Jumat, 6 September 2024

Dari tempat duduknya, ia memandangi satu demi satu belasan—atau mungkin lebih tepatnya likuran—homo fabulans yang duduk di hadapannya, dan bertanya-tanya: apakah mereka telah cukup memahami urgensi dari visi dan misi yang telah disampaikan sebelumnya oleh Virus.

Dhafi yang duduk di sampingnya sedang menerangkan segi teknis pelaksanaan kelas kritik—sebutan singkat yang disepakati tanpa pemungutan suara untuk nama resmi kegiatan yang panjang: Lokakarya Penulisan Kritik Sastra. Penjelasan doktor ilmu sastra yang masih sangat muda itu lancar dan sistematis karena berpanduan salindia Powerpoint yang ditayangkan di televisi besar.

Foto: Aris Romadhon
Peserta Kontrak Belajar memperhatikan uraian tentang kegiatan dari pihak Suku Sastra./Foto: Aris Romadhon

Ia sendiri tidak membuat salindia Powerpoint untuk tema pembicaraannya, yaitu tentang kelas cerpen—juga sebutan konvensional untuk Laboratorium Penulisan Prosa Fiksi Eksperimental. Ia memang jarang sekali melakukan presentasi sehingga tidak pernah membuat peraga atau alat bantu presentasi lain. Pasalnya, ia biasanya hafal luar kepala semua konsep kunci yang harus diungkapkan.

Saat itu juga ia sadar bahwa ia belum banyak berubah setelah dua puluh empat tahun lebih. Kalau sedang antusias dengan sesuatu, ia mengenali dan menghidupi sesuatu sedalam-dalamnya hingga ia merasa tak membutuhkan pengingat atau alat bantu selain dari ingatannya. Sayangnya, umur tak bisa berbohong: ingatannya tak sekuat dulu.

Jadi, ketika tiba gilirannya menjelaskan aspek teknis kelas cerpen, ia hanya mengungkapkan bayangan tentang apa-apa yang akan dilakukan selama kelas sesuai jadwal. Delapan kali pertemuan, dua di antaranya dipandu narasumber, lima diasisteni Suku Sastra, dan satu presentasi di hadapan publik yang lebih luas daripada publik lokakarya, serta harapan-harapannya tentang hasil kelas.

Ia sadar, gayanya dalam melaksanakan peran dalam suatu kegiatan yang seperti itu tidak baik. Seharusnya, ia membuat salindia Powerpoint seperti Dhafi—Virus sendiri hanya membutuhkan dokumen yang sudah disusun jauh-jauh hari. Untungnya, belasan atau likuran homo fabulans di hadapannya tampak sudah memahami uraiannya. Hanya satu peserta, yaitu Lintang, yang mengajukan pertanyaan terkait jadwal.

Kontrak belajar yang dibacakan Virus juga tak bermasalah. Baru setelah acara selesai mereka ingat ada satu poin penting terlewat dalam naskah Kontrak Belajar: seharusnya ditunjuk notulen secara bergiliran untuk setiap sesi kelas. Untunglah perkara teknis itu bisa diatasi, yaitu akan diberitahukan melalui grup Whatsapp setiap kelas bahwa ada penambahan poin tentang notulen itu di dalam Kontrak Belajar.

Perasaannya menjadi lebih baik setelah acara resmi selesai. Ia mengajak sebagian peserta kelas cerpen yang masih tinggal di pendopo untuk mengobrol santai tentang draf masing-masing: Misni, Bangkit, Khansa, Ica, Latief, dan Lintang. Seperti mereka, ia juga masih bingung dengan wujud hasil akhir dari setiap draf. Tentu cerpen eksperimental, tetapi yang seperti apa? Ia mengakhiri obrolan rumit dengan: kita lihat nanti.

Beberapa peserta lain, kebanyakan peserta kelas kritik, duduk-duduk lesehan seperti umumnya mahasiswa di halaman pendopo. Ruli ternyata satu daerah dengan Hadi—sama-sama Lombok. Ica ternyata mahasiswa Sastra Indonesia UNY. Dunia ini sempat, katanya, dan mungkin kegiatan kita ini nepotisme. Semua tertawa. Bahkan wawancara yang dilakukan sebelum Kontrak Belajar lebih mirip obrolan dengan teman di warung kopi biasa.

Ia pamit dari obrolan itu karena harus mengemasi sampah dan peralatan di sekitar pendapa. Beberapa barang disimpan di kantor Mbak Arum. Kursi-kursi dan televisi dikemasi pegawai The Ratan. Setelah itu, ia bergabung dengan Brenda dan kawan-kawan lain di kedai vegan yang tutup setiap Jumat. Di situlah ia kembali disadarkan pada usia: ia tertidur di kursi bambu panjang lumayan lama.

Ia bukan hanya mengantuk, tetapi juga lelah fisik dan mental. Ia butuh tidur, jadi ia berpamitan lebih dulu. Namun, di sepanjang jalan, proses wawancara dan kontrak belajar sejak siang hingga sore masih terpapar jelas dalam ingatannya. Dan ia merasa agak waswas: baru satu acara, belum delapan kali, dan ia sudah seletih ini. Namun, perasaan itu tak lama. Antusiasme kembali memberinya tenaga.

Likuran homo fabulans—manusia yang suka bercerita—itu adalah dirinya juga. Mereka tampak sangat percaya pada visi dan misi kelas-kelas Suku Sastra itu, sama dengannya yang merupakan salah satu penggagas kegiatan. Peserta kelas cerpen punya fabula eksperimental yang belum jelas wujudnya, dan peserta kelas kritik ingin menyampaikan fabula tentang fabula yang menurut mereka layak didalami.

Delapan kelas ke depan dan peluncuran hasil kelas akan baik-baik saja. Terlebih, kawan-kawannya sesama panitia sangat kompeten mengurus alat, keuangan, publikasi, dan semua aspek kegiatan. Everything is gonna be alright.

By An Ismanto

An Ismanto lahir di Bantul, 13 Agustus 1980. Saat masih kuliah di Sastra Inggris FBS UNY, ia giat di Komunitas Koreo, Komunitas Tanpo Aran, dan Komunitas Sarkem. Kini ia bekerja sebagai penulis, penyunting, dan penerjemah lepas serta giat di komunitas Suku Sastra.