The Ratan Homestay, Selasa, 1 Oktober 2024
Lima kali lima benteng melintang di jalan. Lagi-lagi aku harus melintasi jalan ini. Tentu saja aku pernah berencana mengganti rute perjalananku daripada harus diguncang lima kali lima lagi, tetapi selalu urung.
Entah dari mana idenya. Mungkin dibangun atas nama keselamatan berkendara atau justru niat-niat yang tak pernah kita tahu sebelumnya. Kenapa mereka tidak membuka jalan ini dari dua arah saja agar orang-orang yang melintas dapat bertegur sapa atau sekadar mengucapkan selamat pagi bila tujuannya agar jalan tidak disalahfungsikan sebagai arena balapan?
Di depanku, mobil pick up membawa batu bata, sedangkan di sampingku motor bebek membawa peti-peti telur ayam. Ketika mereka melewati barisan tembok itu terdengar suara mengerikan. Untuk perempuan yang berencana melewati jalan ini, kusarankan untuk mengikat kutang kalian kencang-kencang karena semuanya akan berguncang.
Pertemuan ini kali dimulai lebih malam. Kurasa ini cukup menguntungkan karena aku tak perlu merisaukan sinar matahari yang menyengat. Waktu belum genap pukul tujuh malam, aku tiba di homestay. Rupanya obrolan santai sudah dimulai beberapa waktu yang lalu. Teko, gula, teh, dan kopi ditata rapi di meja ruang tamu. Roti goreng dan tempe goreng juga ikut duduk melingkar di piring-piring.
Pukul 19.10, orang-orang yang ditunggu telah cukup lengkap. Kiara membuka diskusi malam itu dengan menyapa orang-orang yang duduk mengelilingi meja panjang. Mbak Ayda memberikan pengantar tentang bentuk-bentuk eksperimental dalam karya-karya prosa fiksi yang telah ada sebelumnya. Dijelaskan bagaimana karya yang pada mulanya bersifat eksperimental memasuki arus utama setelah muncul karya-karya serupa dari waktu ke waktu.
Soal cerita milik Latief menjadi cerpen yang dibahas pertama kali. Mbak Ayda teringat pada soal-soal ketika ujian Bahasa Indonesia. Soal-soal itu terdiri atas pilihan ganda, isian, uraian, dan mengarang. Ia pendapat bahwa cerpen milik Latief ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi novel. Di sisi lain, muncul sebuah pertanyaan apakah cerpen ini diniatkan menjadi parodi karena pembaca perlu lebih dahulu mengerti mengenai seluk-beluk sastra Indonesia.
Cerpen karya Bangkit mengingatkanku pada kisah-kisah isekai dalam anime atau cerita fantasi. Mbak Ayda menegaskan bahwa cerpen adalah seni membuang, memulai dengan adegan yang menghentak adalah pilihan yang cukup baik. Jadi, jangan ragu untuk menghapus bagian yang tidak perlu. Ending dalam cerpen bukan berarti cerita itu selesai tetapi ketika penulis menghentikan cerpen, karena cerpen bukanlah roman tetapi frakmen.
Pukul 19.56 WIB, Latief dan Bangkit pamit undur diri dari forum. Mereka meninggalkan ruangan yang dihias wajah Marilyn Monroe dan John Lennon di dua sisi dindingnya. Sekitar satu jam setelah acara dimulai tetapi satu anggota laboratorium belum juga tiba. Mungkin dia absen, meski sudah memberi kabar “OTW” tadi.
Cerpen karya Tannia sangat eksperimental bagi penulisnya sendiri. Cerpen ini mengundang obrolan mengenai erotisme hingga body horror. Cerpen ini membawa kita untuk keluar dari pandangan partiarkal.
Kata Mbak Ayda, secara bentuk cerpen yang aku tulis sudah eksperimental karena visual muncul di cerpen. Akan lebih menarik lagi bila visualnya sesuatu yang berbeda yang akan mengundang berbagai interpretasi dari pembaca. Tetapi judulnya terlalu jelas menggambarkan isi cerita terlalu jelas jadi lebih baik aku mencari judul baru.
Pukul 20.20 seorang berkaus putih memasuki homestay. Lintang, anggota laboratorium yang akhirnya datang. Ia segera duduk di kursi yang ditinggalkan Bangkit.
Konferensi Rumah Labu karya Ica menjadi bahasan selanjutnya. Permainan bentuk teks atau tipografi akan membuat cerpen ini lebih eksperimental. Ica merasa bingung dengan perkembangan cerpennya ini sehingga Mbak Ayda berusaha menenangkannya dengan menjelaskan bahwa cerpen bukanlah karya yang ditulis sekali jadi, sehingga sangat wajar dalam proses penulisan terdapat hal-hal yang berubah.
Cerpen milik Arif dinilai Mbak Ayda kurang magis sehingga tokoh-tokohnya dapat ditambah kesaktiannya. Penyelesaian konflik dalam cerpen ini dilakukan dengan perkara-perkara magis. Logika-logika rasional dalam cerpen Arif perlu ditekan lagi.
Cerpen naturalis karya Khansa yang bercerita tentang seorang yang berada di jalan perlu ditambah peristiwa mencekam. Seperti halnya cerpen karya Ica, cerpen milik Khansa ini bisa menampilkan bentuk-bentuk tipografi yang berbeda. Menurut Mbak Ayda, Khansa memiliki kemampuan untuk memperhatikan hal-hal kecil dengan teliti.
Selanjutnya pembahasan cerpen dengan judul emotikon paus milik Lintang. Lintang mengambil sudut pandang seekor burung merpati untuk menceritakan ulang kisah Nabi Yunus. Akan tetapi cerita yang ditulisnya masih dinilai antroposentris sehingga perlu mengeksplor kembali sudut pandang hewan dalam menginterpretasikan sebuah peristiwa.
Cerpen terakhir yang dibahas malam ini adalah Aurora, Aurora karya Misni. Cerpen ini memaparkan kisah tentang aurora borealis yang menjelma menjadi manusia. Cerpen ini mengantarkan diskusi kita pada kisah Jaka Tarub yang menjalin cinta beda dunia.
Sebuah kalimat dari Mbak Ayda: “Pesan itu jangan dikatakan tapi dimanifestasikan dalam tindakan-tindakan dalam cerpennya.”
Diskusi berlanjut hingga larut. Mbak Ayda memberikan sebuah saran untuk membuat konflik dalam cerita adalah dengan mengacaukan hubungan antara 3 titik (tokoh, latar, peristiwa). Ibu di stasiun nembak, salah satu contohnya.
Simbah Ismanto bergabung lantas mengumumkan rencana presentasi yang akan digelar Sabtu besok. Tentu itu tanda bahwa kami harus segera menyelesaikan naskah-naskah yang belum masak ini dalam belanga masing-masing.
Sesi diskusi ini ditutup dengan foto bersama. Kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Mbak Ayda yang begitu halus seperti disaring dengan filter kopi itu sepertinya membuat kami sedikit terlena.***