utama yang tertarik pada citra luar dari keterasingan Olenka. Ain tak sadar bahwa keterasingan Olenka bersifat alamiah. Tokoh utama ini secara psikologis sedang berada pada fase remaja akhir yang cenderung mengalami kebingungan identitas. Ketertarikan Ain terhadap Olenka menjadi salah satu bukti kebingungan itu.
Olenka menjadi sosok yang amat digandrungi Ain dalam cerpen. Bahkan, hampir tiap paragraf tak pernah luput menyebut Olenka. Namun, apakah Olenka yang kerap disebut Ain adalah sosok yang sama dengan yang diceritakan Budi Darma? Entahlah. Hanya, salah satu tujuan intertekstualitas adalah untuk menciptakan makna baru.
Pengidolaan Ain atas Olenka merupakan sebuah kritik sosial terselubung yang sepertinya ingin disampaikan pengarang. Pengidolaan terhadap Olenka yang dianggap sebagai bentuk kebebasan individu merupakan sebuah indikasi bahwa Ain sendirilah yang sebenarnya terasing. “Ingin Jadi Olenka”tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial dan budaya saat ditulis. Cerpen ini terbit di tengah masyarakat modern sebagai sastra koran. Di masa itu, kapitalisme dan juga pasar bebas menjadi mazhab ekonomi yang paling banyak dianut. Secara tidak langsung konsep kapitalisme juga memengaruhi sosial budaya. Misalnya, terkait kecantikan, masyarakat modern sering kali menstandardisasi kecantikan berdasarkan iklan yang kerap tampil.
Ain pun merasakan hal itu. Ain sebagai fresh graduate yang masih menganggur dan sedang mencari jati diri merasa mendapatkan banyak tekanan sosial. Sebagai sosok yang populer, mungkin dirinya merasa lelah harus memenuhi ekspektasi orang lain. Kehidupan Olenka yang berlawanan menjadikannya tampak bebas. Ain menganggap Olenka adalah simbol kebebasan.
Masyarakat modern tanpa disadari telah banyak terpengaruh oleh kapitalisme. Karl Marx sendiri mengambinghitamkan kapitalisme sebagai salah satu penyebab manusia menjadi terasing dan teralienasi. Pengindustrian budaya telah mengalihkan perhatian massa. Masyarakat banyak kini mengerahkan seluruh perhatiannya pada budaya yang dimunculkan di layar dan membuat segalanya terstandardisasi akan apa yang sedang tren. Ain termasuk salah satu korbannya. Alih-alih menjadi tetap populer, Ain justru mencoba mengadopsi hidup Olenka. Namun, gagal total.
Di akhir cerpen muncul scene yang aneh. Tiba-tiba, setelah tertidur, Ain bangun dalam kesadaran Olenka. Akhirnya tokoh utama Aprinus ini benar-benar kesurupan hantu Olenka. Sampai akhir cerita pun tidak dijelaskan apa yang terjadi. Dugaan saya, Ain sedang dihantui almarhumah Olenka dalam mimpinya. Mungkin saja Olenka marah karena disalahtafsirkan atau mungkin Ain hanya dihantui oleh keinginan terpendamnya. Menurut Sigmund Freud, mimpi adalah jalan menuju alam bawah sadar manusia yang berisi motivasi dan keinginan yang terpendam.
Freud menafsirkan mimpi sebagai upaya pemenuhan keinginan. Keinginan tersebut biasanya berasal dari pikiran dan perasaan yang sangat mengganggu karena sulit terwujud sehingga ditekan oleh pikiran sadar. Selaras dengan apa yang terjadi pada Ain. Setelah seharian berusaha menjadi Olenka tapi gagal, akhirnya dia betul-betul menjadi Olenka dalam mimpinya.
Cerpen “Ingin jadi Olenka”karya Aprinus Salam bisa Anda baca di Jawa Pos. Cerpen yang kurang lebih berjumlah 1500 kata ini masuk dalam kategori sastra koran. Sastra koran sangat terbatas, bukan karena represi, melainkan ruangnya. Koran tentu tidak banyak memberikan ruang dan keleluasaan. Keterbatasan ruang menjadikan beberapa pilihan Aprinus dalam mengeksekusi cerpen terasa kurang tepat.
Bentuk intertekstualitas yang dihadirkan oleh Aprinus Salam terlihat sangat menarik. Tema dan gaya Budi Darma coba dihadirkannya dalam cerpen ini. Tak ketinggalan, tokoh fiktif yang diciptakan Budi Darma pun turut diadopsi dan dijelmakan sebagai idola sekaligus “hantu”. Penjelmaan Olenka dalam cerpen ini sukses menjadi kritik sosial yang tepat sasaran. Begitu pula dengan pemilihan temanya.
Namun, sangat disayangkan kedua hal ini menjadi tidak tampak karena usaha Aprinus untuk meniru gaya Budi Darma. Ain, tokoh utama “Ingin jadi Olenka”, justru terlihat seperti Fanton Drummond alih-alih tokoh baru yang Aprinus ciptakan. Pilihan untuk ke-budibudidarma-an adalah pilihan yang kurang tepat. Gaya bercerita narator Olenka yang mengalir seperti orang sedang meracau itu tidak cocok untuk cerpen koran yang terbatas jumlah halaman.
Saya kemudian menduga-duga. Mengapa Aprinus menulis cerpen ini? Apa yang terjadi? Apakah Aprinus habis membaca Olenka dan ingin menghidupkannya lagi dalam karya? Atau Aprinus sedang ingin jadi Budi Darma? Ah, sudahlah, itu urusan dia.***