Sebelum pertempuran 10 November pecah, Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari menyerukan untuk berjihad melawan penjajah melalui Resolusi Jihad. Pertempuran dengan semangat tentara rakyat yang membara ini kemudian menginspirasi pertempuran-pertempuran lain di berbagai daerah. Di antaranya adalah di Yogyakarta dengan Serangan Umum 1 Maret, yang salah satunya disokong oleh Sri Sultan HB IX.
“Keduanya dalam konteks yang berbeda, berjuang melawan penjajah dari bilik-bilik yang berbeda. Hadratusy Syaikh seorang Kiai, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah seorang Raja. Dalam peran masing-masing, keduanya merupakan tokoh yang patut untuk kita teladani,” kata anggota DPD RI dan MPR RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dalam acara Sosialisasi 4 Pilar MPR RI sekaligus Peringatan Hari Pahlawan Nasional dengan tema “Mencintai Tanah Air, Meneladani Pahlawan Bangsa” di Kompleks Nurussalam Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada Kamis (11/11) siang.
Kedua tokoh itu, menurut Gus Hilmy, menunjukkan bahwa perjuangan tidak selalu berkait erat dengan pertempuran dan unjuk senjata. Seperti yang berlaku pada KH. Hasyim Asy’ari yang berjuang di ranah agama, Sri Sultan Hamengku Buwono IX di arena perundingan, strategi politik dan negosiasi.
Dalam konteks yang berbeda, Gus Hilmy menyebut pejuang lain di bidang seni, yaitu Usmar Ismail. Beliau adalah Bapak Perfilman Indonesia, pendiri dan ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), yang juga pernah menjadi anggota DPR. Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya atas kiprah dan sepak terjangnya dalam memajukan perfilman di Indonesia setelah 50 tahun beliau wafat.
Semuanya berusaha dengan sungguh-sungguh dalam peran dan bidangnya masing-masing, dengan dilandasi oleh rasa cinta terhadap kebaikan bangsanya. Dan mereka sama sekali tidak pernah berpikir akan mendapatkan gelar kepahlawanan itu, karena bagi mereka adalah bagaimana bisa melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat.
“Berjuang bisa dengan berbagai media atau sarana. Yang penting semuanya dilakukan karena cinta terhadap tanah air. Dan apa pun yang namanya cinta, maka harus diikuti dengan sikap patuh dan taat. Cinta juga mengharuskan orang untuk peduli dan mau berkorban. Bentuknya bisa macam-macam, dengan membela, melawan, menjaga, merawat dan lain-lain, yang menunjukkan hal itu sebagai bukti dari cinta,” jelas Senator asal Yogyakarta tersebut.
Hari Pahlawan dan Santri
Lalu bagaimana konteks hari ini agar santri menjadi pahlawan? Gus Hilmy menyatakan bahwa tidak menjadi soal memiliki keinginan atau cita-cita menjadi apa saja, pokok pentingnya adalah berusaha agar senantiasa bermanfaat bagi yang lain, bagi lingkungan, dan semesta alam. Kebermanfaatan itu akan menjadi karya, dan manusia akan dikenang karena karyanya.
Hadir dalam kesempatan tersebut adalah K.H. Fairuzi Afiq Dalhar (Pengasuh PP. Al Munawwir Krapyak Yogyakarta), Dr. H. Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A. (Dosen Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Khotimatul Khusna, S.Ag. (Ketua PW Fatayat NU D.I. Yogyakarta).
Ketiga pembicara tersebut menyampaikan keteladanan para tokoh atau pahlawan dalam perspektif masing-masing. Kiai Fairuzi, misalnya, menyatakan bahwa kecintaan kepada tanah air sudah dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu alayh wasallam.
[button link=”https://sukusastra.com/sastra/peristiwa/anggota-mpr-ri-hilmy-muhammad-dalam-syawalan-terdapat-spirit-kebhinekaan/” type=”big”] Baca juga: ANGGOTA MPR RI HILMY MUHAMMAD: DALAM SYAWALAN TERDAPAT SPIRIT KEBHINEKAAN[/button]
Sementara untuk pahlawan-pahlawan perempuan dari masa lalu hingga kini diungkap oleh Khotimatul Khusna. Menurutnya, masyarakat jangan hanya melihat bahwa pahlawan adalah mereka yang mengangkat senjata yang didominasi oleh laki-laki. Selain mereka, banyak pula para tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pahlawan meski belum mendapatkan pengakuan dari negara.
Pembicara penutup, Kiai Rifki, kembali menyebut pahlawan lainnya, yaitu K.H. Wahab Chasbullah. Jika ada Bapak Pendidikan, Bapak Pembangunan, Bapak Perfilman, Mbah Wahab adalah Bapak atau Ulama Peradaban. Bersama dengan Mbah Hasyim Asyari dan kiai-kiai lain seangkatannya, mereka membangun peradaban sangat besar bernama Nahdlatul Ulama (NU). Salah satu pemikirannya adalah memunculkan kembali hubbul wathan minal iman atau cinta tanah air sebagian dari iman.