Dildo Pink
akan ada suatu waktu,
dalam sunyi paling kelam kesepianmu,
tak seorang-pun sudi menemanimu,
selain dildo.
ia pink sesuai warna kesukaanmu,
tidak pernah menyakiti serta selalu
siap menyenangkanmu, masuk-keluar
tubuhmu dan membuatmu bergetar:
merasa seperti bunga mekar,
dalam fantasimu: aku ksatria liar
penunggang kuda, berderap berpacu
mengacung tombak ke arahmu.
menyibak padang ilalang,
menghentak tali kekang, menyusup liang,
naik-turun bukit. hingga kau melenguh
bagai sapi kurban disembelih.
seusai kau bergetar,
melenguh, dan duduk bersandar
mulus di headboard tempat tidur, aku
berharap kau membaca sajak-sajakku.
dan kau dengar suara
derap tapak kaki, ringkik, juga
dengus kuda, perlahan reda lalu
samar, menjauh dari degup jantungmu.
selamat berbahagialah
kau bersama dildo. sebab telah
diciptakan pasangan hidup supaya
kau mendapatkan ketenangan jiwa.
sebab sepi memang menyiksa
dan telah mendera sejak moyang kita
dahulu-kala, sebagaimana ihtimal
dalam yehezkiel:
… dan engkau
membuat bagimu patung-patung lelaki
dan engkau bersundal dengan mereka.
akan ada suatu waktu
dalam sunyi paling kelam kesepianmu,
tak seorang-pun sudi menemanimu,
selain dildo.
Makassar, 2018
Kelamin Lil Alamin
pernahkah kau mengalami
nasib seperti ini? terbangun suatu pagi:
membuka jendela
menghirup udara segar, menatap bunga
mekar, dan mendengar burung berkicau
merdu.
tetapi merasa ada
sesuatu yang mengganjal. seperti ada
yang tertukar dalam dirimu: tubuh dan
kelaminmu tak sesuai dengan
jiwamu.
seperti salah pasang.
jiwa perempuan terkurung
di tubuh lelaki atau jiwa lelaki terjebak
dalam tubuh perempuan. terasa tidak
sepadan tak sejalan.
—”kau melihatku menari sebagai lelaki
dan aku menangisi jiwaku sebagai
perempuan.”
pernahkah kau mengalami
nasib seperti ini? terus-menerus bertikai
dengan tubuh dan kelamin sendiri, tetapi
malah dikutuk orang-orang sok suci?
—”kau menatapku
bernyanyi sebagai perempuan dan aku
meratapi jiwaku sebagai lelaki.”
meski terbolak-balik, derita-
bahagiamu, jalan hidup, tubuh beserta
kelaminmu adalah hak-guna dan juga
hak-milikmu sepenuhnya.
pilih dan ganti
kelaminmu sendiri.
kita tidak sedang di toko kelontong
dengan tulisan peringatan di belakang
kasir: kelamin yang telah dibeli
tidak dapat ditukar kembali.
mari, kenakan kelamin yang kita
suka, sesuaikan bentuk dan rasanya.
kelamin yang merdeka dari penjajahan,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia.
tubuh dan
kelaminmu adalah milikmu. jangan
serahkan ke politisi atau agamawan.
semoga kelak kau mengalami
nasib seperti ini: terbangun suatu pagi,
merasa ada yang tertukar dalam dirimu,
kelaminmu tak sesuai dengan jiwamu.
Makassar, 2018
—lil-alamin (bhs arab):
bagi alam semesta.
[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/puisi/” type=”big” newwindow=”yes”] Baca Kumpulan Puisi Suku Sastra[/button]
Doggy Style
kita hidup hanya
untuk mencari sebuah kata
yang empat huruf pertamanya
menggairahkan: pahala.
begitu katamu dulu, serupa
fatwa yang membuat tertawa.
tetapi waktu bisa melambat
dan tempat dapat menyempit.
suatu sore, kita berpapasan tanpa
sengaja di sudut taman kota.
kau menggandeng tangan
kekasih barumu yang menuntun
anjing beagle, aku membantun
kesedihan yang terus bertahan.
hanya angguk dan
gukguk kikuk dalam pandangan
blur slow motion: angin jatuhkan
daun kering dan aku kerjapkan
mata basah.
aku tarik putus kalung
berleontin gravir namamu –yang
sekian lama menggantung serupa
dog tag di leherku. membantingnya
bersama sungut serapah
ke tempat sampah.
dulu kau mengaku
bukan bajingan, kini aku
tahu kau anjingan. meski
setidaknya, aku pernah memiliki
seekor anjing: pandai bergaya
dan berdusta.
waktu melambat dan
aku terkurung kenangan akan
doggy style. selalu membuat aku
bagai serigala yang melolong pilu
di puncak bukit saat purnama dan
malam-malam berkabut dingin
tempat juga menyempit dan aku
hanya duduk termangu di bangku
taman: gadis manis bertubuh padat
berhati kosong. aku mulai takut
akan berubah menjadi anjing.
aku menatap lekat anjing-
anjing datang dan pergi: jogging,
berjalan-jalan, bersantai, sepasang,
juga sekeluarga.
di sudut taman,
sekelompok anjing muda bermain
skateboard diiringi musik dari hp
serta loudspeaker: “who let the
dogs out. who let the dogs out!”
dan ketika turun
petang, seekor anjing jantan
afghanistan –mengenakan sorban
dan daster putih, lidah terjulur dan
ekor dikibaskan, datang mendekat.
“kita hidup hanya
untuk mencari pahala,” katanya.
lalu kami menggonggong panjang
menyambut malam. seperti bising
pengeras suara masjid.
Makassar, 2018
—who let the dogs out, syair lagu
dari kelompok musik baha men.
*) Puisi-Puisi di atas dikirimkan untuk kegiatan Joglitfest 2019 di Yogyakarta. Joglitfest.id