Menu

Puisi-Puisi Dwi Rahariyoso

Hiang

Pada sebuah malam yang turun dari lereng
musim dingin membisikkan dunia yang hangat
dalam kenangan yang telah lewat

Di teras-teras yang rapat, biji kopi bertumpukan
menguarkan bimbang yang diam
ke arah zaman yang jauh di bawah kaki gunung

Ke sebuah hilir yang keruh,
gemuruh Batang Merangin berpiuh
dengan batu-batu lalu jatuh dalam sepucuk embun

Para pemudik yang rindu pada sisa hidupnya
akan pulang ke kampung yang sunyi
menyimpan sedepa nafas dan melupakan dunia
yang pernah dijamahnya

Rumah-rumah kayu yang tak dipaku
seperti pada malam-malam sebelumnya
–tatkala dunia mengajarkan perjalanan
pada nenek moyang dan para pendatang;
mereka tetap akan membuka pintu meski gigil
menyalak nyaring di udara beku atau tamsil
dari lembap tanah dan gemuruh arus
di bawah jerambah memiuh batu-batu

Malam seperti menghadapi kesendirian.
Lampu-lampu mati. Tidak ada hasrat yang bangkit
atau lenguh farji yang amis di lengang lorong
rumah-rumah kayu. Dusun seperti majenun
dalam misterinya yang purba.

Hiang, Juli, 2019

Sapi-Sapi Dusun Hiang

Sapi-sapi pergi ke jalanan. Hari berkabut.
Rumput yang lembap merekah.
Jalanan lengang. Pohon-pohon menunggu
matahari.

Di tanah lapang, masrum merayakan;
sebuah kesedihan usai diceritakan
pada mereka yang taat pada hidup
dan kesederhanaan yang gugup

Angin gunung melambai pada langit yang terbuka
semua yang purba bisa kau lihat sebagai keajaiban.
Betapa tak lagi hasrat yang menjerat
sebab segala sudah tertata dalam norma

Penghidupan yang panjang dan kekal. Demikian halnya
maut. Seperti tak ada dalam firasat. Hanya desir angin
yang dingin dan nyaring, sepanjang hari.

Bersama sapi-sapi, surga telah ada
di dalam diri mereka yang percaya,
pada ketiadaan yang ada.

Hiang, Juli 2019

Di Jalan Kumpeh-Suak Kandis

debu-debu meruap. jalanan bergetar.
matahari diselingi angin yang melangsi.
dunia seperti menjauh dalam gugup
yang jatuh.
sungai-sungai layu dikeringkan kemarau.
pada riak pucatnya, sudah berapa
musim tak lagi diingat.

Kumpeh-Suak Kandis, sejauh jarak yang tergaris
lidah terus mengingat kebun-kebun duku manis
dan ramah senyum gadis-gadis
menunggu para bujang meminang petang
sambil menyimpan rindu yang serejang
di antara gelisah hari-hari pasang

nasib tak hendak ditukar, hidup menggenapkan
yang tak tergambar. segala niscaya mencapai takdir
tatkala doa-doa mengangkasa sepanjang hulu-hilir

Juli, 2019

Balada Pemancing

: Amor

Tidak ada yang benar-benar menanggung kesedihan
kecuali sungai yang habis oleh tuba dan batang-batang
pohon rengas yang tumbang oleh mesin gergaji.
Laut demikian jauh. Gemuruhnya hanya sayup terbawa
angin yang layu ditinggal masa muda para pencari nasib
yang kecewa pada tanah kelahirannya.

Sore terasa pahit bilamana sungai tak lebih dari parit
yang mana ikan-ikan tak lagi tahu mana lubuk mana
ceruk. Sehamparan kebun sawit yang terlihat fana
diam-diam membisiki kita tentang kisah purba
yang terjadi antara lumut dan ikan-ikan.
Konon, sebelum penciptaan yang menyebabkan
arus sungai mati kehabisan napasnya yang keruh.

Sore itu, di sebuah kemarau yang tersangkut plastik,
Kail seperti tamsil yang mencari hakikat air keruh,
tentang segala yang tidak lagi utuh; ikan-ikan
yang pergi, lumut yang mati, dan juga sampah yang
menyebarkan sepi; dalam kepala kita.

Kadang kala kita merasa tiada sekaligus ada,
tatkala kail bergoyang di keheningan.
Lalu menariknya dengan was-was.
Tak ada sesiapa. Kosong belaka.
Hanya aroma amis dari tuba
melekat di umpan kita dan prasangka-prasangka
buruk tentang kesedihan terasa purba.

Betapa majenun rindu ini kita susun,
bilamana musim-musim telah bergegas melangun
dan sungai dipenuhi keruh sepanjang tahun.
Sore itu, ada kita. Di hadapan waktu yang tua.
Seperti dahan sawit yang rapuh seketika
dan tenggelam di dasar sungai.

Juli, 2019

Cangkat

Di langitmu yang agung, kelelawar menikam
senja. Langit saga dan kemarau daun-daun
ditiup angin danau. Sunyi reranting membangkitkan
pohon-pohon tak bernama.
Di ufuk yang terus berjaga, jarak antara ada dan tiada
seperti sejengkal jari yang kedinginan.
Kita tak lagi menjelma siapa kecuali takjub yang fardu
dalam haribaan kala.
Malam lekas menjelang di antara perdu dan lalang.
Perlahan, cahaya lindap ke dalam diri.
Melepas satu persatu yang tak terbendung lagi.

2019

Menyaksikan Senja

Menyaksikan senja seperti melihat seorang tua
tengah membakar pediangan dalam hari-hari dingin.
Menunggu api menjelma bara dan menyambut
kesepian yang tak terelakkan.
Pada segala doa dan sia-sia, cemas yang
lindap mengajarkan ranting-ranting meranggas.
Mencabik hidup dan menggugurkannya dalam
embusan angin parau. Wangi musim
sayup-sayup hambar, ditinggal segala
yang sempat berkobar. Asap pediangan
telah sirna pada sebuah gelap tak bernama.

2019

Lais

Akulah ikan bening dari hulu jantung surga
di tengah keruh arus para perambah
yang hilir mudik sepanjang kepala
Buyutku yang belida dan moyangku tapah
menelan kutukan sumpah serapah
dari kaum manusia yang angkara
Tubuh-tubuh mereka lenyap
dari batang dan sungai yang gelap
dan menitis kerdil padaku
Sebelum tuba dan jala merajalela
simpanlah wasiatku pada riak yang kaku
di lubuk-lubuk yang mulai kering
dipenuhi sampah
kelak, kematian demi kematian
dilahirkan sungai
perlahan-lahan dari hulu ke hilir
segala yang berair berganti pasir
dan debu yang kekal mengasinkanku
dalam kesia-siaan belaka

2018

Sialang

Pada pokok yang kokoh, mantra adalah nubuat
bagi segala yang ingin selamat
dari petaka yang buruk, dari setiap kutuk

Ia yang membakar niat telah berikrar
pada bara tunam yang terbakar
dan asap yang melindap ingatan

Wahai mambang dan dewata,
jangan kau tajamkan sengat para kumbang
sebab kami bukanlah siapa-siapa

Kami hendak meminta pertolongan
dari segenap rindu yang tak terbantahkan
dan madu yang menghidupkan anak cucu

Oh, sialang biarkan tubuh kami menyatu
pada cabang dan rantingmu
sebelum subuh jatuh dalam lembap embun

Nubuat telah usai, ia yang berucap lenyap
bersama asap dan dengung yang gelap

2018

Tuliskan komentar