Menu

Dongeng H. C. Andersen: Itik yang Buruk Rupa Bebek

Di pinggir sungai, hiduplah sekeluarga bebek. Sepasang bebek sedang menunggu kelahiran anak mereka yang dierami si betina. Satu per satu telur menetas. Mereka sangat senang. Namun, ada satu telur yang ketika menetas wujudnya berbeda dengan lainnya. Si jantan dan betina berwarna kuning keemasan dan berparuh oranye serta berbunyi “Kweek.. kweek…”, sementara anak mereka yang terakhir itu justru berbulu kehitaman dan berparuh kecokelatan. Wajahnya pun tidak secantik saudara-saudaranya, dan suaranya pun berbeda, “Ooork.. ooork…”

Si jantan dan betina bertengkar hebat. Si jantan menuduh istrinya selingkuh, sedangkan si betina tidak terima. Si jantan pun pergi. Sementara itu, si bebek kecil yang buruk rupa tadi pun diejek oleh saudara-saudaranya yang lain.

Meski diejek habis-habian dan setiap waktu, namun ia tetap mengikuti keluarganya. Kepada siapa ia akan mengikut. Tak ada tempat lain baginya. Semakin besar, semakin tampaklah perbedaannya. Bebek betina pun malu. Apalagi si bebek buruk rupa ini ternyata tidak bisa berenag sebaik saudara-saudaranya yang lain.

Suatu ketika, ketika mereka sedang beriringan ke suatu tempat, bebek buruk rupa tertinggal jauh di belakang. Ia memanggil-manggil ibunya dengan suaranya yang jelek, namun tidak ada sahutan. Ia pun menyusuri sungai mencari keluarganya. Tak menyerah meski berhari-hari ia tempuh, hingga akhirnya ia benar-benar putus asa dan menangis di sudut sungai. Tangisannya begitu menyayat hati. Ia masih kecil dan tak mengerti mengapa ibunya meninggalkannya dan tidak pernah sayang padanya.

Tak selang berapa lama, datanglah dua ekor bebek. Melihat keduanya, bebek itu kaget. Sebab, dua ekor bebek itu sama buruk dengannya, bahkan suaranya pun juga sama! Keduanya lalu mendatangi bebek kecil yang sedang menangis itu dan menghiburnya. Belum hilang kekagetannya, datanglah induk mereka yang mencari kedua anaknya yang tiba-tiba menghilang. Terlihatlah oleh si buruk rupa itu seekor angsa yang sangat cantik. Lehernya panjang dan wajahnya menyiratkan kasih dan sayang.

Begitu melihat bebek buruk rupa itu, ia pun bertanya padanya, “Wahai makhluk kecil, mengapa kau menangis?”

 

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/fiksi/prosa/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Prosa Suku Sastra[/button]

 

Bebek kecil itu terus menangis. Sambil sesenggukan, ia menceritakan bahwa, “Saya kehilangan induk saya. Induk saya tidak mau mengakui saya  sebagai anaknya, karena saya berbeda dengan saudara-saudara saya. Mereka cantik-cantik dan pandai berenang. Saya seudah dbenci oleh ibu saudara-saudara saya sejak saya lahir. Bahkan, bapak saya pergi begitu saja ketika melihat saya. Mereka tidak pernah menyayangi saya. Saya bukan anaknya, katanya. Bulu saya tidak kuning keemasan seperti mereka, paruh saya tidak sama warnanya dengan mereka. Dan lagi, suara saya sangat jelek. Ibu selalu berkata bahwa saya adalah bebek yang salah lahir.”

“Wahai makhluk kecil, jangan menangis. Ibumu berkata benar, kamu berbeda dengan saudara-saudaramu yang lain. Mereka memiliki apa yang tidak kamu miliki, dan sebaliknya kamu juga memiliki apa yang tidak mereka miliki. Nah, sekarang lihatlah air yang mengalir di bawahmu, pandanglah wajahmu, ihatlah badanmu, lihatlah persamaan antara dirimu dan anak-anakku…”

Bebek kecil pun melihat pantulan dirinya sendiri di dalam air dan mendapati bahwa ia memang sama dengan kedua anak itik tersebut. Ia keheranan tetapi senang karena merasa tidak sendirian lagi. Ia memiliki kesamaan dengan mereka.

“Ya, kamu bukanlah anak bebek. Kamu adalah anak itik. Memang saat ini rupamu buruk, tetapi kelak, kamu akan menjadi cantik seperti aku. Kemarilah, Nak, anggaplah aku ini Ibumu…”

Sekarang ia paham, bahwa ia bukanlah bebek, melainkan itik. Itik yang memang berawal buruk rupa dan kemudian akan tumbuh menjadi makhluk yang indah penuh dengan kasih sayang. Setelah memahaminya, ia kini bisa menjalani hidupnya dengan baik. Bersama keluarga angsa, itik kecil itu merasakan kehangatan di bawah pelukan sayapnya yang penuh dengan kasih. Kini hari-harinya penuh dengan semangat.

Ia merasa menemukan rumah dan keluarganya yang entah berapa tahun hilang. Mereka saling menyayangi satu sama lain. Kehidupan di dunia akan sangat indah dan damai jika kita saling menyayangi. Kebencian hanya akan melahirkan rasa sedih seperti yang dialami itik kecil itu sebelumnya.

Pada suatu hari yang berbeda, ketika bersama keluarga barunya sedang menikmati hari menyusuri sungai, ia berpepasan dengan sekelompok bebek yang sebelumnya pernah membencinya. Ya, mereka akan keluarga bebek buruk rupa yang dulu. Namun, ia tak membenci mereka. Sambil terus berenang, ia melihat ke arah mereka dan tersenyum. Sekelompok bebek itu hanya terbengong melihat saudara yang dulu mereka benci.

No Responses

Tuliskan komentar