Menu

Gamelan, Gending, Masa Lalu | Puisi-Puisi Seruni Unie

Sumber: Gamelan –  https://www.gramedia.com/

 

GAMELAN,  GENDHING  MASA LALU

 

1.

Pernah ku taruh rasa benci pada seperangkat gamelan itu, ibu. Lantaran selalu mengalun suaramu, menyembah  kelangenan. Bonang, siter, kenong pula kendhang adalah saksi pongah. Saat kehadiranmu melengkapi kegenitan para wiyogo yang tak kenal lelah.

Dulu, di jauh remajaku. Segala cibir kuterima, semenjak  sinden kau pilih sebagai jalan cerita.

Pernah ku simpan dendam itu, ibu. Di saku rok abu-abu. Dan memusuhimu diam-diam, setiap pulang tanggapan. Lalu mengharap segala terhenti. Menyetop amarah bapak juga desir angin sengak.

Masa itu, aku baru 17 — saat ego berangas

Sedang usiamu  40, dengan emosi belum teduh

Sementara waktu berdenyut  semena-mena

Tak menyisakan bahagia apalagi mesra di antara kita

Gamelan terus dibunyikan, mengiringi pertengkaran demi pertengkaran

2.

Sepurane, ibu. Sekarang aku tahu, gerongmu  serupa wasilah. Agar anak-anakmu  tumbuh mamah. Tak melolong lapar, meski  langkahmu sendiri sempoyongan. Menahan tatapan caci, melawan sindiran keji

Sepurane, ibu. Bila sempat ku durhagai titi laras bawamu

Solo, 2018

 

 

 

JEMBATAN CAMPUHAN

 

Sepanjang campuhan, aku menggauli kesepian. Tak ada lagi tempat untukku bersandar. Semenjak matahari sungsang dan mengecupkan tanda silang, pada dadaku yang sempal.

Kaki-kaki jenjang, sorot mata biru, silih ganti melewati. Tak ada kata. Seribu diksi seolah sembunyi. Mirip bayang bapak ibu, menyapa kosong dalam sesaji. Terasa kering perjalanan. Sebab tak ada lagi pelukan, ketika langkah kelelahan.

Maka pahami, bila kadang kupilih jalan sendiri. Menikmati kebisuan dari kembang kamboja, dimana tiap detik tak henti mengulum doa.

Sepanjang campuhan, aku menjajakan garis tangan. Kepada angin, pura dan patung dewa. Sembari melafal kekalahan, semoga kau tak mendengar. Betapa jantungku nanar menghadapi menopause malam. Di jembatan ini, aku  jatuh cinta kesekian kali

Ubud, 2017

 

 

APHOLOGIA

 

1#

Lama-lama aku mulai mengakrabi, kebisuan malam itu adalah tembang bagimu.  Dimana aku belajar meraba alif – lam dan haq bersamaan, saat geguritan tak mampu khatam

Dengan bibir terkunci dan gairah mendaki . Seperti bunga menyedekah wangi tanpa kompromi Diam-diam aku mencuil sahaja lewat kopi  saat percakapan menghampiri. Maka bila suatu hari jarak mata ke pipi tak lagi seinchi,  ijinkan aku menyapa dari jauh, sebab padamu, selalu kutemukan doa teduh sebening kawruh

 

2#

Selalu saja aku menyadap hening, dari separoh perjalananmu

Tersebab aku meyakini ada kerendahan hati

Meluruh di antara alarm dan puisi, yang berkali-kali membuatku mati

Untuk sementara

 

3#

Barangkali aku memang tak pecus apa-apa, tapi bila aku berhasil menaklukkkan usia.

Akan ku graffiti namamu di tikungan. Tanda suwun tiada hingga, kepada semesta. Juga sunyi yang mengomando zikir acap kali

Solo, 2014

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

 

 

SENJA LAIN DI  BATAVIA

 

Tak ada jabat tangan

terlebih kecupan

yang mengawali perjumpaan

kecuali degup jantung berlari tanpa juntrungan

pada sepasang mata di bangku taman

 

Kau begitu khusuk

menikmati jus dan senja hari

sedang aku menahan kecamuk

pada sebelah dada kiri

berharap kau tak menangkap

ada gairahku meledak, disebelahmu

aku adalah bunga perdu

hanya mampu meremas bisu

: menunggu tahlil waktu

Solo, 2014/2015

 

 

 

 

DI MEJA MAKAN

 

Aku mencicipi hening

dan senyum asin tersaji dalam piring

bukan lelaki kutuk

atau matahari tertusuk

jarum takdir, semisal janji lamis pada jemari manis

segalanya tak nampak berwarna sephia

hanya seperti sendawa, tertahan di dada

melipat di pelupuk mata

 

tiba-tiba aku percaya

senyum adam sering kali menjelma bisa

di gelas hawa

Banyuwangi, 2014/2015

 

 

 

SURAT  UNTUK   BAKAUHENI

 

I.

Di sepanjang bahumu, kapal-kapal menjelma petilasan

Bagi dada perempuan, yang dikhianati gelombang

Pertemuan senja dengan kepak camar, seperti longsongan mimpi gila

Berabad-abad kerinduannya cuma enigma, pada tiap ujung dhuha

II.

Tak ada lagi sajak cinta di pantai ini, Bakaheuni

Semenjak hasrat bernama masa lalu, meninggali kalimat sepi

360 rusuk mulai merasakan mati, maka salam bagi musyafir yang datang dan pergi

: aku tak kan menyedekahkan penantian

Di bibirmu, ombak dan karang terus berpelukan

Di jantungku, asin lautmu serupa nisan

: tempat birahi karam

III.

Lalu separuh kemudaan kularung, bersama butir pasir dan doa orang fakir

Aku sudah memutuskan amnesia, bagi kecupmu yang menggoda

Raib sudah gairah untuk menggadang perjumpaan

Sekedar membalas tatapan mata pula mengulang kisah manja

Telah dengan sungguh kuikhlaskan, mewarnai namamu dengan hitam

Dari sejarah waktu, dari lipat sembahyangku

Aku memilih renta, seiring terpaan anginmu

Solo, 2017

 

 

 

PROPOSAL  UNTUK  BANDUNG BONDOWOSO

 

1/

Kita harus bicara, bung

Atas nama masa lalu dan peradapan

Sebab kutukanmu adalah kerisauan bagi tubuh-tubuh perempuan candi

Menyandang perawan melewati matang

 

Jonggrang sudah membatu, menggenapi arca seribu

Tapi amarahmu masih menyisakan kidal,

Semisal kisah cinta yang gagal

Kita harus bicara, bung

Mengakhiri dendam yang tak henti menikam

; sepanjang jaman

 

2/

Dan pagi itu, segalanya berawal

Ikhtiar cintamu berujung fatal

Tak sampai ke tujuan

Menjadi mitos berserakan

: prambanan

Solo,2014

No Responses

Tuliskan komentar