Menu

Kedai Kopi | Cerpen Mohamad Nursaid Rohmatulloh

Kedai Kopi

(Mohamad Nursaid Rohmatulloh)

 

Kamu duduk di depan pria yang di tangan kirinya menjepit sebatang rokok. Rokoknya ia hisap lalu dihembuskan ke samping kanan tubuhnya. Namun kipas angin membelokkannya ke arahmu. Kamu terlihat menahan napas, tangan kananmu mencoba mengusir asap rokok. Lalu perempuan lain, teman kalian duduk di sampingmu. Mengusirmu dari pandangan fokus pada  gadget.

Kamu mengambil sebuah novel di samping kananmu, kemudian membaca buku itu dengan malas. Membuka halaman tengah, membaca sepotong kalimat, lalu kamu tutup pelan buku itu, “Tidak paham.” katamu. Kamu memang lebih suka membaca sejarah dari pada kisah cinta.

Pria itu membuang puntung rokoknya ke sembarang tempat. Ia menengadahkan kepalanya, menghembuskan asap terakhir lewat mulutnya. “Aku teringat sesuatu.” kata pria itu menatapmu. Kamu menatapnya heran, “Aku belum shalat Isya. Itu adalah asap terakhirku, bagaimana jika itu adalah napas terakhir namun aku belum menunaikan shalat?” kamu hanya tersenyum kepada pria di depanmu.

“Mengapa tidak sekarang?” kamu mencoba memecah kebingungan pria itu. “Memangnya kamu sudah?” kamu tertawa mendengar tanggapannya. Teman perempuan yang baru saja duduk di sampingmu bercanda, menyarankan agar kalian shalat bersama.

“Itu bagus, kan?” perempuan itu bergantian menatap mata kalian. Lalu matamu dan mata pria itu bertatapan. Sepasang senyum kini terbenam pada dua wajah yang saling memandang. Hati kalian diam-diam terisi perasaan baru, perasaan yang biasa  dirasakan ketika jatuh cinta.

Pria itu mengajakmu ke masjid, kamu bilang itu terlalu jauh. Kamu punya saran untuk shalat di mushola saja. Lebih dekat, katamu. Sambil berjalan bersama, pria itu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Dikempitnya rokok itu dengan kedua bibir, ia mengeluarkan korek gas. Kamu tak melihat peristiwa itu karena kamu berjalan di depan. Namun kamu bisa mendengar ada suara korek gas yang berusaha mengeluarkan api. Tiba-tiba kamu berhenti dari langkahmu.

Di tempat kopi lesehan yang sedang berlangsung acara diskusi itu, kamu mendengar ada suara gitar yang dipetik. “Cek, cek,” suara orang check sound  dapat kamu dengar jelas. Lebih jelas ketimbang suara korek di belakangmu, juga suara sebatang rokok yang telah menyala karena api menyentuh ujungnya.

“Kita dengarkan satu lagu saja, ya. Please…” katamu memohon. Kamu sendiri bingung, kenapa kamu memohon kepada orang yang baru kamu kenal malam itu. Di tempat yang begitu sederhana dengan diskusi ringan. Baru kenal itu bagimu yang tidak pernah mau tahu sesuatu yang selama ini berada dekat di sekitarmu. Pipimu tersipu dan memerah, kamu menunduk, “Maaf,” katamu. “Kamu duluan saja tidak apa-apa. Aku mau mendengarkan satu lagu terakhir, aku pikir akan menjadi lagu terbaik malam ini.” Tanpa memandang mata pria itu, kamu berjalan melewatinya.

Ada perasaan bersalah di benakmu setelah kejadian itu. Yang kamu tahu hanya aku telah menyakiti orang-orang di sekitarku. Seperti dzikir yang kamu lantunkan pada malam yang selalu diam, kamu ucap itu berkali-kali. “Tentang Kamu” adalah puisi yang dibuat oleh seseorang pengguna Instagram @BemAndry, yang ia aransemen dan nyanyikan sendiri. Namun malam itu, ia tidak menyanyi sendirian di sebuah kedai kopi sederhana.

… Senyummu itu adalah kekuatan

Mendapatkanmu adalah perjuangan

Memilikumu adalah keberhasilan

Aku dan kamu adalah masa depan …”

Potongan lagu itu kamu hafal baik-baik. Di ujung lagu, penyanyi mengulang-ngulang bagian itu. Bagian yang memang merupakan kekuatan bagi lagunya. Bibirmu pun ikut mengulang-ngulang tanpa kamu sadari. Teringat tatapanmu dan tatapannya yang kini (mungkin) sudah selesai shalat Isya. Kamu tak tahu, kenapa tiba-tiba kamu menangis. Sambil tetap berdiri, matamu menatap kosong orang yang menyanyi.

Usai sudah lagu itu ketika penyanyi berbisik pada mikrofon di hadapannya. “Ada yang sampai menangis mendengar lagu ini.” Penyanyi itu sedikit melantunkan nada ucapannya. Semua menatapmu dan bersorak. Entah menyoraki penyanyi sekaligus pencipta lagu atau menyorakimu yang tiba-tiba cengeng. Kamu cepat-cepat mengusap air matamu dan mengacungkan dua jempol kepada penyanyi itu.

Ada peristiwa baru untukmu hari itu. Peristiwa yang tidak perlu kamu ingat-ingat namun selalu kamu ingat. Suara gitar itu, suara penyanyi itu, suara sruput dari secangkir kopi yang masih panas juga yang dingin dan hampir habis. Kamu begitu merindukan suasana sederhana itu, kopi, musik dan malam. Ketika kamu mencoba menggabungkan serpihan-serpihan peristiwa itu, kamu teringat pria itu lagi. Dan lagi-lagi kamu teringat.

Pria itu bukan siapa-siapa bagimu, saat itu. Namun kamu hanya terus mengingatnya di tengah ingatan akan lagu yang dibawakan penyanyi itu di sebuah kedai kopi lesehan sederhana. Kamu berjalan menuju mushola yang tidak jauh dari kedai. Teman perempuanmu menyusul dari belakang, hendak menemanimu.

Setelah mengambil wudu, kamu menunggui teman perempuanmu itu yang sedang berada di dalam toilet. Tanpa kamu tahu, pria itu menunggumu juga. Kamu memutuskan untuk masuk ke mushola sendirian, tanpa teman perempuanmu. Di dalam, kamu melihat pria itu sedang shalat sendirian. Kamu hilang akal saat itu. Kamu berdiri di belakang pria itu, kemudian berdeham. Menjadikanmu makmum baginya. Setelah itu, shalat seakan tak pernah usai untuk kalian.

Salam kedua sudah terucap dari pria itu. “Kalian!” teman perempuanmu berteriak, kamu kebingungan. Kenapa? tanyamu dalam hati. Kamu masih mengucap dzikir pada hatimu yang belum juga menyadarinya. “Kalian!” sekali lagi teman perempuanmu berteriak. Sontak saja hatimu berhenti berdzikir. Menatap perempuan itu dengan memiringkan kepalamu, menatap aneh matanya. Pria di depanmu juga menengok begitu. Kamu dan pria itu sama saja, sama-sama tidak mengerti hal itu.

“Kenapa kalian shalat berdua! Kalian bukan muhrim! Kalian, kalian…!” kamu berdiri dengan kedua lututmu. Pria itu berdiri, apa yang ia maksud?  tanyanya dalam hati. Kamu sudah menyadari kesalahanmu saat itu. Kamu langsung berdiri, mendorong tubuh pria itu. Kamu berlari, menarik tangan teman perempuanmu itu, ia pun ikut berlari kecil denganmu. Menuju sudut kedai kopi.

“Apa, aku harus apa?” tanyamu panik. Teman perempuanmu hanya sebatas tahu bahwa dua orang yang bukan muhrim tidak boleh sholat berduaan. Selebihnya ia belum mengerti. Kamu dengar sedikit penjelasan teman perempuanmu, sisanya kamu dengar samar suara langkah kaki dari dalam kedai kopi. Orang-orang mulai bergantian melewati pintu. Beberapa yang masih mengenalmu menyapa, epic, katanya.

Hari itu kamu tak berani pulang ke rumah dengan membawa dosa. Hari itu kamu menginap di rumah teman perempuanmu. Kamu tak banyak bicara di sana. Kamu ditinggal sendirian karena temanmu harus latihan lomba di aula dekat kampus kalian dulu. Kamu tidur, mencoba melupakan dosamu itu.

Dalam mimpimu, rekaman akan sebatang rokok yang di jepit pada tangan kiri seorang pria kembali berputar. Hanya saja, tak ada lagu yang terdengar di dalam mimpimu. Dalam tidurmu, kamu justru melihat dirimu dan pria itu tertawa, bercanda-canda. Pipimu terasa seperti di tepuk-tepuk. Kamu terbangun. Dibangunkan teman perempuanmu.

“Kamu tadi tertawa saat mimpi. Menakutkan.” Ucap teman perempuanmu. Tak ada warna di matamu saat kamu bangun tidur. Teman perempuanmu menyuruhmu untuk mandi. Sedangkan ia sendiri tidur. Jam sembilan pagi, kamu baru membuka ponselmu yang sedari tadi mode pesawat. Banyak pesan bermunculan, namun kamu terpaku ke tiga pesan dari ibumu.

“Kamu di mana, Nduk? Sudah hampir larut malam.” (11.18)

“Nduk, kamu di mana to. Mbok yo ngomong kalau mau nginep di rumah temen. Ibu sama bapak belum tidur, nunggguin kamu.” (02.04)

“Nduk, pulang sekarang. Bapak mau ngomong penting sama kamu. (08.16)

Langsung saja kamu berangkat menuju rumahmu yang berjarak 35 menit jika ditempuh dengan taksi. Ketakutanmu kini bertambah-tambah. kamu meremas-remas tanganmu, mencoba menghilangkan resah gelisah pada sekujur tubuhmu. Kamu, sopir taksi, dan malam itu sama saja. Sama-sama diamnya seperti batu. Akhirnya, sampailah kamu di perbatasan jalan yang kamu tuju, kamu berjalan menuju rumahmu. Wajahmu menunduk, teringat pria yang semalam menghembuskan rokok ke langit-langit kedai kopi.

“Jadi gini, Nduk. Apa yang kamu lakukan semalam?”. Kamu keheranan, apa yang sebenarnya bapakmu tanyakan. Kamu tidak berani menatap mata ayahmu, kamu menunduk lagi.

“Apa yang kamu lakukan semalam dengan dengan seorang pria?” kamu kaget mendengar bapakmu menanyakan itu. Dari mana ayah tahu?  tanyamu dalam hati. Seakan bapakmu tahu apa yang ada dipikiranmu. “Minum dulu, Nduk.” Ibumu datang membawakan teh..

“Pagi ini, jam enam lebih dua puluh lima pria itu datang kemari bersama orang tuanya. Bapak kira mereka dari rumah sakit atau kepolisian, mengingat semalam kamu tidak bisa dihubungi. Bapak kira, mereka membawa kabar buruk tentang kamu.” Bapakmu menyruput teh paginya.

“Pria itu tahu alamat rumah kita dari teman perempuanmu, katanya. Dia menyusul teman perempuanmu ke aula tempat kamu dulu kuliah.” Kamu mengangguk.

“Ringan saja pria itu bercerita banyak, selebihnya kamu tentu sudah tahu sendiri. Pria itu hendak melamarmu.” Bapakmu terlihat hati-hati sekali menyampaikan maksudnya.

“Itu terserah kamu, Nduk. Bapak tidak memaksa. Ibu juga sepakat, semuanya diserahkan padamu. Namun jika kamu tetap mau meminta pendapat dari bapak dan ibu, kami mendukungnya. Ada keikhlasan di mata pria itu. Entahlah, hanya saja bapak yakin itu.” Ibunya yang mengangguk kali ini.

“Tapi aku baru saja mengenalnya, Pak.” Kamu menangis, bapakmu ringan saja menjawab, “Kamu mungkin baru kenal, tapi dia sudah lama mengenalmu. Dia satu kampus, juga satu angkatan denganmu. Hanya saja kamu tak mau tahu orang-orang yang ada di sekitarmu.”

Dua hari setelah kamu, bapak dan ibumu membicarakan hal itu. Pria itu datang dengan orang tuanya. Berpakaian sederhana. Kamu dipanggil bapakmu untuk menemuinya. Kamu datang, namun kamu membelakangi pria itu.

“Sebenarnya kamu ini kenapa?” pertanyaanmu tak terarah, entah untuk siapa dan apa maksudnya. Pria itu menjawab, “Aku bersalah kepadamu. Mengajakmu shalat bersama, padahal kita belum bersama. Maka izinkan aku melamarmu sebagai permintaan maaf kepada Tuhanku. Tuhanmu juga.” Kamu menangis. Kini kamu bisa merangkai keping-keping peristiwa di kedai kopi. Suara lagu “Tentang Kamu”, suara sruputan kopi yang masih panas, maupun yang sudah dingin dan hampir habis. Tapi masih dengan tangis, namun tangismu bahagia. Kamu mengangguk.

 

Sleman, Yogyakarta.

09 Maret 2018, 00.24

Tuliskan komentar