Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyelenggarakan penerapan nilai-nilai Pancasila melalui Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Pondok Pesantren Al Imdad, Bantul, Yogyakarta pada Selasa (21/02) siang. Kegiatan tersebut merupakan upaya untuk terus-menerus menenamkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, utamanya bagi kehidupan santri.

Mengambil teman “Menjunjung Toleransi, Menguatkan Harmoni; Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Santri”, kegiatan ini menyasar kalangan santri yang dapat menjadi agen untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar MPR RI.

Gus Hilmy, panggilan akrab Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. menyatakan bahwa santri memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki oleh pelajar di sekolah-sekolah umum.

“Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, ditandai dengan dia mau mempelajari agama-Nya.”Para santri di pondok pesantren, tidak di sekokah umum, sebagai salah satu tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan bagi para santri,” ujar anggota pria yang juga merupakan Senator Indonesia tersebut.

Sementara bagi pengasuh Pondok pesantren Al Imdad Dr. K.H. Habib Abdus Syakur menyatakan bahwa kegiatan tersebut sesuai dengan misi lembaganya yang menanamkan nasionalisme dalam diri santri.

“Kegiatan ini seperti tumbu ketemu tutup, yaitu santri tidak hanya tahu tentang agama, tetapi menjadi santri yang nasionalisme. Dan kegiatan ini adalah bagian dari upaya kita menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri santri,” kata pria yang juga menjabat sebagai ketua MUI Kabupaten Bantul tersebut.

Baca Juga Artikel Sosialisasi 4 Pilar MPR RI

Hadir dalam kesempatan tersebut sebagai pembicara adalah Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu Dr. Imam Muhsin, M.Pd. dan Dr. Muh. Kanif Anwari, S.Ag. M.Ag.

Hanif menyatakan bahwa toleransi perlu dilihat dari berbagai sisi agar tidak kita dapat memahaminya dengan lebih baik dan terbuka.

“Dalam konteks akidah, toleransi adalah memberikan ruang bukan melegitimasi kebenaran. Dalam konteks sosial, toleransi dapat memastikan kesetaraan martabat dan hak individual maupun sosial. Sementara dalam konteks pendidikan, toleransi diharapkan mampu mengembangkan kapasitas penilaian independen, pemikiran kritis dan penalaran etis,” kata pria yang juga pengasuh Pondok Pesantren Sunni Darussalam Yogyakarta tersebut.

Sementara Imam menegaskan pentingnya memahami konflik-konflik horizontal yang terjadi di tengah masyarakat. Di antara sebabnya adalah literasi tentang toleransi masih dianggap masih kurang.

Baca juga: https://www.jagadbudaya.com/kronik/2022-07-30-bhinneka-tunggal-ika-membuka-peluang-pendidikan-inklusif/ 

“Ada empat faktor kunci yang menyebabkan meningkatnya intoleransi di Yogyakarta. yaitu 1) Institusi yang melakukan pembiaran, 2) Regulasi yang diskriminatif, 3) Aktor-aktor lokal yang intoleran, 4) Masyarakat sipil yang mudah terprovokasi, 5) Media sosial yang provokatif,” kata pria yang juga ketua Yayasan SD NU Pamenahan Pleret Bantul tersebut.

Menurutnya, ada tiga pola intoleransi (konflik) atas nama agama, yaitu 1) Konflik antarumat agama yang berbeda, 2) Konflik satu umat agama dengan kelompok yang dicap sebagai sesat, 3) Konflik intern-umat satu agama yang memiliki pemahaman berbeda.

Untuk bisa menetralisir sikap-sikap intoleran, Imam menyebutkan beberapa tantangannya. Yaitu fenomena global radikalisme agama; Kondisi masyarakat yang cenderung fokus pada satu kelompok tertentu;  Terbukanya akses informasi hampir tanpa batas; Pengaruh budaya instan dan sikap praktis dan pragmatis; Pemahaman agama yang tekstual dan parsial, tidak komprehensif; Pudarnya otoritas agama; Penggunaan sentimen agama dalam politik; Kurangnya pemahaman pendidikan multikultural; dan lain sebagainya.