Menu

Ilusi Jarak (Untukmu Yang Sedang Berusaha Melepas) | Memoar Naila Aulia

Hai, malam…

Izinkan sedihku melebur bersama gelapnya parasmu, agar tiada mata melihat betapa buruknya aku dalam wujud sedih ini. Aku mau menawarkan sebuah kisah sendu padamu. Barangkali kau berminat untuk menghapuskan naskah ini dari takdir semesta. 

Belakangan ini aku sedang berjuang membangun sebuah tembok guna memenjarakan hatiku darinya, sosok yang sering kuberi julukan Esok. Sedangkan diri ini kuberi julukan Senja. Nama itu bukan sembarangan hasil pungutanku dari Google, atau barangkali kalian berpikir nama itu copy paste dari tokoh novel Tereliye, sungguh bukan. Ya, mungkin dari segi makna saja kelihatannya sama, tapi tidak dengan filosofi di dalamnya. Ya, inilah kami, esok dan senja. Dua insan yang terasa dekat, tapi tak pernah bisa melangkah bersama. Lihat saja bagaimana gigihnya esok mengarungi dua belas jam yang dirajah terik matahari demi menggenggam damainya senja, tapi sakit, karena senja tak pernah mau menoleh barang sedikit ke belakang.

Esok, sosok pemuda dengan sejuta pesona. Manusia paling lancang yang berani mencuri hatiku hanya dalam hitungan detik saja. Aku mencintainya setengah mati hanya karena lantunan surah Ar-Rahman yang mengalun merdu dari bibirnya. Aku menyebut namanya lebih banyak dari namaku sendiri dalam sujud panjangku. Aku mengharapkannya lebih dari aku mengharapkan kebahagiaanku sendiri. 

Aku memperjuangkannya di balik diamku, berharap supaya kisah ini berakhir seperti cinta Ali dan Fatimah. Aku berjuang dalam diamku, aku tak mengutarakannya, biarlah ia menyadari sendiri kualitasku lalu merengkuhku dalam dunianya. Aku memang tidak secerdas Esok, maka aku berusaha mencerdaskan pikir ini. Aku memang tak sepopuler Esok, maka aku memaksakan diri untuk keluar dari karakter pemaluku menjadi pribadi lebih terbuka. Harapanku satu, agar suatu saat jika kamu tahu mengenai rasaku, kamu tidak malu. Aku  harap jika suatu saat Esok tahu rasaku, ia akan berucap, “Beruntungnya aku.”

Satu tahun pun berlalu, kini genap satu tahun aku mencintainya. Aku nyaman saja dengan proses ini, toh berkat adanya Esok, adrenalinku untuk mengeksplorasi diri  semakin menanjak. Nama Esok pun silih berganti dijodoh-jodohkan dengan beberapa nama. Tapi, aku tidak peduli, toh janur kuning belum melengkung. Aku dengan keras kepala menampik semua kemungkinan atas adanya sosok spesial di hatinya. Padahal, jelas-jelas Esok memang menyukai perempuan itu. Pada akhirnya ketika mataku sudah mulai terbuka, hanya rasa nyeri yang teramat nyata dilubuk hatiku. 

Hai, Malam…

Dengar. Apakah aku benar-benar sangat kurang sempurna untuk Esok sehingga sedikit saja ia tidak mau melihatku? Mungkin benar, aku saja yang kurang sadar diri. Seharusnya sejak awal aku tidak bermimpi untuk melangkah bersama Esok. Harusnya aku sadar bahwa senja memang hanya mau melangkah menuju malam, mana mungkin ia mau berbalik menggenggam esok. 

Tapi kuakui bahwa esokku memang bijak. Ketika ia tau aku menyukainya sedangkan ia tidak, ia malah membuat jarak yang semakin besar denganku. Jarak kedekatan kami yang sedari awal memang jauh, pun kini semakin jauh. Begitu khawatirnya ia jika rasaku padanya semakin besar sehingga ia harus menghindar. Terima kasih sekali lagi untuk Esok. Ia telah berhasil membuatku merasa menjadi sosok paling tidak pantas untuk dicintai. 

Sudahlah, mungkin memang kamu bukanlah dermaga yang tuhan rencanakan untukku. Aku pamit. Tetaplah begini, menjaga jarak denganku. Supaya aku semakin terbiasa dengan istilah ‘disia-siakan.’ Selamat! Kamu berhasil mematahkan cintaku. 

Tags:
No Responses

Tuliskan komentar