Menu

Insomnia dalam Stoples Kaca | Cerpen Robbyan Abel Ramdhon

Gambar: https://id.pinterest.com/pin/166773992425588004/

Gambar: https://id.pinterest.com/pin/166773992425588004/

Saya semestinya sudah bisa tidur nyenyak sejak pukul 23.00. Tapi saya baru saja tersentak karena mimpi buruk. Ketika itu terjadi, saya menyadari hidup saya kosong bagai stoples kaca yang ditinggalkan kue-kue lebaran. Seperti stoples kaca yang kini tergeletak di atas meja dekat kasur, bersama handphone dan novel yang belum selesai saya baca.

Saya berusaha kembali tidur dan bangun keesokan paginya tanpa mengingat bahwa mimpi buruk telah mengganggu saya. Saya membiarkan televisi terus menyala. Biasanya saya akan lebih cepat mengantuk saat menonton hiburan yang gampang bikin bosan.

Tiba-tiba hujan bagai tumpah dari langit. Mata saya terbuka saat mendengar suara petir memecut udara. Saya menerawang ke atas; memperhatikan kamar saya yang mulai dipenuhi sarang laba-laba, dan dua ekor cicak sedang bercinta di dekat bola lampu yang bercahaya lemah.

Karena tak kunjung lelap, saya pun meminum sebutir benzodiazepine dan meraih sebungkus rokok dari dalam saku celana yang menggantung di belakang pintu. Saya keluar mengambil tempat di balkon yang terhubung dengan kamar saya untuk sekadar menenangkan diri sembari menunggu reaksi obat yang telah saya konsumsi. Langit begitu gelap – kecuali setiap kali petir menggelegar, maka bumi nampak seperti siang – sehingga bumi seperti sudah berwarna hitam seluruhnya. Hitam bagai rasa sepi di hati saya.

 “Saya kira semua manusia kelak akan bersepakat; sepi adalah bayangan dari kematian,” saya membatin.

Asap-asap mengalir ke tubuh saya sebentar, berhembus keluar kemudian. Lalu dengan cepat angin menyapunya. Seekor kucing mengeong dari bawah kursi malas yang saya duduki. Mungkin tidurnya terganggu karena keberadaan saya atau abu rokok saya tak sengaja jatuh ke ekornya. Ia mengeong dan mengendus jari-jari kaki saya. Saya mendorong tubuhnya agar menjauh, tapi ia terus berusaha menempel. Sampai akhirnya kucing liar itu menyerah dan pergi. Sebenarnya ia masuk ke kamar saya. 

Saya duduk sambil menyaksikan gedung-gedung tinggi, yang pada bagian pucuknya telah tertutup kabut.

*

Sesosok perempuan melayang dari balik tirai-tirai hujan, mendekat ke arah saya, dan duduk di pagar balkon. Perempuan itu mengenakan pakaian bermotif kembang. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tapi saya tidak bisa mendengarnya dengan jernih. Hujan semakin deras, petir mencekik udara hingga memekikkan suara seperti bocah kecil yang dipecut bapaknya karena lupa sembahyang. Suara berisik atap balkon yang terbuat dari seng juga semakin menambah keributan.

Tubuh saya berkeringat dan darah saya terasa membeku. Sementara sosok perempuan itu terus menatap saya dengan wajah yang ceria, seolah ingin mengajak saya bersenang-senang. Meski sesungguhnya saya tidak peduli kalau pun hidup saya akan begini selamanya tanpa hiburan sama sekali. Saya akan tetap menyerahkan tubuh saya ke kota, bekerja sebagai buruh di pabrik kertas, dan rutinitas lain yang membosankan.

Saya sekarang mulai sungguh meriang. Saya menekan putung rokok ke dasar asbak, kemudian masuk ke kamar untuk mengambil selimut. Saya mendapati kucing yang tadi saya dorong melanjutkan tidurnya di atas kasur. Tubuhnya meringkuk bagai sedang memeluk diri sendiri. Bagai celurit yang menyiratkan kematian. Saat saya menarik secara kasar selimut yang ditidurinya, sontak kucing itu tersentak karena tubuhnya ikut terlempar. Kucing itu langsung bersembunyi ke kolong kasur. “Biarkan saja,” gumam saya pada diri sendiri. 

Saya kembali ke balkon, membawa selimut saya dan membersihkannya sebentar dari bulu-bulu kucing liar itu, lalu membungkus tubuh saya serapat mungkin. Sekilas saya nampak bagai kepompong.

Perempuan dengan pakaian bermotif kembang itu masih menghantui saya. Kali ini menatap saya dengan mata sayu. Perempuan itu seakan mendekat. Bahkan sudah benar-benar mendekat, tadinya hanya sedepa dari tempat saya duduk, tapi sekarang bagai menjelma diri saya sendiri. Perempuan itu mungkin sudah merasuki saya. Melalui diri saya, menggunakan tubuh saya, ia berbicara dan saya bisa mendengarnya: “Pulanglah. Orangtuamu merindukanmu. Mereka akan melepaskan kesepian yang sudah lama menempel di tubuhmu.

Kata-katanya masih bergema di kepala saya, bahkan saat tubuh saya bereaksi mendengar suara benda jatuh dari dalam kamar. Saya menyibak selimut, masuk ke kamar dengan langkah sempoyongan. Jantung saya berdegub lebih kencang dari sebelumnya, keras sekaligus menyayat.

Saya melihat kucing liar tadi sedang mengendus-endus pecahan-pecahan stoples kaca yang bercecer di lantai. Tiba-tiba air mata saya berlinang. Saya menjatuhkan tubuh saya ke kasur – sesaat saya merasakan tubuh saya melayang bagai terhempas dari ketinggian. 

Tepat ketika saya mendarat, handphone saya berdering. Saya meraihnya dan melihat nama “Ibu” tertera pada kontak yang sedang memanggil.***

No Responses

Tuliskan komentar