The Ratan, Kamis, 26 September 2024, 16.00 – 18.00 WIB
Menulis cerita pendek–terlebih yang (diusahakan) eksperimental–adalah satu soal. Manajemen untuk menyokong proses menulis itu adalah perkara lain yang tak kalah menantang.
Setelah asistensi oleh Suku Sastra di Pertemuan II dan Pertemuan III, para peserta merasa akan lebih mantap kalau Bang Raudal membimbing lagi. Untungnya, Pertemuan IV tetap bisa dilaksanakan di homestay The Ratan dan secara administratif tidak ada masalah.
Draf-draf cerpen–sembilan dari peserta dan satu dari panitia sebagai cadangan karena satu peserta lama tak berkabar–langsung dicorat-coret dan dikomentari oleh Bang Raudal. Secara umum, menurut Bang Raudal, para peserta sudah berani keluar dari konvensi. Ada yang tak seberapa jauh, ada yang terlalu jauh.
Draf berisi komentar dikirimkan ke nomor Whatsapp masing-masing peserta. Sehingga, para peserta diharapkan sudah siap ketika berdiskusi satu lawan satu dengan Bang Raudal.
Hanya tujuh peserta yang hadir: dua orang lainnya izin karena berhalangan hadir secara fisik, tetapi tetap berkomunikasi secara daring.
Sore itu Bang Raudal memandu peserta satu demi satu. Diskusi berjalan intensif dan produktif. Draf tiap peserta dikomentari dan diberi saran pengembangan.
Untuk draf Ica, Bang Raudal memberikan saran untuk mempertimbangkan strategi penceritaan Animal Farm karya George Orwell. Misalnya, sifat-sifat tokoh berupa binatang diambil dari sifat-sifat manusia. Bisa juga memasukkan unsur politik. Akan lebih bagus lagi kalau Ica memasukkan ketegangan dan konflik di dalam drafnya.
Bang Raudal menyarankan agar Arif kembali ke draf awal. Draf yang diberikan kepada Bang Raudal memang “aneh” karena disusun seperti buku panduan ziarah makam wali. Menurut Bang Raudal, pertaruhan eksperimental tetaplah ada di teknik bercerita sehingga kekhasan komposisi tulisan sebagai cerpen tetap terjaga.
Untuk draf Desy, Bang Raudal berkomentar bahwa Desy bisa menafsir ulang kisah lama tentang Ki Ageng Mangir dan merekonstruksi ulang kisah itu untuk melahirkan kisah baru. Tafsir itu bisa dibolak-balik, keluar dari bingkai kisahan mainstream selama ini.
Cerita berbentuk soal yang ditulis oleh Latief memperoleh saran yang menyegarkan. Cerita itu harus jelas orientasinya. Juga harus ada motif-motif bertindaknya. Artinya, harus ada yang melakukan sesuatu untuk target tertentu. Bisa dipikirkan lagi apa persoalan utama dalam cerita dan siapa yang melakukan apa. Bisa saja pembuat soal adalah seorang guru yang merasa perlu membuat soal cerita untuk menghidupkan kembali minat pada khazanah lama. Atau, pertanyaan-pertanyaan itu disusun oleh seorang peneliti untuk memecahkan sebuah misteri.
Bang Raudal melihat bahwa draf yang ditulis oleh Tannia belum fokus. Patung-patung dieksplorasi dengan lebih intens tanpa terkesan buru-buru dan bukan hanya memunculkan aura seksualitas, namun juga ekspresi penderitaan, suka, dan duka. Hubungan samar Viko dan Mama boleh saja dieksplorasi, namun mesti melebihi persoalan seksualitas, atau seksualitas dalam makna yang lebih kompleks. Bang Raudal juga memberikan saran terkait lead yang bisa diolah lebih lanjut.
Draf tentang pencarian jiwa oleh Alessandro, yang ditulis oleh Bangkit, menurut Bang Raudal akan lebih bagus jika mengolah lebih lanjut latar tempat dalam konteks pemaknaan filosofis dan historis. Latar waktu ternyata juga mengandung kelemahan. Jarak Venesia dan Istanbul dalam konteks ruang (geografis) sangat dekat, apalagi dalam masa sekarang, sehingga menjadi aneh perjalanan bila Alesandro ke timur begitu susah-payah dan kepulangannya kembali disambut keluarga untuk mendengarkan cerita tentang timur tidak cukup meyakinkan. Bang Raudal memberikan alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan semacam itu, misalnya dengan memanfaatkan mesin waktu.
Draf Lintang memperoleh komentar positif dari Bang Raudal. Draf itu sudah memperlihatkan ketercekaman dan kelihaian. Suasana pandemi yang dibangunnya setara dengan Rintrik yang Buta karya Danarto dan mengingatkan pada suasana pembuka novel Musashi karya Eiji Yosikawa atau Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa.
Bang Raudal memberikan komentar cukup panjang untuk draf Misni. Draf itu, menurut Bang Raudal, berjenis realis, tetapi latar yang membingkainya tergolong surealis. Ini bisa mengakibatkan anakronisme. Namun, draf ini juga memiliki potensi membaurkan dua jenis pengisahan tersebut. Beberapa peristiwa sebenarnya bisa menjadi kunci eksplorasi cerita lebih lanjut, yang bisa dijadikan unsur penguat (dan meyakinkan) pada eksistensi tokoh Aurora. Misalnya, (ketika) bumi masih muda dan sihir mengalir bebas melalui udara. Ini bisa dijadikan sebagai “logika” kenapa benda langit bisa mewujud lahir ke bumi sebagai manusia bernama Aurora. Kemungkinan lainnya adalah mengeksplorasi bahasa. Misalnya, membuat kalimat-kalimat panjang yang mengalir dan menghipnotis. Bang Raudal memberikan contoh: “Aurora, Aurora!”
Draf Khansa mengandung potensi eksperimental dalam hal persepsi tentang waktu, rutinitas, keberulangan, dan siklus. Jalan raya bisa diolah sebagai panggung dan gelanggang orang banyak tempat seseorang menyaksikan rupa-rupa manusia ,tingkah-pola, adegan, dan peristiwa. Jalan raya bisa juga menjadi arena kritik sosial. Si tokoh bisa menjadikan amatannya dalam berbagai komentar sosial, yang sudah coba dilakukan dalam draf. Untuk menghindar kesan datar dalam cerita, Bang Raudal menyarankan untuk mengeksplorasi hal-hal visual seperti coretan tembok, mural, graffiti perlawanan, bendera partai, headline koran, sampai tumpukan sampah.
Draf “cadangan” terakhir yang ditulis oleh An. Ismanto (tulisanku) diberi saran untuk mengganti judul agar memunculkan suasana berjarak dengan isi pengisahan.
Sebenarnya, aku pulang lebih dulu karena ada acara keluarga yang tidak bisa ditunda. Aku berpamitan saat Bang Raudal masih menyisakan dua draf. Untungnya, aku masih bisa membaca komentar-komentar Bang Raudal dan kususun ulang di sini.