Banyak sarjana baik dari Barat maupun dunia Islam yang menuduh al-Ghazali sebagai sosok yang paling bertanggungjawab bagi kemunduran peradaban Islam. Sasaran tembak mereka secara umum menyasar tiga isu, klasifikasi ilmu ala al-Ghazali yang menempatkan ilmu agama di kasta tertinggi sehingga ilmu-ilmu lain akhirnya dianggap kurang penting, serangannya yang mematikan terhadap filsafat dan ilmu-ilmu rasional lainnya, dan dukungannya terhadap sistem kekuasaan absolut raja-raja.
Bagi mereka yang terpelajar dan hidup di pusat-pusat peradaban masa kini, tuduhan-tuduhan di atas sampai batas tertentu diterima, bertolak dari tesis-tesis di atas ditambah dengan pengalaman nyata mereka akan keterbelakangan umat Islam hari ini di banyak bidang kehidupan. Sikap mereka ini tampaknya didukung oleh setidaknya dua hal: 1) posisi sosial mereka yang relatif berdaya, sehingga 2) memungkinkan mereka mengembangkan suatu aspirasi yang khas tentang kebangkitan umat Islam.
Namun, bagaimana dengan kelompok muslim lainnya yang secara sosiologis tidak “seberuntung” mereka, dan yang secara psikologis terancam karena “kalah” dalam pertarungan hidup? Bagi kelompok kedua ini, al-Ghazali adalah “nabi”, sang pemberi “suaka ruhani”.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Juga Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]
Pikiran-pikiran al-Ghazali yang secara umum berciri instruksional sangat cocok dengan kelompok kedua ini, mampu melahirkan ekspresi keberagamaan yang khas: kombinasi antara kesalehan di level syar’i dan rasa aman di level batini, dan juga pengharapan yang mantap tentang kemuliaan kehidupan pasca-dunia yang lebih hakiki. Wajar bila kemudian mereka kurang mengenal sisi lain al-Ghazali sebagai pemikir dan pembaharu, bahkan seorang rasionalis yang tajam. Bagi mereka al-Ghazali adalah “pembimbing Ruhani” untuk melewati dunia fana ini menuju kehidupan abadi kelak. Dari alam “daging dan darah” yang kotor ini menuju alam ruh yang suci.
Karena sikap keagamaan mereka yang seperti itu, pihak luar yang kurang paham dengan pergulatan hidup mereka dengan enteng sering menuduh mereka terbelakang, jumud, dan fanatik.
Uniknya, sebagian dari kelompok pertama, di kemudian hari, diam-diam menggeser orientasi mereka dan berbondong-bondong merapat kepada al-Ghazali, dari yang sebelumnya menuduh al-Ghazali sebagai “biang kemunduran” kemudian memujanya sebagai “penebus kesengsaraan”. Ternyata, hidup di mana saja sekarang risikonya sama, sama-sama jauh dari rasa aman dan kepastian.
Dikutip dari status Facebook Afthonul Afif