Menu

Dukhan – Kabut – Puisi-Puisi Mh. Dzulkarnain

Sumber gambar: www.kompas.com

DUKHAN

(… kabut itu meliputi manusia…-Qs. Ad-dukhan, a.11)

 

“Suatu saat, entah kapan
orang-orang bakal berlarian
mencari pintu pintu Tuhan

kabut – kabut itu mulai merabah
ke tubuh pemukiman
hingga ke kepala pusat kota
orang-orang berselimut ketakutan
doa-doa hingga seseduh mantra pun
seraya tumpah tiba-tiba

akan ada yang bersembunyi dalam ranjang
juga di balik tumpukan pakaian-pakaian
anak-anak dalam erat pelukan mengeram
dari sebagian banyak mereka
terdiam.
bungkam.

empat puluh hari empat puluh malam
Ia akan tinggal tanpa ada yang tau
kapan ia bakal tanggal

tak ada cahaya apalagi pelita
tak ada makanan apalagi kekenyangan
tak ada jalan apalagi persimpangan
tak ada hidup apalagi wujud

tiba-tiba
buta gulita
panas beringas
lapar menampar
hilang mata arah
tiada yang datang
tiada pula yang pulang

hanya tersisa harap
yang merayap ke jendela Tuhan

di luar sana,
motor, mobil, bis, kereta, pesawat
dan semua jenis tumpangan
tak lagi berpapasan

warung, toko, super market, pasar
dan layanan-layanan lainnya
tak lagi mendengar kabar rupiah

whatsapp, instagram, twitter, telegram
dan dunia maya yang serupa
tak lagi menyajikan sketsa rupa dan kata kita

semua lenyap dalam lautan asap
entah mati suri
atau akan menjadi seberkas obituari
atau bakalan menjelma batu-batu nisan

sedangkan mereka bersama keluarga
masih setia dalam ketakutannya
bahkan ada yang mulai
kongkalikong antar sesaudara
mulai pecah cakap di atas meja
demi sisa waktu yang mereka kepal
mereka mengira hidup tak lagi berpihak padanya

entah ketakutan macam apa
yang sedang merabah mereka

barangkali kabut – kabut itu
adalah malaikat
yang mencabut segala nikmat
dalam tubuh-tubuh
yang sering bersenggama dengan waktu
hingga larut dalam kemelut debu-debu

dan ingatlah,
ini bukan hayalan distopia belaka
ini tentang sebuah Firman
yang ‘tlah diterima Rasul-Nya.

 

Bandung, 2023

 

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]

 

 

DI ATAS MEJA ITU

1/
Di atas meja itu
di bawah lampu-lampu
aku dan waktu remuk tak berbentuk
jiwa-raga yang kemaren sempat sumringah
mulai lusuh dan terkapar di pangkuannya
dalam redupnya, hiruk-pikuk di luar sana
kulipat kubuang ke tong sampah
sejenak biar tak ada lagi gaduh dan gundah
yang senantiasa merobek-robek daksa
namun tiba-tiba angin berdatangan,
memasuki setiap celah-celah kamarku
menaruh sepotong kisahku dahulu
yang ‘tlah keropos dikunyah waktu
.
Di ujung kening, laut hening terdengar bising
segala macam bentuk ombak dan dingin pilu menghantam kejam
dinding-dinding kesunyian yang sedang berlayar di pojokan.

2/
Di atas meja itu
di samping buku-buku
rubaiat-rubaiat terlelap dalam pelukan
ia nyenyak dari dingin yang meraba
kucoba mengelus setiap bait-baitnya,
meninabobokannya;
membelainya;
dan mengecupnya.

“tidurlah, tidurlah sayang…
esok jangan lupa bangun,
kita mulai lagi petualangan kemaren hari
yang sempat mendung di langit-langit obituari”.
dan tak lama kemudian,

sebelum fajar tersenyum di balik jendela
subuh-subuh itu menjiwir telinga dan mencibir mata Dayitaku
.
Sungguh kejam lorong-lorong sorga-Mu
bagi tiap-tiap pijakan glosariumku:
yang penuh asu
perlu asuh.

 

3/
Di atas meja itu
di antara lampu-lampu
dan buku-buku
kekosongan terus merajam ruang tamu
menusuk-nusuk pergelangan dan tubuh waktu.
di ruang itu, ruang di mana cakap tak pernah cukup
di mana kecapan dan kecupan
saling melumat nikmat Tuhan.
Tak ada kasidah, tak ada romansa bahkan tak ada lagi tembang wanita
Semua tak lagi tampak,
pupus tanpa jejak tinggal retak di mana-mana;
di plafon rumah;
di ruas lengan jendela;
di kaki-kaki tangga dan
di halaman dada rumah.

lenyap dimakan kepergiannya
.
Setidaknya aku tak pernah alpa dalam berharap:
agar setumpuk perihalmu yang dahulu
bercumbu baka di atas mejaku itu.

 

Bandung, 2023

No Responses

Tuliskan komentar