(Demi) Cita-Cita Sastra Dunia

Penulis : Joko Santoso

 

Cita-cita sastra dunia tidak akan mudah dilakukan tanpa pemahaman yang baik mengenai bahasa yang digunakan. Apakah dunia sepakat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa utama sebagai lingua franca global? Tentu tidak semua akan menyetujuinya karena hal demikian berpotensi memunculkan“penjajahan bahasa”, khususnya wilayah-wilayah yang merupakan negara dunia ketiga seperti halnya juga Indonesia. Hal ini barangkali bukan sebuah pembelaan, tetapi sebagai upaya memosisikan bahasa sebagai alat utama dalam (per-) lintasan (trajectories) antarnegara.

Bahasa Inggris sebagai bahasa global dari belahan dunia pertama merupakan bahasa yang dominan. Bayangkan saja apabila seluruh sastra (atau banyak hal nonsastra lainnya) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris demi cita-cita sastra dunia, maka hal demikian akan menimbulkan tragedi yang disebut sebagai hilangnya bahasa (language loss) lokal, atau penyusutan bahasa (waning languages) lokal. Hanya sebagian kecil (22 persen) orang-orang dunia (Barat) tahu bahasa yang digunakan di Papua Nugini dan Indonesia dan sebagian kecil lainnya (13 persen) di wilayah Amazon.

Perlintasan bahasa dapat diistilahkan juga sebagai “pem-Barat-an bahasa”, “peng-Eropa-an bahasa” atau “peng-Inggris-an dunia” (bila yang ditunjuk adalah bahasa Inggris). “Peng-Eropa-an bahasa”, atau “peng-Inggris-an dunia” adalah juga peng-Eropa-an sastra, atau peng-Inggris-an sastra (bila yang adalah konteks sastra).

Terjemahan

Terjemahan adalah metode yang dengannya konsep sastra dunia (world literature) bisa terwujud. Meskipun adalah terjemahan pula yang akan menjadi masalah bagi bahasa lokal. Sastra lokal maupun sastra nasional dapat mendunia atau mengglobal dengan metode terjemahan. Kemudian, bahasa mana saja yang dianggap mewakili konsep dunia, atau konsep global? Seberapa luas cakupan dunia, cakupan global yang disepakati? Negara-negara Barat tentu akan “tunjuk jari” pertama kali dan melegitimasi dirinya sebagai perwakilan dunia.

Sementara itu, negara-negara Asia, termasuk Indonesia hanya akan “gigit jari”. Apabila memang, katakanlah, seperti juga sudah disebutkan sebelumnya bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa sasaran terjemahan, maka seluruh dunia (yang bersepakat) akan mengalami peng-Inggris-an sastra secara masif. Asumsi ini memunculkan satu kata kunci yang bisa jadi menjadi “rebutan” pandangan dalam konteks konvensi terjemahan sastra dunia, yaitu pengaruh.

Mengapa demikian? Alasannya, sangat mungkin masing-masing bahasa, baik bahasa yang mau diterjemahkan (bahasa asli) maupun bahasa sasaran terjemahan terperangkap dalam dilema: siapa yang memengaruhi siapa? Bahasa mana yang memengaruhi bahasa lainnya? Bahasa mana yang harus terpengaruh? Bahasa yang akan mengalah? Bahasa mana yang akan dikalahkan? Artinya, dalam terjemahan, akan ada ‘peleburan’ kultural bahasa asli ke dalam bahasa sasaran terjemahan.

Sebagai contoh, Simon Gikandi, dalam tulisannya yang berjudul Contested Grammars: Comparative Literature, Translation, and the Challenge of Locality (2011) membuat ilustrasi bahwa bangsa Barat masih mendominasi dalam ‘kontestasi’ terjemahan bahasa maupun dalam soal budaya. Gikandi mengatakan bahwa karya-karya seperti King James Bible, Shakespeare, Karl Marx, Fanon, Alex Haley, puisi-puisi Tagore dan Neruda, yang masing-masing berasal dari bahasa Barat: Rusia, Inggris, Prancis, mendominasi di perpustakaan Swahili, Afrika. Namun, (belum ada atau) tidak ada karya-karya Swahili yang diterjemahkan dalam beberapa bahasa tersebut.

Kontestasi (siapa mengalahkan, siapa dikalahkan) bahasa dalam terjemahan ini membuka peluang pada ‘pengaruh’ yang diakibatkannya. Pengaruh demikian, jika boleh kritis, sekali lagi, membuat cita-cita sastra dunia menjadi tidak mudah. Namun, pertanyaannya kemudian, masihkah diperlukan sastra dunia sebagai cita-cita? Jika tidak ingin ‘gigit jari’, maka perlu dipikirkan lagi formula-formulanya. (*)

Tuliskan komentar