Menu

Hidup Penuh dengan Perjuangan | Resensi Senapan Tak Berpeluru Karya Joko Gesang Santosa

Judul : Senapan Tak Berpeluru
Penulis : Joko Gesang Santoso
Penerbit : Javakarsa Media
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : Oktober 2013
Cetakan : Pertama
Jumlah Halaman : 176 Halaman

Hidup Penuh dengan Perjuangan

Oleh: Nurul Alifah Rahmawati

Joko Gesang Santoso merupakan pengamat sastra, Cerpenis sekaligus Penyair, Lulusan Sastra Indonesia UNY. Kemudian melanjutkan studi S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Dia lahir pada tanggal 7 Mei 1984 di Gunungkidul, Yogyakarta. Beberapa karya cerpen dan puisinya pernah dipublikasikan media massa dan sejumlah antologi bersama. Dia pernah mendapat beasiswa menulis novelet pada tahun 2007 dari yayasan Umar kayam Yogyakarta dengan menulis satu novelet yang berjudul Kepundung. Beberapa karya puisinya antara lain, Memoar Perjalanan, Negeri Tanpa Kekasih, Stasiun Perjamuan, Hari Ini Tak Ada Hujan Turun, Kampung Dalam Diri, Tiga Peluru. Puisinya pernah menjadi Karya Terpuji dalam sayembara puisi Cinta Nyata. Sedangkan Novel terbarunya berjudul Senapan tak Berpeluru, yang diterbitkan tahun 2013.

Novel Senapan Tak Berpeluru ini diangkat dari pengamatan Gesang terhadap kenyataan saat ini tentang para pejuang kemerdekaan. Dalam novel ini Gesang mampu mengangkat peristiwa-peristiwa yang dianggap kecil atau sepele, berkembang menjadi cerita yang mengungkap masalah serius. Senapan Tak berpeluru mengisahkan tentang nasib atau penderitaan hidup seorang mantan tentara yang pernah berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Mereka hidup berdampingan dengan lilitan hutang dimana-mana untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Pada novel terbarunya ini, Gesang mampu membuat pembaca geregetan terhadap kondisi yang terjadi pada tokoh utama. Dengan bahasa yang gamblang, pembaca dapat berimajinasi dan dapat merasakan situasi atau keadaan yang sedang terjadi pada saat itu. Hampir sama dengan karya-karya Gesang yang lain, Novel Senapan Tak Berpeluru ini bertema nasionalis. Namun, novel ini dikemas dengan gaya khas Joko Gesang Santoso yang juga berpiawai dalam menyair, membuat novel ini semakin menggelitik pembaca.

Novel Senapan Tak Berpeluru terbagi menjadi 7 bagian. Dari ketujuh bagian ini saya memilih beberapa bagian yang menarik untuk dikutip dalam resensi ini. Ceritanya berawal ketika Kirdjo dan istrinya melakukan perjalanan dari Cirebon ke Yogyakarta untuk melunasi hutang-hutangnya. Di dalam kereta yang dinaiki, sang istri selalu sewot dengan topi tentara yang dibanggakan suaminya itu. Maka terjadilah perdebatan mulut diantara keduanya.

“Jangan melulu bela negara, negara sudah membuangmu Mas. Itu juga kenapa aku tidak suka Mas pakai topi itu. Apanya yang mau dibanggakan? Negara Cuma butuh nyawa Mas sebagai tameng, setelah itu sepele saja mereka memperlakukan kita.”
“Mengenai harus ingkar dan memusuhi negara jelas aku tidak mau. Dalam keadaanku yang begini, setiap saat jika diperlukan negara, aku masih sanggup memeluk senapan dan berperang. Berjuang bela negara tidaklah mementingkan berapa besar pamrih yang akan diperoleh. Semua dilakukan dengan ikhlas-legawa. Yang penting negara bebas dari ancaman.” (hal :9)

Perjalanan mereka ke Yogyakarta menemui siapa saja orang yang pernah bersinggungan dengannya, antara lain Kardjo, Kardjan dan Kiyai Su. Semangatnya untuk melunasi hutang-hutangnya mematahkan kondisi fisik yang dialaminya.

Sepulang dari Yogyakarta, tubuh renta Kirdjo semakin melemah. Kini Kirdjo benar-benar lumpuh total, namun dengan sabar istrinya merawat dan mengabdi dengan setulus hatinya. Pada bagian ini sungguh membuat saya terharu dan terkagum dengan pengabdian seorang istri.

“Tanganku mati sudah. Kedua tanganku mati sudah. Kurasai hanya kepalaku, leherku, bola mataku, lidah dan mulutku yang masih bisa bergerak.”sesaat setelah sadar dari pingsannya.
Kedua mata istriku kian merabas dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Istriku kelihatan menggigil. Tubuhnya terlihat mengguncang-guncang, dan terdengar sesenggukan dari pojokan ruangan. Ingin rasanya kupanggil mendekat lalu kupeluk erat perempuan itu.
Tiap hari udara seperti menciut. Nafasku juga kurasai sudah tidak teratur, kematianku mengalami kemajuan, pelan dan jalan dengan pasti. Dalam keadaan lapuk begitu, kurasai perutku menggelembung-menggelembung. Seperti ada yang bergerak-gerak hendak keluar, hidungku sudah mencium bebauan busuk. Ya, kotoranku. Kotoranku sendiri tidak bisa kukendalikan lagi sudah memenuhi dubur. Dengan terampil, seperti sedang menangani bayi, istriku segera bertindak cepat untuk membersihkannya.
“Neng, apakah kau tidak merasa jijik? Apa akan lama hidup seseorang jika makan dan berak untuk dirinya sendiri harus ditangani oleh orang lain,”
“Huss, Mas bicara apa sih, kumohon berhentilah bicara tentang kematian.”
Istriku tiba-tiba berlari ke dapur sambil menundukkan kepala. Setelah beberapa lama ia muncul dengan muka pucat, tetapi dibikinnya seriang mungkin. Aku tahu senyum dan cerianya hanya skenario belaka. Buramlah hatinya. (hal : 154)

Dalam novel ini penulis menggambarkan bahwa kehidupan para veteran saat ini, jauh dari kata layak atau sejahtera. Menurut saya hikmah yang bisa diambil dari novel ini yaitu sisi perjuangan membela tanah air, kekeluargaan, pengabdian, kesabaran dan cinta, yang dapat menginspirasi para pembaca.

Novel senapan tak berpeluru dikemas dengan sangat baik. Penulis mampu menulis dengan bahasa yang sederhana, ringan dan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Pemilihan kata dan kalimat dalam novel ini sangat diperhitungkan. Dengan pemilihan kata dan kalimat yang tepat, setiap bagian menjadi sesuatu yang tidak membosankan untuk dibacaa. Dilihat dari segi cover depan, novel ini menarik dengan perpaduan warna yang teduh bergambar daun-daun kering dan sebuah senapan tua. Kertas yang digunakan yaitu book paper, sehingga tidak membuat mata sakit jika berlama-lama membaca novel ini.

Menurut saya, kekurangan dalam novel ini yaitu banyak kata yang di ulang-ulang, seperti kata “melengos”. Kemudian ada kata yang tidak saya mengerti seperti kata “jumawa”, disitu tidak dicantumkan artinya. Tanda baca juga masih banyak yang harus diperhatikan, banyak kalimat yang seharusnya menggunakan koma, malah menggunakan titik.

Demikian ulasan saya mengenai novel Senapan Tak Berpeluru karya Joko Gesang Santoso. Menurut saya, buku karya Gesang ini harus dibaca oleh pejabat pemerintahan khususnya, agar setidaknya mau melirik kehidupan para veteran masa kini. Namun, untuk kalangan umum juga menarik untuk dibaca, agar mengetahui perjuangan menuju kemerdekaan, sehingga tidak menggunakan kemerdekaan bangsa ini dengan semena-mena. Dan satu hal lagi, novel ini mampu menginspirasi setiap orang untuk selalu membayar hutang, bagaimanapun keadaan dalam hidupnya.

 

Sumber:

No Responses

Tuliskan komentar