Sudah sejak di dalam penjara Bukitduri aku terpengaruh oleh kata-kata beberapa orang yang kuanggap pandai, bahwa politik adalah kotor. Aku hanya akan mengabdi pada kemanusiaan sesuai dengan deru humanisme yang waktu itu berkumandang dalam tulisan angkatan-angkatan muda yang berkampung di Jakarta dalam pendudukan Belanda. Kemanusiaan adalah indah dan suci, bersih dan jernih. Aku memilih ini daripada kekotoran. (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu 2, 1997: 182)
USAI membaca cerpen Pramoedya, “Dia Yang Menyerah”, yang dibingkai dalam peristiwa sejarah beruntun, aku mendapati dunia batin si gadis dalam cerpen itu begitu nyaring. Serupa panggung buat satu orang dengan sikap pesimistis dalam menjalani hidup. Hadirnya tokoh si gadis yang individualis plus pesimistis mengajakku menimbang kembali realisme sosialis Pramoedya.
Aku seketika teringat pada Minke dan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia, pada Kartini, pada Samin dalam Arus Balik, pun pada Hardo dalam Perburuan. Tokoh-tokoh itu masing-masing adalah individu yang berjuang menemukan makna dalam kehidupan pribadi mereka. Adalah individu yang jadi agen perubahan dalam sejarah. Mereka bukanlah pion yang pasif, melainkan aktor yang punya kekuatan untuk memilih, bertindak, mengubah jalan, dan mencipta peristiwa.
Mendapati kesan eksistensialis pada tokoh-tokoh yang kuingat, kuulangi pembacaanku terhadap tokoh si gadis bernama Sri dalam cerpen “Dia yang Menyerah”, gadis yang hidup dalam sebuah keluarga pada masa pendaratan Jepang di pantai Utara Jawa sampai kemerdekaan yang definitif pada awal 1950. Badai kesengsaraan sosio-ekonomi, kemerosotan moral manusia, dan kemiskinan mencoba memorak-porandakan kehidupan keluarga itu.
Narator serba tahu dalam cerpen itu secara halus telah membimbingku menelusuri kisah sejarah delapan tahun; menelusuri lorong perasaan Sri yang digelapkan oleh situasi penjajahan dan peperangan beruntun. Kata ganti persona majemuk ‘kami’ yang kerap dikenakan narator di sana sini seolah menunjukkan kedekatan emosi dan keterikatan sosial. Pembacaanku dalam telaah A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer mengenai cerpen itu, menambah kepahamanku tentang maksud sang narator. Di satu sisi, penyebutan ‘kami’ memosisikanku sebagai pembaca yang berjarak dengan narator dan tokoh-tokoh di dalam cerita. Namun, di sisi lain, kata ganti ‘kami’ berfungsi menonjolkan suatu kelas daripada individu. Aku sebagai pembaca begitu merasai narator menonjolkan kedalaman pengamatannya pada tokoh si gadis dan dunia batinnya yang sangat pribadi.
Dia yang Individualis
Selain mencipta jarak, narator yang serba tahu itu tampak menyampaikan kritik sosialnya secara tersirat. Narator telah memotret kehidupan pribadi individu dengan menunjukkan bagaimana struktur sosial telah memengaruhi kehidupan sehari-hari dan pilihan individu. Keterbatasan, kegagalan, juga keputusasaan si gadis sering kali digambarkan bukan sebagai hasil kesalahan moral pribadi, melainkan tercipta dari suatu kondisi penjajahan dan peperangan beruntun. Aku cukup menangkap, narator serba tahu itu memang memiliki posisi menarik. Ia bertindak sebagai pengamat yang tak terlibat. Di lain sisi, ia secara halus mengungkap kehidupan si gadis yang diatur dan dibatasi oleh adat serta norma sosial.
Posisi Sri sebagai seorang adik yang umurnya berada di bawah Is, dipaksa untuk mengalah dan mengundurkan diri dari bangku sekolah lantaran Is telah diangkat menjadi juru ketik di kantor pemerintah. Apabila terjadi pertentangan antara kakak dan adik, sang adik haruslah mengalah. Kebiasaan yang telah mengakar di keluarga tersebut menjadikan Sri harus mengalah dan mengorbankan hak serta cita-citanya demi mengurus rumah tangga, menggantikan posisi ibunya yang telah tiada.
Sepanjang cerita, aku mendapati narator memberi kesempatan Sri untuk bersuara, bercerita seusai dirinya dipaksa bergabung bersama pasukan Merah untuk melawan pasukan Siliwangi. Sri mengungkapkan perasaan dan pengalamannya selama menjadi bagian dari pasukan Merah. Sebagai pembaca, narator mengajakku mengakui pengorbanan dan ketegaran Sri. Tokoh Sri diberi kebebasan untuk bicara langsung pada pembaca mengenai pengalamannya di masa lalu, suatu penyisipan cerita di dalam cerita. Gennette menyebutnya “intradiegetic”.
Aku pun mendengar suara Is, kakak Sri yang pada mulanya diangkat menjadi juru ketik lantas bergabung dengan pasukan Merah. Bergabungnya Is dengan pasukan Merah dan keikutsertaannya melawan tentara republik menjadi warna tersendiri di dalam cerpen itu. Melalui tokoh Is, narator menampilkan kegarangan sekaligus kekejaman kaum sosialis (Pesindo). Di situlah, Pram turut melontarkan kritiknya terhadap kaum sosialis.
Is yang terlampau kuat memegang ideologinya harus berhadapan dengan suara adik-adiknya yang merasai kesengsaraan akibat kondisi keluarga yang semakin kacau tanpa kehadiran orang dewasa di rumah mereka. Alih-alih mengalah dan memahami kondisi keluarganya yang berada dalam kesukaran, Is justru memaksa salah satu adiknya untuk turut bergabung ke pasukan Merah dan meninggalkan rumah mereka. Jargon-jargon sosialis melalui ucapan Is makin terasa menusuk ke dalam batin adik-adiknya.
Perdebatan yang terjadi di tengah cerita itu terasa sebagai konflik ideologis dan moral antartokoh. Aku mendapati narator menonjolkan sisi galak sosialis melalui sosok Is yang dihadapkan pada kenyataan bahwa adik-adiknya (Sri, Diah, Hutomo, Kariadi) berlawanan paham dengannya. Namun, dalam kepolosan adik-adiknya itu, terdapat perasaan yang justru lebih tajam dan lebih peka terhadap keadaan.
Istilah “Dia” dalam judul cerpen itu pun menambah rasa curigaku. Penggunaan “Dia” bagiku menandakan kehadiran sosok sentral yang menjadi fokus cerita. “Dia” jadi penunjuk yang mengarahkan perhatianku pada satu tokoh itu, si gadis bernama Sri. Istilah “Dia” terkesan fokus pada satu sosok yang berjuang atau menyerah dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, “Dia” mewakili perjuangan pribadi dalam menghadapi masalah-masalah sosial atau keberadaan individu, sesuatu yang lazim ditemukan dalam karya-karya yang mengusung realisme Barat, realisme borjuis.
Pada sudut yang lain, istilah “Dia” menjadi lebih dari sekadar kata ganti untuk tokoh individu. “Dia” dapat pula berubah menjadi simbol dari perjuangan sosial, mewakili kehidupan kolektif, dan menyuarakan kepentingan kelas tertentu. “Dia” digunakan untuk merujuk pada seorang tokoh secara personal tetapi anonim, memberi kesan samar. “Dia” kerap dipakai untuk menjaga kerahasiaan atau tak mengungkap identitas tokoh, sehingga pembaca fokus pada tindakan atau emosi daripada siapa tokoh itu secara spesifik.
Dia yang Pesimistis
Potret yang lebih banyak mengarah ke individu di dalam “Dia Yang Menyerah” diperkuat dengan kemunculan nada putus asa, ketidakberdayaan, dan keterbatasan manusia. Pemilihan sikap seperti menyerah, menangis, dan mengeluh, menjadi benang muram yang ditampilkan di sana-sini. Akan tetapi, meski menonjolkan sikap pesimistis seorang individu, hal ini tampak berbeda dengan karya-karya borjuis seperti Madame Bovary misalnya.
Dalam Madame Bovary (1857) karya Gustave Flaubert, aku pun mengingat Emma Bovary sebagai wanita muda, cantik, dan memikat yang dibelenggu kebosanan dan kekecewaan setelah menikah dengan seorang dokter desa sederhana bernama Charles Bovary. Kebosanan itu muncul karena fisik sang suami yang mulai berubah dan makin sibuk dengan pasiennya. Emma pun kecewa sebab ia berharap melahirkan anak laki-laki, tapi yang lahir darinya justru seorang anak perempuan. Ia akhirnya melakukan pelarian pada perselingkuhan dan pengeluaran berlebih. Kehidupan yang tak pernah terpuaskan. Kebosanan dan kekecewaan muncul dari tokoh Emma disebabkan oleh ekspektasinya sendiri yang tak tergapai, bukan disebabkan oleh kemiskinan atau kondisi sosial.
Sebab mendapati suatu kerancuan, kubuka kembali The Rise of the Novel (1957). Watt melihat sastra realisme borjuis sebagai cerminan kehidupan sehari-hari kelas menengah yang tumbuh seiring dengan berkembangnya novel pada abad ke18. Di dalamnya, cerita berputar di sekitar individu yang hidup di dunia nyata, bukan di dunia khayal atau legenda. Pengarang-pengarang seperti Defoe dan Richardson menggambarkan tokoh-tokoh yang menjalani keseharian mereka dengan penuh detail, seolah setiap deskripsi membawa pembacanya lebih dekat pada kenyataan. Kehidupan sederhana, dengan segala perjuangan dan dilema moral, digambarkan dengan teliti. Nilai-nilai seperti kerja keras dan kebajikan berbaur dengan realitas yang rasional, menciptakan dunia fiksi yang seolah nyata.
Watt pun melihat, salah satu watak utama sastra realisme borjuis adalah fokusnya pada individualisme dan sikap yang kerap pesimistis terhadap kehidupan. Sastra ini memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh individu yang berjuang memahami tempat mereka di dunia yang kompleks dan penuh tantangan. Individu menjadi pusat dari segalanya, berusaha mencari makna dan tujuan hidup di tengah hiruk-pikuk sosial. Namun, perjalanan ini sering kali diselimuti pesimisme sebab kenyataan yang dihadapi tak selalu seindah harapan.
Ingatanku pun seketika hinggap pada karya Pram, Bukan Pasar Malam (1951), sikap pesimistis justru lahir dari dalam diri tokoh yang merasa kecewa dan kosong setelah pulang ke kampungnya. Perenungannya perihal kematian, kemiskinan dan ketidakberdayaan manusia menghadapi takdir menjadi titik pesimistis di dalam karya ini meskipun aku ingat betul, tokohnya bukan berasal dari keluarga miskin.
Dari pembacaanku terhadap Watt dan penggalian ingatan dari beberapa karya, aku pun menangkap bahwa nada pesimistis yang muncul dalam karya sastra borjuis lebih karena kehampaan, stagnasi, dan ketidakbermaknaan yang disebabkan ambisi yang tiada habisnya. Mereka lebih memprioritaskan kekayaan, status, dan penampilan dibanding kejujuran, solidaritas, dan kepedulian. Hal demikian mencipta narasi pesimistis sebab di balik segala kepemilikan material dan status, individu-individu dalam kelas borjuis kerap tak menemukan kebahagiaan sejati.
Dalam “Dia Yang Menyerah”, nada pesimistis individu bukanlah lahir sebab kehampaan atau ketidakbermaknaan, melainkan kondisi sosial yang membuatnya harus memilih untuk menyerah. Kemunculan nada pesimistis dan ketidakberdayaan dilihat sebagai hal yang diidealkan Pram. Dalam telaah A. Teeuw, konsep “menyerah” dalam budaya Jawa memiliki makna lebih mendalam daripada arti harfiahnya. Kata “menyerah” bukan berarti menyerah secara pasif dalam arti kalah atau putus asa, melainkan mengandung makna sikap berpasrah atau berserah diri secara aktif dan spiritual.
Sri yang seharusnya dapat melanjutkan belajarnya dan mendapatkan ijazah harus berhenti untuk menggantikan peran ibunya mengurus rumah tangga, sementara kakaknya Is tak mau mengalah. Adat atau kebiasaan seperti yang muda harus mengalah pada yang tua juga turut menjadi penyebab hilangnya harapan pada tokoh Sri.
Tak sampai situ, kecurigaanku pun masih betah dan kuputuskan untuk lanjut membaca Keith Foulcher. Ia menyoroti sastra realisme sosialis di Indonesia sebagai suara perjuangan bagi mereka yang terpinggirkan. Sastra tak hanya sebagai seni, tetapi sebagai alat untuk mengkritik ketidakadilan dan mendukung cita-cita kemerdekaan. Karya-karya yang lahir dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) penuh dengan cerita tentang penderitaan buruh, petani, dan rakyat biasa, yang berjuang melawan kekuasaan yang menindas.
Realisme sosialis mengajak pembaca melihat kenyataan hidup yang sulit dan memberi semangat untuk melawan. Para penulis dan seniman di Lekra percaya bahwa sastra harus berpihak pada rakyat, tak sekadar hiburan, tetapi juga penggerak perubahan. Dengan cara ini, sastra realisme sosialis menjadi bentuk perlawanan yang kuat, membangkitkan kesadaran politik dan memperjuangkan keadilan sosial.
Pram sendiri memandang sastra realisme sosialis sebagai alat perjuangan keadilan sosial dan membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap penindasan. Keberpihakan pada kaum tertindas menjadi watak utama sastra realisme sosialis, terutama rakyat kecil dan pekerja yang terpinggirkan oleh kekuasaan kolonial atau kapitalis. Ia menempatkan sejarah dan sosial politik sebagai latar dalam karya-karyanya, memadukan kisah pribadi dengan perjuangan kolektif. Optimisme revolusioner juga menjadi watak khas realisme sosialis ala Pramoedya. Tokoh-tokohnya tak hanya menerima nasib, melainkan turut melawan ketidakadilan dengan pengetahuan, solidaritas, dan keberanian. Meski kerap dihadapkan pada kesulitan hidup, mereka digambarkan sebagai agen perubahan yang percaya pada masa depan yang lebih baik, di mana keadilan dan kemanusiaan menang.
Marx dan Engels, dalam The Communist Manifesto Chapter 2, menuangkan pandangan borjuis mengenai komunisme yang mereka anggap sebagai sistem yang akan mengurangi atau menghapus kebebasan individu, terutama dalam hal ekonomi dan ekspresi pribadi. Dalam sistem kapitalis, borjuis percaya bahwa setiap individu bebas untuk mengembangkan diri, berbisnis, dan mencari keuntungan. Komunisme, dengan rencananya untuk sentralisasi ekonomi dan kontrol negara, dianggap membatasi kebebasan tersebut.
Kehidupan terkadang merangkai paradoks di antara citacita megah dan kenyataan keras. Borjuis, dengan kacamata kapitalisnya, memandang komunisme sebagai tirani yang membelenggu kebebasan, menghapus ruang individu untuk berkembang dan mencari untung. Mereka percaya bahwa kebebasan terletak pada kemampuan setiap orang untuk mengarungi lautan kompetisi, meski bagi sebagian besar, laut itu penuh badai yang menghanyutkan. Di balik jubah idealisme, komunisme dianggap menggelapkan potensi, merenggut ruang bagi yang ingin terbang bebas, dengan sentralisasi ekonomi dan kendali negara yang dianggap mencekik.
Namun, jika melangkah lebih dekat, menyusuri jejak-jejak pribadi yang terbawa arus perjuangan merah, seperti Is dan Sri, gambaran optimisme yang tegas sering kali terbelah di tengah realita. Is, yang bergabung ke pasukan Merah dengan semangat revolusi, mendapati kebebasan pribadi di tengah riuhnya barisan, sementara adiknya, Sri, terjerat oleh tugas rumah tangga yang tak kunjung usai, memupuskan hasrat belajarnya. Di antara mereka, tersirat ketimpangan yang ironis. Sistem yang menjanjikan keadilan bagi semua justru membiarkan seseorang terbang, dan yang lain tenggelam dalam kewajiban yang tak bisa ia tinggalkan. Sri, dengan berat hati, harus menyerah demi mengurus rumah, sementara Is menikmati kebebasan baru dalam pasukan merahnya.
Di situlah realita komunisme dan kritik borjuis bertemu: di ambang harapan dan pengorbanan. Apa yang dimaksud sebagai kesetaraan bisa jadi ketidakadilan baru, dan kebebasan bagi yang satu bisa jadi belenggu bagi yang lain.
Kulanjutkan penelusuranku dalam esai Katrin Bandel. Melalui esainya yang membahas disertasi Savitri Scherer berjudul Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi (2012), disebutkan tentang cerpen “Dia Yang Menyerah” sebagai karya awal Pram yang menggambarkan komunis dengan sangat negatif. Hal demikian disebabkan oleh pengetahuan Pram menyoal komunisme diperoleh melalui buku-buku yang ditulis oleh orang Barat. Mendapati hal itu, aku pun menjadi lumrah, bahwa citra negatif itu memang muncul dipengaruhi oleh proses pembacaan penulisnya sendiri yang tengah mengenal komunis melalui sudut pandang orang Barat. Namun, kesan negatif terhadap pasukan Merah tidak otomatis menunjukkan bahwa Pram berseberangan dengan realisme sosialis. Kesan negatif terhadap pasukan Merah justru menyadarkan akan hadirnya ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat, sedangkan kesadaran tentang adanya penindasan dan ketidakadilan menjadi salah satu ciri penting realisme sosialis.
Antara Realisme Sosialis dan Realisme Borjuis
Dalam perjalanan panjang Pramoedya, napas realisme borjuis barangkali berembus dengan kadar berbeda di tiap fase karyanya. Pada masa-masa awal, ia menulis perlawanan dan perjuangan bangsa dalam bayang-bayang penjajahan, di mana kelas borjuis hanya samar hadir di latar cerita. Namun, seiring waktu, terutama dalam karyanya yang matang seperti Bumi Manusia, potret borjuis mulai tampak jelas—kehidupan mereka bergulat dalam identitas sosial yang terjepit antara penjajah dan rakyat tertindas. Di fase pengasingan, ia perhalus napas itu, membaurkannya dengan semangat revolusi dan perjuangan kelas yang lebih besar, mengajak borjuis untuk bersekutu atau tergilas sejarah. Pada akhir hayatnya, realisme itu berubah menjadi riak-riak kecil di dalam aliran besar narasi sejarah, di mana Pram lebih banyak menatap pada pergolakan kolektif yang melampaui sekat-sekat kelas sosial.
Pada sudut yang lain, kubaca Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (2003). Di sana Pram mengatakan, perkembangan realisme sosialis di Indonesia dipengaruhi oleh asal sosial sastrawannya, yakni kelas borjuis. Peralihan ke pihak sosialis merupakan suatu revolusi jiwa yang menghabiskan banyak energi sebab harus menyusun kembali dunia pikiran yang telah ditanam di dalam benak sejak jabang bayi. Berbeda dengan sastrawan borjuis yang langsung menerima realitas sebagai satu-satunya kebenaran yang langsung menjadi bahan bagi daya khayalnya.
Cerpen “Dia Yang Menyerah” (1950), meski berfokus pada individu yang menghadapi tekanan dan ketidakberdayaan di tengah situasi sosial yang membelitnya, karakter dan latar ceritanya dapat dibaca sebagai potret kelas bawah yang terjebak dalam kontradiksi moral antara idealisme pribadi dan realitas sosial yang lebih keras. Cerpen ini mencerminkan ketidakberdayaan seorang individu dari kelas bawah yang menyerah, terimpit oleh keadaan yang tak mampu ia kendalikan.
Berbeda dari karya Pram lainnya yang lebih eksplisit menyoroti ketimpangan sosial dan perjuangan kelas, cerpen itu lebih mendalami pergulatan individu di tengah kebingungan moral. Semacam simbol dari individu yang mengalami kekalahan dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan. Tokoh Sri mencerminkan kegagalan pribadi dan sosial dalam menghadapi kekuasaan yang menindas, serta bagaimana sistem yang tak adil dapat mematahkan semangat perlawanan dan harapan individu.
Bagiku, penyerahan diri tokoh adalah lambang ketidakberdayaan rakyat dalam menghadapi sistem yang lebih besar dan kuat. Hal itu juga berfungsi sebagai kritik terhadap kondisi sosial-politik yang mengabaikan aspirasi dan kebutuhan kelas bawah. Pramoedya kurasa telah menghadirkan kritiknya, di mana individu, meskipun memiliki potensi untuk berjuang, akhirnya ditelan oleh keadaan yang terlalu besar untuk dilawan sendirian.
Pramoedya menggunakan tokoh yang menyerah untuk menggambarkan bahwa perjuangan kelas tak selalu menghasilkan kemenangan, terutama ketika perlawanan tak terorganisasi atau tak memiliki dukungan kolektif yang cukup kuat. Hal itu dapat pula dilihat sebagai refleksi dari masa kolonial dan perjuangan rakyat yang sering dihentikan oleh tekanan dari kekuasaan yang berpengaruh kuat.
Maka lekas kusimpulkan, arah realisme Pramoedya dalam cerpen ini condong ke realisme sosialis, di mana ia menggambarkan nasib manusia yang diimpit sistem yang timpang, melukiskan kelas tertindas yang berjuang melawan ketidakadilan. Bukan sekadar potret individual, melainkan suara kolektif yang menyerukan perubahan, mengangkat penderitaan rakyat kecil sebagai narasi yang harus didengar.
Di sini, mimpi kebebasan bukanlah milik pribadi, melainkan bagian dari perjuangan bersama. Aku menyadari betul terjadinya berbagai perdebatan tentang kategori sastra dan label yang tepat untuk karya-karya Pramoedya. Banyak kritikus dan pembaca sepakat bahwa elemen realisme sosialis sangat kuat dalam karyanya. Namun, penting untuk diingat bahwa Pramoedya juga memiliki gaya dan pendekatan yang unik, yang tak sepenuhnya terikat pada satu kategori sastra tertentu.
Di ujung tulisan ini, aku seketika teringat kalimat terakhir dari Bukan Pasar Malam (1951).
“Kemudian ia pergi. Kuantarkan ia sampai pagar. Dan dengan tiada terduga-duga malam cepat-cepat datang. Dan dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana …”***