Menu

Dongeng H. C. Andersen: Tuk Kecil yang Baik Hati

Sebenarnya, nama aslinya adalah Carl. Tetapi, ketika ia belum lancar betul berbicara, ia sering menyebut tuk. Maka orang-orang yang sering melihatnya memanggil dengan tuk. Mendengar orang-orang memanggil tuk, orangtuanya terpengaruh juga dan memanggil anaknya dengan sebutan yang sama.

Tuk Kecil, suatu kali, ditinggal ibunya ke pasar. Adiknya yang masih kecil juga dititipkan kepadanya. Dalam waktu bersamaan, ia harus melakukan dua hal sekaligus. Menggendong adiknya dan belajar geografi, karena esoknya ia akan ulangan di sekolah. Siang itu, Tuk Kecil menggendong adiknya dengan menyanyikan semua lagu yang ia bisa. Sesekali matanya melihat ke buku plajaran sekolah untuk menghapal nama-nama kota Seeland. Nah, itulah bahan ulangan untuk besok. Masing-masing siswa harus bisa menjelaskan tentang kota-kota yang ada di Seeland.

Capek menggendong sambil berdiri, Tuk Kecil lalu duduk dan memangku adik perempuannya, Gustava namanya. Ia terus bernyanyi dan melihat ke buku pelajarannya. Ketika ibunya datang, Gustava diambil alih. Segera Tuk Kecil berlari ke kamar dan membuka jendela untuk mendapatkan penerangan. Sebab, tanpa cahaya di luar rumah itu akan gelap. Ibunya tak mampu membeli lampu minyak apalagi pasang listrik.  Jadi untuk belajar, ia mesti memanfaatkan siang hari dengan sebaik-baiknya.

Ia membuka-bukai setiap lembar buku pelajarannya, membaca dan menghapalkan. Si ibu yang telah berhasil menidurkan Gustava melihat ke jendela dan melihat seorang nenek tukang cuci yang kepayahan membawa hasil cuciannya. Mungkin akan diantar kepada pemakai jasanya.

“Kasihan sekali nenek itu. Berhasil sendiri saja ia sudah pasti kesusahan. Eh, kok ini malah bawa hasil cucian begitu banyaknya.”

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Mendengar ibunya mengatakan itu, Tuk Kecil melihat ke jendela dan segera berlari menemui nenek itu. Ia membantu membawakan pakaian yang bersih itu hingga sampai pada alamat yang dituju nenek itu. Tetapi sayangnya, ketika ia sampai di rumah, hari sudah gelap. Itu artinya, ia tak akan bisa melanjutkan belajarnya lagi. Tanpa cahaya yang bisa membantu matanya untuk melihat huruf-huruf pada bukunya.

Tak ada yang bisa dikerjakannya, Tuk Kecil berbaring di kasur sambil mengingat-ingat seluruh pelajaran disampaikan gurunya di sekolah dan lembaran-lebaran buku yang ia baca dari siang hingga sore tadi. Meski sudah berusaha keras, ia tak bisa mengingat seluruhnya. Memory manusia memang pendek untuk mengingat banyak hal.

Perlahan Tuk Kecil mulai ngantuk. Ia lalu meletakkan buku pelajarannya di bawah bantalnya berharap seluruh isi buku masuk ke dalam kepalanya. Begitulah yang dikatakan orang-orang, meski ia tak yakin betul. Semakin malam, Tuk Kecil semakin mengantuk.

Antara sadar dan tidak sadar, ada ciuman halus mendarat di jidat Tuk Kecil. Ia menduga bahwa itu adalah nenek yang tadi sore dibantunya. Tetapi ia tak bisa melihat dengan jelas karena sudah mengantuk berat.

Lalu ada suara berbisik, “Terima kasih sudah membantu. Nah sekarang aku membantumu menghapalkan seluruh pelajaranmu.”

Pelan-pelan terdegar suara kertas dibolak-balik. Tuk Kecil diantar berkeliling ke kota-kota di Seeland. Ia melihat bagaimana masa lalu kota-kota itu diterangkan dengan berbagai cara. Bahkan Tuk Kecil menjadi bagian dalam sejarah masa lalu kota-kota itu. Ia sangat bisa sangat jelas melihat kota kuno Vordingborg, Kota Korsor, Kota Praesto, Kota Soro, Kota Kjoge, Kota Roskilde dan rajanya, Raja Hroar, serta sejarah Raja Waldemar.

Hingga ayam berkokok, Tuk Kecil bangun dan masih mampu mengingat seluruh mimpinya. Sehabis berkemas dan akan berangkat ke sekolah, ia bertemu lagi dengan nenek yang kemarin ia tolong. “Terima kasih atas bantuamu kemarin, anak baik. Semoga Tuhan mengabulkan semua mimpimu yang terindah!”

Tuliskan komentar