Tegur Sapa Mengupas Dinamika Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY 

Kamis, 26 Juli 2018 di Ruang Seminar
Taman Budaya Yogyakarta 19.00 WIB – Selesai

 

Studio Pertunjukan Sastra (SPS Yogyakarta) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 154 bertajuk “Tegur Sapa: Dinamika Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY” pada Kamis, 26 Juli 2018 pukul 19.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Kali ini,  SPS Yogyakarta menghadirkan pembicara, Iman Budhi Santosa dan Prof. Suminto A. Sayuti yang akan dipandu oleh Hamdy Salad. Teater JAB juga akan menampilkan sajian puisi dalam acara ini.

“Yogyakarta adalah periuk raksasa tempat menggodok dan menanak kehidupan sastra, seni  dan segenap proses dan pelakunya”, demikian Ashadi Siregar pernah menyebutnya. Di kota inilah kemudian lahir ragam manusia, melahirkan sastrawan, teaterawan, komunitas, sanggar dan empu-empu di bidangnya. Yogya yang demikian apakah masih teraba denyutnya? Masihkah terbaca dan dibaca dengan seksama gerak-gerik budayanya?

“Disadari atau tidak nyatanya terbukti bahwa kehidupan bersastra di Yogyakarta semakin hari kian semarak dan berkembang. Dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta dalam satu dekade terakhir yang didukung kecanggihan teknologi mewarnai wajah DIY sebagai daerah yang memiliki darah seni budaya yang kental. Keberadaan sastrawan dan komunitas sastra di Yogyakarta tak bisa dielakkan. Menyadari hal tersebut, terbit kesadaran diperlukan adanya ruang tegur sapa antarsastrawan dari berbagai generasi dan berbagai komunitas yang ada di DIY,” ujar Sukandar, koordinator acara.

Alhamdulillah, kegelisahan SPS tersebut mendapat sambutan baik dari Dra. Y. Eni Lestari Rahayu selaku Kepala Taman Budaya Yogyakarta. Dengan didukung penuh oleh Taman Budaya Yogyakarta, acara Bincang-Bincang Sastra edisi 154 ini dapat terselenggara. Sejumlah sastrawan dan komunitas sastra, serta lembaga pemangku kebijakan di DIY kami undang dan diharapkan dapat hadir duduk melingkar bersama untuk bertegur sapa dan urun rebug mengenai hal ini. Tidak berhenti sampai di sini, dari acara ini harus lahir suatu gagasan yang mesti diwujudkan bersama, ada jalinan kerja sama antara sastrawan dengan para pemangku kebijakan sehingga hasil dari acara ini tidak hanya berhenti sebagai wacana.”

Sukandar menambahkan, “Sampai hari ini, Yogya tetap menjadi rahim bagi kelahiran anak-anak kebudayaan. Di kota ini saban hari bermunculan ribuan buku, puisi, cerpen, dan pelaku seni, penggerak komunitas dan hal-hal pengiring lainnya. Banyak ragam acara sastra dan budaya hadir dan tumbuh, baik dari lembaga pemerintah, swasta, maupun komunitas. Kekayaan yang ada ini patut disyukuri dan perlu dicatat dan sambungkan. Agar terjadi silaturahmi (baik gagasan maupun fisik), serta dokumentasi yang kelak akan menjadi simpul bagi generasi selanjutnya. Untuk itulah, Sarasehan, silaturahmi antarsastrawan/seniman, komunitas sastra perlu dilakukan sebagai sarana untuk dukumentasi gagasan, data dan fakta lapangan, serta terjadinya komunikasi kreatif.”

“Acara ini bertujuan menghimpun data dan informasi terkait keberadaan sastrawan, komunitas sastra yang ada di Yogyakarta. Selain itu, jalinan silaturahim ide/gagasan dari sastrawan, komunitas sekaligus pertemuan dalam satu ruang dan waktu merupakan salah satu cara supaya kehidupan sastra di Yogyakarta dapat berkembang hingga kini. Semoga mendapat hasil yang bermanfaat bagi kehidupan sastra di Yogyakarta saat ini dan selanjutnya,” pungkas Sukandar.