Menu

Bincang-Bincang Sastra Edisi 163 | Perempuan dan Sastra

 

Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Balai Bahasa Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 163 mengusung tajuk Perempuan dan Sastra. Acara ini akan diselengarakan Sabtu, 27 April 2019 pukul 19.30 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana Balai Bahasa Yogyakarta, jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Kotabaru, Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. dan Herlinatiens yang akan dipandu oleh Fitri Merawati. Di dalam acara ini juga akan tampil Niskala x Riska Kahiyang dan Siti Nur Hidayati. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

“Tajuk Perempuan dan Sastra diusung Studio Pertunjukan Sastra bukan hanya karena bulan April identik dengan Hari Kartini, melainkan keberadaan perempuan di kancah sastra senantiasa menarik ditelisik, tiada habis diulas, dan tak pernah tuntas. Ada realitas yang mungkin tidak banyak orang menyadari meski ketika dicermati hal itu acap kali dijumpai, bahwa para perempuan mendominasi keikutsertaannya dalam lomba penulisan karya sastra. Namun, ketika menelusuri peta dunia kesastraan di Indonesia pemandangannya berbeda, perempuan sering kali hanya menjadi objek, bukan sebagai pelaku pembuat karya. Di komunitas-komunitas sastra, kenyataan yang terjadi seperti menyatakan bahwa perempuan hanyalah pelengkap penderita,” ujar Murnita Dian Kartini, selaku koordinator acara.

Murnita menambahkan, “Garis yang samar dari gambaran itu tentu saja tidak sepenuhnya tepat. Jika ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya keberadaan perempuan dalam arena sastra di Indonesia dari masa ke masa tidak sesuram yang dibayangkan. Para penulis perempuan memiliki peran penting dan karya yang cukup diperhitungkan. Hanya saja, seperti sudah diungkapkan di awal, para perempuan yang menulis karya sastra tidak lebih banyak dibanding keberadaannya sebagai objek kajian di dalam karya sastra.”

Di mana posisi para perempuan dan karyanya di arena sastra Indonesia? Seperti apa sesungguhnya para perempuan menulis kaumnya di dalam karya sastra? Bagaimana dengan karya para perempuan sastrawan di arena sastra Yogyakarta maupun Indonesia? Masih perlukah kita membincangkan posisi perempuan (dan laki-laki) dalam dunia sastra di Yogyakarta dan Indonesia hari ini?

Di Yogyakarta lahir sejumlah nama dan karya yang menghiasai dinamika kesastraan di Indonesia, sebut saja Iskasiah Sumarto dengan novelnya Astiti Rahayu (1976), Dorothea Rosa Herliany  dengan antologi puisinya Nikah Ilalang (1995) dan Sebuah Radio Kumatikan (2001), Abidah el Khalieqy dengan novelnya Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2004), Ulfatin Ch. dengan antologi puisinya Selembar Daun Jati (1996) dan Nyanyian Alamanda (2003) Evi Idawati dengan antologi puisinya Pengantin Sepi (2002) dan Namaku Sunyi (2005), Herlinatiens dengan novelnya Garis Tepi Seorang Lesbian (2003) dan Jilbab Britney Spears (2004), Komang Ira Puspitaningsih dengan buku puisi Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu (2012), Mutia Sukma dengan antologi puisinya Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Dunia (2017), Ramaida Akmal dengan novelnya Jatisaba (2010) dan Tango & Sadimin (2019) hingga Fitri Merawati dengan buku puisi Potret Wanita Jawa (2016). Beberapa nama dan karya tersebut berada sebaris dengan Toeti Heraty, N.H. Dini, Ratna Indraswari Ibrahim, Fira Basuki, Helvy Tiana Rosa, Laksmi Pamuntjak, Oka Rusmini, Laela S. Chudori, Linda Cristanti, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dee Lestari, Asma Nadia, Intan Paramadhita, Okky Madasari, Ratih Kumala, hingga misalnya yang terbilang muda Dewi Kharisma Michelia.

“Sejumlah karya para penulis perempuan di Yogyakarta, secara implisit maupun eksplisit menampakkan sikap yang mendasarinya dalam berproses kreatif. Apakah hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA., bahwa perempuan dalam sastra mengalami dinamika peng-objekkan dan pen-subjekkan? Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengarang perempuan terlibat dalam melakukan dua proses tersebut? Benarkah, perempuan dan sastra sama-sama rawan kritikan, mudah menjadi tabu, dianggap penyakit dan second class? Mungkinkah saat keduanya bersatu, perempuan dan sastra tidak saja bisa memerdekakan diri sendiri, tapi juga memerdekakan suatu bangsa? Pertanyaan-pertanyaan inilah nantinya yang akan dijawab oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. dan Herlinatiens. Semoga acara ini bermanfaat bagi pencinta sastra sekalian,” pungkas Murnita.

 

 

Tuliskan komentar