Menu

Menebak Penulis dari “Para Binatangnya” | Muhammad Qadhafi

 

Pacarku Memintaku Jadi Matahari, buku kumpulan cerpen Reza Nufa ini dari judulnya (sepintas) tampak melankolis sekaligus ambisius. Namun, setelah membacanya selesai, para binatang yang dipelihara penulis di dalam cerita-ceritanya justru lebih kuat menerkam perhatian.

Binatang Peliharaan

Ada anjing dan kucing, misalnya dalam cerpen “Cara Terbaik Menjadi Anjing”, “Laron-Laron Howliborn”, dan “Sani Belum Kembali”. Anjing yang pertama minggat dari rumah tuannya, sebelum kemudian ditemukan mati dibunuh di dalam karung. Anjing yang kedua diceritakan telah mati dan menjadi nama taman, “Howliborn”. Terakhir, dua kucing peliharaan tokoh “aku” diceritakan mati dibunuh anjing tetangga, ada juga kucing yang mati tertimpa kaca tepat di lehernya. Begitulah, semua binatang peliharaan penulis pergi dengan begitu singkat dan mudahnya.

Melalui tiga cerita itu, bisa diduga bahwa Reza bukanlah seorang pemelihara binatang (dengan alasan apa pun). Penulis selalu menggaritkan jalur (cerita) untuk binatang-binatang peliharaan itu kabur, bebas, atau langsung mati. Entah sadar atau bawah sadar, cerita tentang binatang peliharaan tersebut jadi wujud pelampiasan hasrat atas ketidaknyamanan, kesinisan, atau bahkan kenangan buruk penulis terhadap hobi orang memelihara (menjinakkan) binatang. Seolah-olah penulis berpesan, “Cukuplah binatang-binatang itu dipelihara di dalam cerita”.

Binatang dan Petualangan

Ini bukan kumpulan fabel, meskipun hampir seluruh cerpen di kumpulan Pacarku Memintaku Jadi Matahari memuat nama binatang. Selain binatang peliharaan, ada binatang-binatang lain, misalnya: bekicot, kupu-kupu, laba-laba, ular, katak, semut, paus, cacing, keong, dan laron. Menariknya, Reza justru bisa menghidupkan ceritanya lewat pandangan maupun imajinasinya tentang binatang-binatang yang bukan peliharaan itu.

Kepekaan Reza terhadap binatang yang bukan peliharaan, menyiratkan bahwa hidupnya tidak menetap. Atau kalau pun menetap, kemungkinan ia telah banyak melakukan petualangan. Petualangan di sini bisa terkait spiritual, cinta, alam, atau ketiganya sekaligus.

Pengalaman petualangan Reza—selain diindikasikan lewat alur dan latar ceritanya yang selalu berpindah-pindah, tarik-ulur antara kepergian-kepulangan maupun pertemuan-perpisahan—juga dapat dikais dari bagaimana cara Reza mengoperasikan para binatang di dalam ceritanya. Di salah satu sisi, lewat binatang, Reza menunjukkan petualangan dan cara pandangnya yang romantik. Misalnya, “Aku pasti rindu untuk terbangun bersamamu, bersama udara pagi yang menelusup jendela, menebar repih-repih kusen yang dimakan rayap,” (cerpen “Dingin Rinjani Malam Itu”) dan “Dan sendok, laba-laba, udara. Kurabai semua yang masih menyisakan dia.” (cerpen “Di Kaviar Dea”).

Di sisi lain, binatang dipakai untuk memamerkan taring maskulinitas penulis dalam melakukan petualangannya. Misalnya dalam cerpen “Jarum di Bibir Aruna”, ada tokoh yang berhasil melewati rintangan “gigitan ular”. Di cerpen “Bekicot Pertama yang Memeluk Agama”, tokoh Zulhak (bekicot jantan yang perkasa) bisa mewakili maskulinitas Reza—yang enggan tunduk dan dijinakkan, yang berani memberontak, yang kuat, yang tak gentar dengan kematian. Reza menguatkan maskulinitasnya dengan mengutip oposisinya, seorang tokoh perempuan yang punya kecemasan, karena itu berkata, “Setiap petualangan akhirnya akan berdiri dalam sebuah pernikahan, menjadi tua, dan sialnya…menjadi jinak.” (cerpen “Dingin Rinjani Malam Itu”).

Binatang sebagai Metafora

Metafora binatang dalam cerpen-cerpen Reza, menandakan bahwa dia tidak mencintai binatang, namun juga tidak membenci binatang. Kurang jelas visi apa yang ada di balik eraman metafora binatangnya. Misalnya: perempuan (yang akhirnya mati) diibaratkan sebagai koala, bahwa seekor koala sebaiknya tidak dicintai (“Jangan Dulu, Sofie”); Seekor lele lebih terhormat dariku dan tapi aku lebih senang jika ibuku seekor rusa istana negara (“Kupu-Kupu dari Dubur Ibu”); Ada harimau murung dalam suaranya. Terasa berbisik meski nyaring (“Kemala Mati dalam Hujan”); dan Tepian bibirnya melompat seperti lumba-lumba (“Di Kaviar Dea”).

Induk metafora-metafora itu (sebagian besar) kemungkinan berasal dari bawah sadar Reza. Setelah melewati semacam proses kawin silang: dampak dari rutinitas, perjalanan, perjumpaan-perjumpaan tak terencana, pengamatan-pengamatan sepintas lalu, atau barangkali dari jejak romantisisme dari buku-buku yang pernah dibacanya. Selain itu, metafora-metafora binatang Reza juga setidaknya memberi bocoran soal seberapa dalam dan banyak dirinya melewati macam-macam pertikaian dengan orang-orang terdekat—bisa keluarga, bisa juga para perempuan yang pernah mengisi kandang hatinya.

Tapi jangan begitu saja percaya, ini cuma tebakan. [*]

Tuliskan komentar