Menu

Demi Tuan, Aku Melewatkan Taman Kebahagiaan Cerpen Afry Adi Chandra | Blitar

Aku punya profesi. Akan tetapi, tak lebih dari para pemilik gaji bulanan perusahaan, pedagang grosir, atau pun para tuan tanah. Benar, tak lebih dari mereka. Itu dari sisi pendapatan. Dari sisi kesejahteraan, aku terlampaui jauh. Bak atlet lari, aku terbelakang sendiri. Catatan waktu terlama dan nafas ngos-ngosan tentunya. Apalagi soal kebahagiaan? Aku hanya mampu menciptakannya sendiri, bersama anak dan istriku. Untung saja, istriku amat pengertian. Padahal, diluar sana banyak laki-laki berdompet kulit tebal. Bukan kulit buaya, ular, atau sebangsa amfibia. Kulit manusia lebih tepatnya. Karena memang profesi mereka menguliti kulit sesama manusia. Aku makin mencintai istriku pada kondisi ini.
***
Anak semata wayangku kerapkali bertanya banyak hal kepadaku. Perihal mainan, pengetahuan, keimanan maupun detail ukuran kebahagian. Terakhir, anakku pernah pula bertanya, “Yah, kapan aku akan sakit lagi? Sekarang ataukah perlu menunggu sampai besok?”, polos ungkapnya. Jelas, aku hanya bungkam.
Tuanku hampir tak pernah memberi aku bingkisan kebahagiaan. Entah, apa musababnya. Beliau tak lebih hanya sekadar pendongeng tentang cerita “wacana-wacana” saja. Berjanji akan segera merealisasikan wacana terindah, spesial untuk kebahagian keluarga kecil kami. Entah, berapa lama masa kadaluarsa. “Maaf, Tuan, aku terlampau jujur,” ungkap dalam hati. Tuanku ini juga yang menciptakan “hari spesial” untuk kami. November yang lingsir ke angka 25 lebih tepatnya. Sayang, ketika hari spesial itu datang, kebanyakan dari kami hanya dijadikan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan ribuan kaki anak bangsa. Bak serangan bom oleh kelompok terorisme pada sebuah pusat perbelanjaan ternama. Kami disangkakan sebagai pihak yang harus dan wajib bertanggung jawab. Menutupi segenap kelemahan. Mengobati luka yang tak kunjung mengering. Bahkan, menutupi anyir borok yang mendadak jadi nanah. “Mana mungkin kewajiban sebesar balon udara, sementara hak hanya serupa bola bekel?,” batinku.
Kisah tentang profesi masih berlanjut. Ada pula rekanku yang rela merantau sampai tanah antah berantah, berprofesi menjadi audit untuk perusahaan yang tak terlampau besar. Ia anak satu-satunya. Kanker payudara hidup serumah dengan sang ibu pada waktu ia memutuskan untuk tetap berangkat. Kemana si bapak? Sibuk berprofesi, apalagi sang istri sedang dirundung lara. Sebelum kukuh pada keberangkatan, Gani sebenarnya teramat pedih menghadapi kemelut batin yang membuncah. Ia tahu bagaimana harus berbakti pada orang tua. Pilihan yang saya rasa pastilah sulit menemukan akar jawabannya. Apabila memilih untuk mengabdi pada kesembuhan sang ibu, konsekuensi yang pasti ia ambil adalah menjadi benalu bagi orang tua. Ia teramat minder, tak enak, serba sungkan bila uang jajan saja harus masih merengek meminta kepada bapak ibu. Entah, apa yang melatari hingga pada akhirnya Gani memilih untuk tetap berangkat ke Borneo. Ia terbang jauh-jauh hari. Menuju pulau antah berantah, yang jauh dari teluk dekapan orang tua.
Tuhan amat penyayang, selepas keberangkatan Gani, sang ibu kabarnya telah lepas dari gerogotan kanker yang mendera selama berbulan-bulan. Belum berhenti disitu. Profesi memang mampu mendatangkan kebahagiaan pun bukan berarti kesedihan tak mengelilinginya. Jangan berharap semudah itu menjalani profesi. Tiga bulan pasca kedatangan di tanah antah berantah, Gani merasa rindu benar terhadap omelan orang rumah, masakan khas tangan ibu, nasihat dari bapak, pun kekasih yang kini telah memilih bahagia dengan profesi serta pasangan barunya. Akhir pekan, menjadi waktu paling tak beralasan mengapa kampung halaman begitu terkonsep di latar pikiran. Ia rindu rumah. Setiap akhir pekan, ia sempatkan bertukar kabar dengan orang tua. Tak ada teman spesial, apalagi pacar. Hingga membuat ia hanya sekali dalam seminggu bertukar kabar. Bila dikalkulasi, waktu selama enam hari total pada profesi dan hanya sehari untuk berbagi kabar dengan orang tua. Toh, itupun hanya berlangsung 10, 18, hingga 31 menit saja. Tak lebih. Aku juga tak paham dengan nota kontrak di awal profesi dia. Apakah memang ada kontrak yang khusus tertulis, Hanya boleh menghubungi keluarga ketika sedang tak bekerja. Aku tak paham. Karena aku sendiri juga tak berprofesi di sektor sana. Tugasku hanya sebagai tukang cerita. Hanya itu.
Kadangkala, ketika rindu benar-benar membuncah. Gani memilih melakukan profesi sampingan Aku kurang paham alasan dia memilih profesi sampingan ini. Menurut kabar, sepulang dari rutinitas kerja di kantor, ia sering berjalan dari gang ke gang. Menelusuri sudut-sudut jalanan kota yang bising. Menerobos lorong-lorong kaki lima, melewati meja, pun kursi makan. Berkelebat dengan asap-asap tusuk sate. Menganggu romansa para remaja di taman kota. Melamunkan paras cantik mantan kekasih, tepat di pojok taman kota dekat tumpukan lily kuning. Pada hingar-bingar langkahnya, ia terhenti di sebuah gerobak kusam milik kakek tua yang tengah menyuapi cucunya. Pada kakek tua tukang jam, ia menebar tanya, “Kek, bolehkah aku memunguti jarum jam tak terpakai milikmu?” Kakek tua itu tak bergeming sepatah kata pun.
“Aku berharap bisa punya banyak waktu bertemu keluarga. Mendamba pertemuan. Mendamba kasih sayang. Aku rela memunguti jarum jam penunjuk waktu,” pinta Gani dengan memelas.
Cerita tentang Gani membuatku melesap lupa akan dentang waktu. Pukul enam pagi, aku berpamitan kepada istriku. Kucium keningnya, aku tahu, hari adalah sepenuhnya milik Tuanku. Waktu, tenaga, maupun kebahagian seutuhnya aku persembahkan untuk Tuanku. Kulewatkan taman bermain anak hanya demi Tuanku, namun sampai saat ini anakku masih saja merengek,
“Ayah, kapan aku akan sakit lagi? Sekarang ataukah menunggu sambutan kebahagiaan dari sang Tuan?”

Blitar, Mei 2017

No Responses

Tuliskan komentar