Cintaku di Lembata, Sebuah Fiksi Perjalanan Bertabur Cinta Karya Sari Narulita* | Dr. Wiyatmi, H. Hum.**

Cintaku di Lembata, Sebuah Fiksi Perjalanan Bertabur Cinta Karya Sari Narulita* | Dr. Wiyatmi, H. Hum.**

Pembaca sastra Indonesia saat ini mungkin tidak begitu mengenal nama Sari Narulita sebagai salah satu sastrawan perempuan di Indonesia. Mereka, terutama generasi saat ini, lebih mengenal nama Nh. Dini, Dee (Dewi Lestari), Okky Madasari, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Oka Rusmini. Mengapa demikian? Ternyata karier kepenulisannya sudah dimulai sejak 1970-an, sezaman dengan Marga T., Titie Said. La Rose, Maria Sardjono, Nina Pane, dan Titiek W.S. Sejumlah nama sastrawan perempuan yang dalam buku A. Teeuw (Modern Indonesian Literature II, 1979:163) dikategorikan sebagai novel pop. Novel pertamanya berjudul Kabut Cinta (1978), disusul dengan Tatkala Cengkeh Berbunga (1982). Dari catatan biografinya, dia lebih dikenal sebagai seorang bintang film (aktris) dan bermain dalam sejumlah film, antara lain Bermalam di Solo (1962), Penjeberangan (1963), Masa Topan dan Badai (1963), Unggul Kasih Dimusim Kemarau (1964), Takkan Lari Gunung Dikedjar (1965), Deru Campur Debu (1972), Bundaku Sayang (1973), Patgulipat (1973), Last Tango in Jakarta (1973), Ratapan Si Miskin (1974), Cinta Pertama (1974), Antara Surga dan Neraka (1976), Pengalaman Pertama (1977), Gara-Gara Gila Buntut (1977), Cowok Masa Kini (1978). Selain bermain film dia juga bekerja sebagai redaktur majalah, antara Sarinah, Pertiwi, Cosmopolitan, Herworld, Brides, dan Maxim. 

Perspektif feminisme tampaknya dapat menjelaskan mengapa Sari Narulita dan sastrawan perempuan seangkatannya di tahun 1970-1980-an tidak banyak dibahas dalam kajian sastra dan sejarah sastra di Indonesia. Kritikus sastra dan sejarawan sastra Indonesia pada umumnya masih menggunakan perspektif patriarkis dan cenderung melupakan kretivitas para sastrawan perempuan atau menilai rendah kualitas karya sastrawan perempuan (Wiyatmi, 2017:12). Dengan menggunakan kritik sastra feminis, kreativitas para sastrawan perempuan akan lebih diakui dan dihargai. Showalter (1986:130-131) mengemukakan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu the women as a writer (gynocritics) yang memberikan perhatian pada perempuan sebagai penulis karya sastra, dan the women as a reader¸ yang membaca dan memahami karya sastra sebagai mana perempuan membaca. Dengan menggunakan perspektif gynocritics tulisan ini mencoba memahami kreativitas dan karya sastrawan perempuan–yang telah berkarya sejak tahun 1970-an, Sari Narulita dan karya terbarunya, Cintaku di Lembata (Gramedia Pustaka Utama, 2016).

Cintaku di Lembata adalah novel yang ditulisnya setelah kembali ke dunia sastra. Dari pengantarnya, dia menyatakan bahwa novel tersebut ditulis berdasarkan perjalanannya ke Pulau Lembata, NTT tahun 2014. Pengalamannya yang mengendap selama setahun, kemudian dibangkitkan kembali ketika 2015 dia mendpatkan kesempatan me ngunjungi pulau tersebut bersama tim AFI (Asosiasi Fotografer Indonesia). Novel ini tidak hanya berkisah tentang cinta sepasang kekasih di Pulau Lembata, yang sempat terputus, bertemu kembali, dan akhirnya berpisah untuk kedua kalinya. Namun, ada yang lebih menarik dari hal itu, sebuah reportasi perjalanan wisata dan analisis kritis terhadap perkembangan sosial budaya dan peradaban di wilayah Indonesia Timur, khususnya NTT digambarkan dengan sangat indah dalam novel ini.

Kisah Cinta dalam Sebuah Fiksi Perjalanan Karya Sari Narulita

Bagi pembaca yang suka traveling dan belum mengenal wilayah Indonesia Timur, khususnya Lembata, Nusa Tenggara Timur, novel ini akan sangat berguna untuk memberikan gambaran mengenai lokasi geografis, perkembangan masyarakat, pemerataan proyek pembangunan pemerintah, destinasi wisata, kekayaan tradisi, dan budaya masyarakat Lembata. Narasi yang memperkenalkan dataran Lembata sangat mendetil dan informatif.

Pulau Lembata yang berada dalam gugusan Kepulauan Solor di Propinsi NTT. Konon dikenal dengan nama Lomblen, yang berarti kawula. Alamnya sebagian besar terdiri atas wilayah pesisir pantai, perbukitan, dan gunung berapi. Penduduk aslinya berasal dari dua etnis, Lamaholot dan Kedang. Meski agama di sini Roma Katolik, Islam, Protestan, Hindu, dan Budha, mereka masih menaruh kepercayaan pada leluhur dan adat memberi sesaji. Juga sangat kuat memegang tradisi (Narulita, 2016: 18).

Narasi tersebut membuat pembaca mengenal latar tempat terjadinya berbagai kisah dan peristiwa, baik yang dialami oleh tokoh dalam perjalanannya di Lembata maupun karakter masyarakatnya. Karakter masyarakat yang bersahabat dalam menyambut tamu tampak pada narasi berikut:

Sekitar jam 17.00 kami tiba di puncak buktit Desa Lamagute. Mobil berhenti dan kami dipersilakan turun, menanti sampai seluruh rombongan tiba. Akan ada upacara adat yang merupakan tradisi penyambutan, sebelum kami diperbolehkan memasuki desa tersebut…
Para tetua adat yang berbaris memegang tombak berpantun sahut menyambut. Seorang perempuan tua menyanyikan lagu dengan nada-nada monoton dengan nyaring. Tidak satu pun kata yang kami mengerti, tapi semua menikmati ritual ini. Setelah tarian tombak, sejumlah perempuan berpakaian adat dengan sekotak sirih di tangan menghampiri kami dan menyuguhkannya.
Aku mengambil selembar daun sirih, secuil kapur, dan sepotong gambir…. (Sari Narulita, 2016: 22-23).

Dari struktur naratifnya novel Cintaku di Lembata dapat dikategorikan ke dalam genre sastra perjalanan (travel writing). Dengan mengacu pada pendapat Carl Thomson (2012: 13) yang menyatakan bahwa travel writing adalah segala catatan yang merekam pertemuan antara diri (self) dan yang lain (other), dan negosiasi-negosiasi atas perbedaan atau persamaan yang melingkupinya, juga bentuk dokumen lain yang berhubungan dengan perjalanan atau artefak kebudayaan, maka Cintaku di Lembata termasuk genre sastra perjalanan. Kisah diawali dengan keputusan tokoh Kayla mengikuti ajakan sahabatnya, Eleonara dalam program Adventure Lembata 2014. Bersama rombongan yang terdiri dari 120 orang yang terdiri dari warga negara Indonesia, Singapura, dan Malaysia mereka berwisata mengunjungi sejumlah tempat di Lembata.

[button link=”https://sukusastra.com/category/sastra/nonfiksi/” type=”big” color=”red”] Baca Kumpulan Artikel Suku Sastra[/button]

Perjalanan dimulai dari Jakarta ke Kupang dengan pesawat Batik Air, dilanjutkan dengan pesawat Internusa (atau Susi Air) ke Lembata. Selanjutnya perjalanan darat mengunjungi sejumlah desa wisata menggunakan bus.

Pesawat yang membawa rombongan Lembata Adventure 2014 mendarat pukul 05.30 di Bandara El Tari, Kupang. Aku melangkah turun dari pesawat. Tiba di bawah aku berhenti sejenak. Mataku menyusuri lapangan terbang yang tampilannya jauh berbeda dari saat terakhir kutinggalkan….
Dulunya lapangan terbang ini tandus dan di pinggirnya penuh ilalang saat itu hanya pesawat milih AURI yang mendarat di situ…(Sari Narulita, 2016:12).

Penerbangan dengan pesawat berbaling-baling itu hanya memakan waktu 45 menit. Pesawat mendarat mulus di Pulau Lembata. Bandara kecilnya bernama Wunopito Lewaleba yang terletak hanya lima belas menit berkendara ke kota (Sari Narilita, 2016:18).

Sebagai novel yang dapat dikategorikan writing travel melalui tokoh utama (Kayla) dengan sudut pandang akuan, novel ini cukup berhasil menggambarkan perjalanan yang ditempuhnya dari Jakarta-Kupang, dilajutkan dngan Kupang-Lembata. Kayla bahkan mencoba membandingkan keadaan ketika pertama kali mengunjungi Lembata melalui Kupang beberapa tahun sebelumnya dengan kondisi 2014.

Ketika menggambarkan tempat-tempat yang dikunjungi, Kayla juga mengekspreikan sejumlah fasilitas umum yang perlu ditingkatkan untuk mendukung Lembata sebagai daerah kunjungan wisata. Misalnya, tembok-tembok ruang bandara yang belum dilengkapi poster atau foto wisata yang dapat menjadi sarana promosi (Narunita, 2016:19), kurangnya persiapan panitia setempat sehingga kamar home stay tak berpintu dan hanya ditutup gordin (hlm, 29), penginapan di desa adat yang berupa saung setengah terbuka terbuat dari bambu yang ditutup dengan atap ala kadarnya (hlm. 37), letak toilet yang cukup jauh dari kamar dengan fasilitas air untuk madi yang terbatas (hlm. 37-38).

Namun, kurangnya fasilitas yang diperoleh para wisatawan selama perjalanannya di desa-desa di Lembata digantikan oleh keramahan dan keterbukaan penduduk dalam menyambut dan melayani mereka, termasuk berbagai menu makanan tradisional yang enak dan menggugah selera. Sebuah perjalanan wisata tampak jelas pada narasi berikut.

 

Secara geografis Lamalera membentang di tepi pantai selatan Pulau Lembata. Jarak Jontora ke sana sebenarnya tidak terlalau jauh, tetapi dapat ditempuh empat jam karena jalanan berliku dan tidak mulus. Akan ada dua tempat yang bakal dikunjungi dalam perjalanan ke Lamalera yaitu desa Belo Baja dan pasar barter tradisional.
Ketika bus mulai penuh, kami diabsen panitia, kemudian bus jalan beriringan… Bus kembali bergerak menempuh jalanan gunung yang berkelok-kelok. Dari kejauhan kami dapat melihat desa. Itulah Belo Baja.
Bus berhenti dan kami dipersilakan turun. Di kanan kiri jalan kami disambut hangat oleh masyarakat setempat yang kebanyakan mengenakan pakaian tradisional. Mereka menari sambil menyanyi, mengarahkan kami ke tempat yang tersedia kopi dan camilan lokal.
Ini daerah penghasil kopi. Aku tidak biasa minum kopi hitam, tapi gadis yang menuangkannya meyakinkanku bahwa kopinya ebak. Aku melihat ke arah Nora yang tengah menghirup kopinya dengan nikmat…. (Sari Narulita, 2016: 108).

Melalui perjalanan wisata Kayla bersama Adventure Lembata 2014 novel ini juga memperkenalkan berbagai produk budaya khas Lembata, seperti alat musik sasando dan kerajinan tenun (Sari Narulita, 2016:163-164). Selain itu, novel ini juga memperkenalkan salah satu warisan budaya yang ada di Desa Lembata, yaitu atraksi perburuan ikan paus secara tradisional yang diawali dengan upacara misa leva untuk pemberkatan alat-alat tadisional yanga kan digunakan berburu. Tradisi perburuan ikan paus dilakukan antara bulan Mei hingga September. Konon ini merupakan satu-satunya tradisi di dunia, sehingga pada bulan tersebut banyak kru TV atau jurnalis asing meliput peristiwa tersebut (Narulita, 2016: 112).

 

Dari situs http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/03, diperoleh informasi bahwa tradisi perburuan ikan paus di Desa Lamalera, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tidak seperti yang dilakukan oleh nelayan-nelayan modern Jepang yang memburu kawanan ikan paus dengan kapal-kapal besar dan canggih, nelayan Lamalera hanya menggunakan peledang, yakni perahu kayu tradisional sebagai sarana perburuan, serta sosok lamafa yang memiliki tugas menikam ikan paus menggunakan sebilah tempuling atau tombak.

Sesuai dengan judulnya Cintaku di Lembata novel ini bukan sekedar kisah perjalanan wisata bersama rombongan Adventure Lembata, tetapi juga sebuah kisah cinta yang mengharukan. Kisah cinta yang bersemi antara Kayla dengan Gringgo (Elanda). Mereka bertemu pertama kali ketika Kayla bersama sejumlah artis ibukota yang tergabung dalam BKSSM (Badan Kerja Sama Seniman Militer) di era Orde Baru dikirim Lembata untuk menghidur para prajurit yang menjaga keamanan NKRI. Kisah cinta terputus setelah Kayla kembali ke Jakarta. Bertahun-tahun mereka berpisah. Namun, perjalanan wisata berasma Adventure Lembata 2014 mempetemukan kembali Kayla dengan Gringgo. Dalam pertemuan kembali tersebut, mereka tidak hanya saling menumpahkan kerinduannya, tetapi juga menikmati keindahan alam Lembata dan mendiskusikan kemajuan Lembata dan kurangnya perhatian pemerintah pusat dalam membangun infrastruktur di Indonesia Timur.

“Gringgo, kau tak pernah cerita bahwa bulan lebih besar dan indah dilihat dari sini!”
“Kukira kau tak berminat mengetahuinya,” jawab lelaki itu seenaknya.
“Aku juga tak pernah tahu langit di sini lebih biru dan lautnya begitu jernih. Mengapa dulu kau tak pernah mengajakku jalan-jalan di pantai, Gringgo?”
“Tak mungkin menculikmu dan mengajaknya pergi. Tak ada kesempatan untuk itu. Aku sedang tugas dan keadaan belum aman.” (Narulita, 2016:141-142).

“Lembata memiliki potensi menjadi objek wisata, Ada laut dan gunung. Adat istiadat dan budanya terjaga turun tumurun, “ sambung Gringgo.
“Kau benar, tapi infrastrukturnya masih kurang diperhatikan pemerintah pusat. Perlu standarisasi home stay, sanitary, perbaikan jalan, dan alat transportasi setempat sehingga menjadi lebih layak, “ kataku menengadah ke arah Gringgo….(Narulita, 2016:136).

Meskipun kisah cinta tersebut bersemi kembali dalam pertemuan kedua di Lembata, akhirnya keduanya harus berpisah lagi. Gringgo meminta Kayla kembali ke Jakarta, walaupun Kayla ingin tetap tinggal di Lembata. Gringgo tak ingin menahan Kayla karena di Jakarta Kayla masih terikat perkawinan, memiliki keluarga dan karier. Dengan berat hati akhirnya Kayla pulang ke Jakarta bersama rombongannya. Apalagi sebelum Gringgo memintanya untuk meninggalkannya dan pulang ke Jakarta, Kayla ditemui sosok misterius yang mengaku mendapat tugas dari leluhurnya sebagai penjaga Gringgo.
Baru saja aku akan melangkah, kudengar di belakangku ada yang memanggil.
“Nona, tunggu! Beta mau bicara.”
Suara itu mengejutkanku. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, berharap ada orang lain selain aku di jalanan. Tapi jalan kosong, tak ada orang lain. Aku tak berani menengok ke belakang, amak segera kupercepat jalanku, tapi langkahku terasa berat sekali.
“Tolong, Nona berhenti sebentar!”
Pada saat yang sama langkahku terhenti. Dan tiba-tiba ada saja seorang berpostur tinggi, tegap, dan berkulit gelap sudah berdiri tepat di depanku. Sepertinya sudah berumur. Sekilas kulihat wajahnya bergurat keras, membuatku takut. Lututku mulai gemetar dan peluh dingin keluar. Mau apa sebenarnya orang ini….
Pakaian orang ini aneh, tak lazim. Dari atas ke bawah dia mengenakan tenun ikat, tapi tutup kepalanya mirip batik.
“Mau apa?” ketaku memberanikan diri.
“Beta hanya mau mengingatkan Nona untuk berhenti berjumpa dia.” Suara itu terdengar tegas.
“Dia? Dia siapa? Aku tidak mengerti maksud Anda,” sengaja kukeraskan suaraku. Sedikit demi sedikit ketakutanku berangsur bekurang.
“jangan pura-pura tidak tahu, Nona, itu Tuan Muda yang baru saja mengantar Nona.” Dari suaranya jelas temperamen orang itu mulai meninggi.
“Kenapa?”
“Biarkan dia tenang. Jangan ganggu dia lagi.”
“Aku mencintainya.”
“Nona terlambat kembali untuk itu!” kata sosok itu dengan suara tegas.
“Tidak aku akan tetap di sini untuk mendampinginya.”
“ditakdirkan untuk hidup bersama.” Suara sosok itu semakin tegas….
“Leluhurnya meminta aku menjaganya,” sahut orang itu tegasdan pergi meninggalkan ku yang masih terhenyak sendiri….(Narulita, 2016:152-153).

Siapa sebenarnya sosok misterius itu? Mengapa Gringgo tidak mau Kayla tetap tinggal di Lembata walaupun dia mengaku tetap mencintai kayla?. Itulah misteri yang sengaja tak terjawab sampai akhirnya kisah ini berakhir yang ditandai dengan perjalanan Kayla dan sahabatnya, Nora menuju bandara El Tari, Kupang untuk segera kembali ke Jakarta.

Dengan menggunakan perspektif gynocritics, maka terbitnya novel Cintaku di Lembata dan karya-karya Sari Narulita sebelumnya perlu dicatat dalam sejarah sastra Indonesia. Novel ini akan tidak hanya akan memperkaya genre sastra perjalanan yang akhir-akhir ini banyak ditulis sastrawan Indonesia, seperti Edensor (2007) karya Andrea Hirata atau Partikel (2012) karya Dee, tetapi juga mengukuhkan eksistensi para sastrawan perempuan yang menulis karya-karyanya sambil melakukan riset etnografis. Dalam menulis karyanya sastrawan tidak hanya bermain dalam imajinasinya, tetapi juga harus melakukan perjalanan dan penelitian di lokasi yang akan dijadikan bahan penulisan karyanya. Tanpa emansipasi tentu saja perempuan tidak mungkin melakukan itu semua. Itulah mengapa kreativitas para sastrawan perempuan harus diapresiasi dalam ruang-ruang diskusi maupun dalam kajian sastra dan dicatat dalam buku-buku yang akan dipelajari generasi selanjutnya.

Penutup

Masih banyak yang dapat dieksplorasi dari novel Cintaku di Lembata. Catatan ini hanya merupakan salah satu pengantar singkat. Sebagai sebuah novel perjalanan Cintaku di Lembata tidak hanya memperkenalkan keindahan alam dan kekayaan budaya Pulau Lembata yang dapat dainggap sebagai salah satu museum peradaban manusia yang perlu dikaji secara ilmiah dan dinikmati estetikanya, tetapi juga menggugah sebuah renungan tentang hubungan cinta sepasang kekasih yang tak ditakdirkan tidak tersatukan. Novel ini akan lebih menarik bila dikaji secara ilmiah dengan menggunakan perspektif sosiologi sastra, ekokritik, psikoanalisis, bahkan ekofeminisme mungkin akan lebih mampu mengeksplorasi banyak hal yang terbentang dalam kisah yang setebal 188 halaman ini. Ditunggu kajian selanjutnya terhadap novel ini.

 

Daftar Pustaka

http://nationalgeographic.co.id/…/lembata-lamera-dan-perbur…. Diunduh 21/03/2018.
Narulita, Sari. 2016. Cintaku di Lembata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Showalter, Elaine. Ed. 1985. The New Feminist Criticsm: Essay in Women, Literature, ant Theory. New York: Pantheon.
Teeuw, A. 1979. Modern Indonesian Literature. Netherland:The hague –Martinus Nuhoff.
Thompson, Carl. 2011. Travel Writing. London and New York: Routledge.
Wiyatmi. 2017. Perempuan dan Bumi dalam Sastra: dari Kritik Sastra Feminis, Ekokritik, sampai Ekofeminisme. Yogyakarta: Cantrik.

 

*) Artikel saya tulis untuk mendampingi diskusi buku Cintaku di Lembata di Yogyakarta, 27 April 2018.

**) Wiyatmi (Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta), Email: wiyatmi@uny.ac.id

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tuliskan komentar