Di awal debutnya, Kukuh Prasetya konsisten dengan lagu-lagu tematik. Bahkan hanya satu tema: mendung dan udan. Perhatian judulnya: Mendung Ketemu Udan, Udan Tanpo Mendung, Mendung Ketemu Udan. Inilah Trilogi Mendung-Udan.
Pilihan ini jarang dilakukan musisi kita. Biasanya, satu tema hanya untuk satu lagu. Lagu lain dengan tema yang berbeda. Tapi apakah Anda bosan dengan tema tersebut?
Bisa dipastikan Anda menikmati kisahnya hingga seri terakhir yang diluncurkan pada Kamis siang yang terik, 23 September 2021. Banyak soal, seperti lirik dan konsep musikal yang kuat, didukung video klip yang apik, memiliki alur jelas, serta penggambaran kisah yang tak mengada-ada. Nyaris kita pernah mengalami kisah tersebut dan Kukuh berhasil menggambarkan kisah kita dengan manis tapi nggrantas neng ati. Bahkan mungkin, Anda yang tak pernah memutar lagu ini secara langsung, lirik-liriknya Anda hafal karena diputar kerap di sekeliling Anda.
Estetika Melankolia Kukuh
Meminjam istilah penulis buku Semiotika Negativa, St. Sunardi, pada seri satu dan dua, Kukuh setia menggunakan estetika melankolia. Enak dengarkan dan dinikmati, tapi sesungguhnya ngajak “bunuh diri”. Bagaimana nggak, bertahun-tahun menjalin kisah, lalu bubar karena beda pilihan. Bahkan telah memiliki bayangan, “Aku moco koran sarungan, kowe blonjo dasteran.”
Pun bertahun-tahun kenangan telah mengendap dalam pikiran, hati, tembok kamar, bahkan jalanan yang pernah dilalui bersama. Gampange, neng ndi nggon ono rupane Kukuh. Eh, mantan, ding.
Trilogi Mendung-Udan ini merupakan fragmen kisah cinta, atau bisa kita sebut sebagai biografi cinta. Barangkali karena latar belakang Kukuh sebagai aktor yang terbiasa memainkan peran dan mengikuti alur, Trilogi ini pun demikian. Pertanyaannya (yang tak perlu dijawab), apakah Mendung adalah nama tokoh perempuan dan Udan adalah tokoh laki-laki? Pada seri satu, Mendung pergi meninggal hujan, seri kedua Udan sendirian tanpa Mendung. Seri ketiga, Udan ketemu Mendung yang lain. Baiklah, abaikan!
Pada seri satu, Kukuh mempresentasikan biografi cinta dari jalinan cinta yang bahagia, lalu kandas dan menyayat. Berusaha sekuat mungkin bertahan, tapi nyatanya tetap beda pilihan. Baca: ‘Mendung Tanpo Udan’; Kisah Cinta Tak Sampai Pelaminan.
Seri kedua tentang air mata yang terus ngucur seperti hujan. Bahkan tiba-tiba pipi basah hanya karena teringat mantan. Dalam kesedihannya, ia masih tetap berdoa, “Yen pancen kowe jodoku, Gusti bapak lan ibu, Kulo nyuwun pangestu.”
Seri terakhir adalah kisah bahagia setelah menempuh perjalanan cinta yang cukup sengit. Si tokoh dalam Trilogi ini akhirnya bahagia bertemu dengan “sigaraning nyowo”. Namun adegan paling menguras energi justru pada seri terakhir ini, yaitu moment ketika di makam, Mami menyentuh muka Kukuh dan dibalas dengan ciuman tangan penuh hormat serta pengabdian.
Untuk lebih jelas kisah dalam setiap seri, silakan simak liriknya. Versi Bahasa Indonesia-nya bisa Ada tanyakan pada orang Jawa atau bisa dilihat di akun YouTube Kukuh Prasetya Kudamai.
Mendung Tanpo Udan | Udan Tanpo Mendung | Mendung Ketemu Udan |
Mlaku bebarengan Ben dino sayang-sayangan Sedih lan kebahagiaan Dilewati tahun-tahunanPadu meneng-menengan Bar kui kangen-kangenan Kadang bedo pilihan Nganti pedot balikanMendung tanpo udan Ketemu lan kelangan Kabeh kui seng diarani perjalananAwak dewe tau duwe bayangan Besok yen wes wayah omah-omahan Aku moco koran sarungan Kowe blonjo dasteranNanging saiki wes dadi kenangan Aku karo kowe wes pisahan Aku kiri kowe kanan Wes bedo dalan
|
Kisah iki Kesimpen rapi Neng jero sepiUdan tanpo mendung Gawe ati binggung Ra iso tak bendungBanyu tibo gowo teko roso Roso seng wes tak kon lungoAku wong seng ora gampang sayang Mergo aku wedi kroso peteng neng gon padang Sak wis e udan terang Abot ati iki Arep ninggalke perasaanAwak dewe tau duwe bayangan Besok yen wes wayah omah-omahan Aku moco koran sarungan Kowe blonjo dasteran Ee…tapi.. Udan tanpo mendung Banyu tibo gowo teko roso Aku wong seng ora gampang sayang Yen pancen kowe jodoku |
Crita perjalanan Tahu salah dalan Ora tekan-tekan malah Adoh seko tujuanMendung ketemu udan Wujudke bayangan Neruske perjuangan Seng mandek neng tengah dalanBapak ibu kulo Keluarga lan tonggo-tonggo Bakalan teko Neng omahe Calon moro tuwo Ngelamar sigaraning nyawaSabar dijembarke dalan isih dowo Aku karo kowe urip ngukir crito Tetep jogo roso ra luput dedongo Aku karo kowe urip tekan tuwo |
Menjawab Pertanyaan Sebagian Netizen
Pada seri pertama dari Trilogi Mendung-Udan, muncul pertanyaan dari netizen. Utamanya pada narasi “Aku moco koran sarungan, kowe blonjo dasteran”. Njuk sing kerjo sopo? Kapan leh kerjo?
Pertanyaan ini sesungguhnya miris. Kok kayak nggak pernah nonton film, nonton sinetron, baca novel, baca cerpen? Oh, yo, cerkak juga.
Durasi lagu tentu saja pendek, dan tidak bisa menampilkan seluruh kehidupan sehari-hari. Sama seperti film, sinetron, dan lain-lain. Alurnya dimulai dari perkenalan, pengenalan masalah, masuk konflik, klimaks, dan diakhiri penyelesaian. Fokus utamanya pada konflik yang disajikan dan bagaimana penyelesaian konfliknya. Begitu juga dalam Trilogi Mendung-Udan ini.
Lihat saja sinetron, setiap hari kok konflik? Kapan kerjanya? Lihat juga buku atau film biografi seseorang. Orang yang hidup selama 70 tahun, misalnya, diceritakan dalam buku hanya 250 halaman atau 120 menit dalam film. Tentu saja yang diambil adalah fragmen-fragmen yang menarik untuk diceritakan. Masih ada alternatif lain, silakan tonton film action. Setiap hari kok gelut, kapan kawine?
Kemirisan lainnya adalah tampaknya sebagian netizen seperti mengharapkan bayangan umum bahwa setelah menikah, suami harus kerja keluar rumah dan istri di rumah. Bayangan ini seolah ingin mengabadikan patriarki dan feodal dalam relasi suami-istri. Sementara hari ini, pekerjaan tak lagi melihat gender dan bisa dikerjakan di mana saja, termasuk di rumah. Siapa tahu si istri jualan daster online dan lakinya jualan ikan cupang dari rumah.
Jika masih ada pertanyaan, kapan COD-nya? Bisa dibayangkan bahwa netizen jenis ini adalah orang-orang sebagaimana dikatakan oleh prosais Seno Gumira Ajidarma, “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”